Opini

Perpustakaan Anak; Janji yang Terlupakan

ANAK-ANAK Muslim hari ini, tidak terkecuali di Aceh, semakin tenggelam dalam dilema akan kebenaran identitasnya

Editor: bakri

Oleh Nia Deliana

ANAK-ANAK Muslim hari ini, tidak terkecuali di Aceh, semakin tenggelam dalam dilema akan kebenaran identitasnya. Seiring dengan meningkatnya pengaruh negatif teknologi, tantangan untuk beradaptasi dengan hidup menjadi demikian besar dan partisipasi orang tua juga bertambah lebar. Di Aceh, misalnya, hampir tidak ada rumah yang tidak memiliki TV. Hampir tidak ada pekerja yang tidak memiliki ipad atau tab. Ditambah lagi dengan koneksi internet yang limitless. Maka tidak mengherankan jika kemudian anak-anak ditemui berada dalam keadaan candu games, tontonan film animasi kekerasan, atau sejenisnya. Ditambah lagi anak-anak ini menjadikan informasi yang didapat dari media seperti ini sebagai ukuran untuk melihat dunia.

Maka jangan pula terkejut jika anak lelaki Anda tumbuh dengan perangainya yang rentan dengan bully atau anak perempuan Anda yang mania dengan kecantikan seorang Barbie. Yang lebih parah adalah peralatan-peralatan teknologi monitor hari ini berdampak pada kelumpuhan sistem otak. Jika tidak lumpuh, maka anak Anda akan bodoh atau menjadi seorang pengabai. Namun sayang tidak banyak orang tua, khususnya Muslim, yang menyadari hal ini, baik itu yang berjanggut, berjilbab besar, atau bercadar, atau bahkan seorang ulama sekalipun. Sebaliknya, malah lebih dilawan oleh mereka yang tidak bertuhan, yang sekuler atau liberal. Namun pun begitu, ada beberapa orang tua Muslim yang menyadari akan tantangan dan konsekuensinya namun mereka menghadapi kendala lain yang berasal dari sistem yang dibuat oleh manusia. Tentu ini bukan topik yang ingin dibahas.

Saya patut menceritakan sebuah kasus yang saya temui di satu perpustakaan universitas terkemuka di Malaysia. Universitas tersebut dikenal sebagai satu universitas dengan kualifikasi Islami terbaik di dunia. Satu contohnya adalah, perpustakaan anak. Perpustakaan Anak tersebut telah dibangun sejak lebih dari 10 tahun lalu. Tampaknya di Malaysia, hanya universitas ini yang memiliki sebuah perpustakaan bagi anak-anak. Namun sayang sekali fasilitas ini telah ditiadakan tanpa alasan yang jelas. Ketika diselidiki, ternyata perpustakaan ini ditutup karena suara bising anak-anak, suara yang keluar secara natural dari setiap anak. Dan alasan lainnya adalah menyangkut pegabaian orang tua. Tentu ada keluhan dan tentu saja ada ketegangan ketika menyadari bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai kebenaran untuk memutuskan hak anak-anak akan akses eksplorasi pada buku sejak umur dini. Tanpa menerima saran apapun, pihak berwenang tetap bersikeras untuk menutup perpustakaan ini.

Begitu sulit untuk tidak membandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh sebuah bangsa disudut lain. Dalam hal ini misalnya, sebuah negeri yang dipimpin oleh orang keturunan Cina dan yang dijalankan oleh masyarakat non-Muslim sangat mengerti akan kebutuhan anak dalam menyalurkan kealamiahan energi yang tak terbendungkan. Cara tersebut adalah membiarkan energi anak-anak tertumpah lewat penjelajahan halaman-halaman buku di padang perpustakaan yang penuh imajinasi.

Sebuah perpustakaan anak dibangun tidak hanya didalam perpustakaan nasional tapi juga di alam bebas dimana setiap anak punya kesempatan untuk mengeksplor apa yang tidak mungkin mereka lakukan ketika berada dirumah. Perpustakaan tersebut dibangun dengan infrastruktur yang kedap suara, lantai yang ramah anak, rak-rak buku dengan tinggi anak-anak, dan koleksi buku-buku yang kandungannya universal dan beraneka ragam dengan kesesuaian umur anak, dan tentu saja dengan dekorasi penuh warna dan figur-figur yang disukai mereka pula.

