Opini
"Kompanye"
SEORANG ibu di Pidie tentu tak akan mengira akan menjadi korban pukulan kayu dari peserta kampanye calon gubernur lain di suatu sore
SEORANG ibu di Pidie tentu tak akan mengira akan menjadi korban pukulan kayu dari peserta kampanye calon gubernur lain di suatu sore. Keinginannya mengikuti “kompanye” ini mungkin berasal dari motif sederhana: asal ikut, jalan-jalan, atau rekreasi bersama tetangga setelah lelah mengurus rumah. Begitu juga iring-iringan peserta kampanye dari satu calon gubernur di Aceh Utara, tak mengira akan kena lemparan buah-buahan busuk dari pasangan lain yang kebetulan berpapasan di jalan.
Sebagian besar konstituen yang ikut meramaikan kampanye pilkada saat ini hanya masyarakat desa sederhana. Mereka ingin berpartisipasi dalam pilkada, sebagai ekspresi kedamaian dan kebahagiaan. Namun, tak sedikit di antara mereka kemudian justru menjadi korban. Tak salah kalau sebagian masyarakat kemudian melihat pilkada sebagai model perang lain di ruang publik.
Benci balas benci
Belum begitu lama memori kita menangkap pesan, seluruh kandidat gubernur, walikota, dan bupati berikrar untuk mendamaikan pelaksanaan pilkada. Pelaksanaan ikrar pilkada damai gubernur misalnya, turut diliput media nasional dan lokal, disaksikan pejabat daerah dan pusat, militer dan sipil, termasuk pj gubernur. Namun usai deklarasi, kekerasan dan praktik ketidakdamaian menyeruak ke angkasa, dilakukan hampir semua kandidat.
Mulai dari pelanggaran ringan (menjelek-jelekkan pasangan lain, memanipulasi fakta, dan menyebarkan kebencian), hingga ringan-berat (merusak baliho kandidat lain, mengancam, menghalang-halangi konvoi pihak lain, membakar kendaraan, dan melakukan kekerasan fisik). Cerita ini berlangsung setiap hari dan memenuhi pemberitaan di media massa.
Saya sendiri sempat “menguping” kampanye salah-seorang kandidat gubernur beberapa waktu lalu. Yang muncul adalah kata-kata teror dan penuh nuansa kekerasan. Batin saya, jika seperti ini model kampanye tak heran melahirkan reaksi kekerasan dari pihak lain yang merasa dirugikan. Siklus benci balas benci sedang berputar.
Kampanye sendiri adalah repertoar iklan luar biasa. Pada hari-hari ini mata dan telinga publik dibombardir oleh pamflet dan iklan para kandidat. Seluruh ruang publik tertempel wajah dan “kata-kata puitik” yang mewakili sikap kandidat. Pohon-pohon kota pun terluka oleh paku-paku poster kandidat. Kota pengap oleh baliho komersial semakin rusuh oleh serbuan poster dan baliho kampanye, yang kerap menggunakan kata-kata absurd. Miskin estetika dan artistika.
Kampanye memang bagian dari iklan. Dengan kemampuannya, iklan menjadi “sihir komunikasi”. Maka tak heran jika fungsinya adalah melebih-lebihkan potensi dan menampilkan kesempurnaan tanpa cela. “Kebohongan sering muncul dalam tiga situasi: sepulang dari berburu, saat perang sedang berkecamuk, dan sejak berniat melakukan kampanye.” (Otto von Bismarck, negarawan Jerman, 1815-1898).
Bagi yang mengenal beberapa kandidat, kata-kata yang disematkan seperti kumpulan “dusta” tanpa fakta. Saat kampanye, hampir semua hal dianggap bisa dilakukan. Kampanye hanya membungkus idealitas dan tidak mau turun ke bumi realitas. Distorsi dan manipulasi pesan seperti ini memang akan menjadi kebenaran jika diulang-ulang dengan frekuensi tinggi, sehingga publik menjadi mabuk iklan.
Lari ke lain hati
Di dunia ekonomi, iklan menjadi sisipan (attachment) untuk mengenalkan diri (self-exposure) kepada publik di tengah rimba-raya bisnis ekonomi. Namun iklan yang baik tugasnya bukan hanya memotivasi ke arah persuasi kompleks, namun harus mampu membuktikan kepada publik. Produk itu harus terbukti, walau hanya sepersekian persen bagi konsumen. Selebihnya adalah efek membran sugesti yang membuat konsumen menjadi setia. Jika lebih banyak bohongnya mereka akan lari ke lain hati.
Dalam dunia politik, iklan kampanye hampir menjadi mentor dusta senantiasa. Di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya melek media dan informasi, kampanye seperti ini diyakini pemilihnya. Bagi masyarakat yang well-informed, iklan yang terlalu berdaya raksa hanya dianggap flatus vocis: suara kentut orang kelaparan, tapi sok menawarkan makanan berlimpah. Bagi pemilih ideologis, iklan tentu tidak diperlukan lagi. Dusta dari kelompok ideologisnya akan dianggap sugesti, tapi pesan dari kelompok lain melulu dusta. Iklan kampanye paling hanya akan menyisir kelompok yang belum terinfeksi ideologi lain, korban ideologi lain, atau komunitas miskin informasi.
Tentu kampanye akan terasa menjadi hambar jika membeberkan fakta atau “sesuatu yang mungkin dilakukan”. Makanya tak heran, hampir tak ada kandidat gubernur/bupati/walikota yang mengatakan apa adanya. Dalam situasi masyarakat yang belum cukup sadar informasi, magic words yang dihadirkan saat kampanye dianggap adalah bumbu penyedap ekstrem.
Seluruh penampilan dan cara berkomunikasi masuk dalam wajan politik citra. Para kandidat berlomba untuk mencitrakan diri sebagai paling pemurah, paling cerdas, paling alim, paling kaya, paling miskin, pembela korban dan masyarakat miskin, gratis kesehatan, gratis pendidikan dan lain-lain, dengan segala motif manipulasinya. Jubah-jubah simpati sedang dibentangkan dengan mekanisme persuasi kompleks, dalam situasi kampanye dengan pola komunikasi berkolesterol tinggi dan rawan terserang stroke politik.
Kampanye penuh cinta
Dengan adanya keprihatinan pada model kampanye pengerahan massa yang sering mengarah pada penyebaran kebencian dan gesekan kekerasan antar-peserta pilkada, maka penting untuk mengganti model iklan politik paling purba itu. Perlu dipikirkan model kampanye yang lebih cerdas, murah, dialogis, gembira, penuh cinta, serta merangsang daya nalar dan kesantunan politik.
Model pengerahan massa adalah tradisi raja-raja dan panglima perang tradisional untuk menunjukkan kebesaran kekuasaannya kepada pihak lawan agar gentar. Pengerahan massa sama sekali tidak otentik dengan keterpilihan. Apalagi jika dibenturkan dengan statistik. Jika seorang kandidat, misalnya, bisa mengerahkan 10 ribu massa di sebuah lapangan dan menunjukkan ia akan menang, maka sesugguhnya ia sedang berhalusinasi politik.
Kampanye sesungguhnya adalah olahlaku dan pikiran terhadap publik serta komitmen yang ditunjukkan jauh hari sebelum era pilkada dan kampanye tiba. Menyuntikkan obat kuat berupa tahyul-tahyul janji politik di masa “kompanye” sebagaimana berlangsung saat ini, tidak akan berefek banyak. “Dunia akan menilai dari apa yang Anda selesaikan, dan bukan apa yang baru Anda mulai” (Baltasar Gracian).***
* Teuku Kemal Fasya, Pengamat Perilaku Politik.