Kondisi perpustakaan seperti itu jelas dirancang untuk menguntungi tidak hanya anak-anak dan orang tua tapi juga pengunjung perpustakaan yang berkepentingan serius. Dan yang lebih penting adalah mereka mampu memfungsikan perpustakaan tidak hanya sebagai tempat membaca tapi juga tempat bertukar pikiran, bertukar kebudayaan, tempat dimana analisa mengalami proses yang riil. Tentu menyedihkan jika hingga kini kita masih terus membodohi diri sendiri dalam sikap menyalahkan mereka yang tidak bertuhan sebagai perusak sendi-sendi keagamaan, terlepas dari fakta bahwa ada grup-grup dari kalangan ini yang juga mengabaikannya.

 Perpustakaan anak
Saya ingat ketika menemani seorang Eropa mewawancari Wali Kota yang baru terpilih, Mawardy Nurdin, pada 2007. Saat ditanya mengenai program yang akan dicanangkan untuk Banda Aceh, satu program yang Beliau sebut saat itu adalah membangun perpustakaan anak. Ini merupakan sebuah ambisi yang telah sepenuhnya dilupakan. Wali Kota yang sudah terpilih untuk kedua kalinya tersebut masih belum merealisasikan kebutuhan dasar kemanusiaan, akses membaca bagi anak-anak.

Aceh yang baru bangun dari trauma konflik dan kepedihan bencana tsunami, secara alamiah, haus akan hal-hal yang baru dalam segala aspek, tidak peduli itu datang dari mana. Adopsi terhadap inovasi-inovasi tersebut telah menciptakan pergolakan dalam sistem sosial, baik secara fisik maupun mental. Jika hingga kini, perubahan mental yang paling menonjol adalah kecenderungan akan uang dan gaya hidup bebas, maka sebagai seorang Aceh yang Islami, harus ada upaya untuk tidak menularkannya pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu Aceh, jelas membutuhkan perpustakaan anak yang mendukung prospek masa depannya tidak hanya secara scientific tapi juga secara moral dan adat.

Keterbelakangan Aceh tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada panjangnya era berkonflik dan peperangan. Tapi yang lebih penting adalah minimnya kesadaran berpendidikan, pendidikan demi mendapatkan pengetahuan murni, bukan demi memperoleh jaminan bayaran setiap bulan. Dan minimnya minat anak-anak dan remaja dalam membaca menyebabkan tumpulnya sistem sensor pikiran sehingga ketika mereka disuguhkan pada pengetahuan-pengetahuan sepihak yang menjatuhkan sistem sosial dan norma yang telah dibangun dengan matang, maka akan ‘dikunyah’ secara bulat tanpa iming-iming usaha untuk menganalisa kembali. Tentu tidak seorangpun harus disalahkan mengingat ketiadaan fasilitas analisa dilingkungan mereka.

Di samping itu, hal yang sangat disayangkan adalah akses masyarakat terhadap teknologi tidak terbendungkan. Sama halnya seperti Muslim dinegara lain, anak-anak Aceh terjebak dalam rutinitas kosong yang kemudian, dari pada diisi dengan menjelajahi lingkungan aktual, diisi dengan tontonan yang mengarah pada goyangnya sistem sosial dan norma.

Jika masyarakat kita masih berada dalam fase ini, maka bantuan sebesar apapun tidak akan mencapai tingkat efisien. Misalnya, pada 28 Juni 2013 Australia telah menyempurnakan program pengembangan pendidikan bagi Aceh yang dikenal dengan program SEDIA. Dana yang telah dikucurkan adalah sekitar 9 juta dolar AS. Bantuan ini diperuntukkan tidak hanya bagi kesempatan akses pendidikan, tak terbatas anak-anak tapi juga peningkatan kapabilitas guru yang besar. Selama empat tahun program ini berjalan, yang dihasilkan adalah pembentukan kantor dan kelanjutan bayaran untuk tim koordinasi.

Selain itu, tidak terlihat suatu perubahan berarti dalam perspektif anak-anak Aceh terhadap pendidikan dan minat membaca kecuali, pandangan untuk meningkatkan jumlah mobil Mercedes dan rumah-rumah minimalis model terbaru di kediaman masing-masing. Saya pikir, selain kesadaran membaca wajib ditumbuhkan terlebih dulu pada orang tua, pemerintah juga bertanggung jawab untuk mengarahkan perubahan mereka lewat pengadaan akses bacaan sejak dini. Maka fasilitas yang mengarah pada hal ini penting, di samping proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan program-program identitas keacehan lainnya.  

* Nia Deliana, Ibu rumah tangga dan aktivis TARSA, satu Himpunan Mahasiswa asal Aceh berbasis Kuala Lumpur, Malaysia. Email: delianania@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved