Opini
Membangun Kota yang Ramah
BANDA ACEH pascatsunami adalah Mawardy Nurdin. Menjabat sebagai Wali Kota Banda Aceh untuk kedua kalinya
(In Memoriam Mawardy Nurdin)
Oleh Wirzaini Usman dan Musfa Gustiawaty
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Selamat jalan Bapak Ir Mawardy Nurdin MEng Sc, “Bapak Pembangunan Kota Banda Aceh”. Jasamu akan selalu kami kenang.
BANDA ACEH pascatsunami adalah Mawardy Nurdin. Menjabat sebagai Wali Kota Banda Aceh untuk kedua kalinya, Mawardy mencurahkan seluruh kemampuannya untuk menjadikan Banda Aceh sebagai sebuah kota yang tidak hanya baik secara dari sisi pembangunan fisik, namun juga menghadirkan sebuah tatanan kehidupan yang lebih maju; lebih madani. Mawardy menawarkan kepada seluruh masyarakat Banda Aceh kota yang beradab dan modern. Kota dengan nilai-nilai islami.
Di masa transisi pada 2005 sesaat setelah ditunjuk sebagai Pejabat Wali Kota Banda Aceh, Mawardy bergerak cepat dan merangkul banyak pihak untuk terlibat langsung dalam membangun Banda Aceh dari puing-puing kehancuran yang terlihat masif. Di tangan insinyur lulusan Australia ini, Banda Aceh mulai menemukan blue print pembangunan kota yang kelak menjadikan Banda Aceh sebagai kota dengan layout terbaik di Indonesia.
Menawarkan layanan baru
Selera arsitektur Mawardy tergambar jelas di setiap sudut kota Banda Aceh. Balai Kota Banda Aceh dibangun serupa dengan perkantoran modern. Di sini, Mawardy menawarkan sebuah layanan baru, yang tak pernah didapat masyarakat. Balai Kota menjadi sebuah rumah administrasi masyarakat yang mudah diakses. Mawardy mengubah imaji “seram” tentang sebuah kantor pemerintah menjadi sebuah layanan yang ramah, layanan yang terpusat satu pintu one stop services.
Di bawah kepemimpinan Mawardy Nurdin dibantu Illiza Sa’aduddin Djamal sebagai Wakil Wali Kota, Banda Aceh berubah menjadi satu kota yang nyaman. Jalan-jalan dibuat lebar. Mawardy merancang jalan-jalan baru yang menjadi sentra bisnis baru di Banda Aceh. Dengan kejeliannya, Mawardy menghadirkan sebuah kota yang ramah terhadap siapa saja. Akses bagi para penyandang disabilitas, jalur sepeda, taman kota, dan pusat-pusat perbelanjaan modern, dan pasar-pasar tradisional yang lebih bersih, adalah sebuah keinginan Mawardy dan persembahannya bagi masyarakat atas kepercayaan atas kepemimpinannya.
Mawardy Nurdin tak sempat menuntaskan masa baktinya. Sabtu (8/2) pekan lalu sekira pukul 19.30 WIB di RSU Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, Mawardy menghembuskan nafas terakhir di sekitar orang-orang terdekatnya. Sebuah akhir dari penyakit yang menggerogotinya sejak awal 2012 lalu. Mawardy meninggalkan Nurshanty Adnan, istri yang setia menemani di saat susah dan senang, serta empat orang putra-putri yang sudah beranjak dewasa.
Mawardy juga mewariskan banyak hal-hal baik yang menjadi landasan dalam hidup dan berkehidupan di Banda Aceh. Mawardy mengajarkan masyarakat Banda Aceh untuk mencintai kota mereka. Dia adalah pemimpin pertama di Banda Aceh dan bahkan di Aceh yang menjauhkan rokok dari fasilitas-fasilitas publik dengan mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 47 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Dia menggugah kesadaran masyarakat untuk peduli dengan orang-orang di sekitar mereka. Mawardy memberikan sentuhan nilai pada setiap pembangunan yang dilakukan. Dia adalah pemimpin yang mampu menumbuhkan kebanggaan menjadi warga Banda Aceh.
Bahkan di saat rasa sakit menggerogoti kesehatannya, Mawardy terus bekerja. Dia bukan tipe pemimpin yang senang dipuja. Dia tak pernah berusaha memanfaatkan jabatannya untuk publisitas. Baginya, prestasi bukan hanya sekadar penghargaan. Prestasi adalah sesuatu yang dilakukan dengan kerja keras dan kerja cerdas. Padahal sejak 2007 sampai dengan 2013 tidak kurang 35 penghargaan diraih baik di level nasional maupun internasional.
Sebut saja; Pelayanan publik kemudahan dalam berusaha; Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) lima kali berturut-turut; Juara pertama bidang penataan ruang; MDGs Award dari Metro TV; Satu dari tiga kota yang diundang PBB untuk mempresentasikan case study paper dalam Mitigasi Bencana (Disaster Risk Reduction) 2011; Gender Awareness dari Pemerintah German (2008); Empat Kali meraih Piala Adipura; dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Award dari Komisi Informasi Aceh (2013).
Di tengah keterbatasan anggaran pemerintah kota, Mawardy menggandeng banyak pihak untuk masuk dan ikut berpartisipasi dalam membangun Banda Aceh. Wawasan dan jaringan yang luas, berkat pergaulan yang luwes, membuat Mawardy mudah mengajak banyak pihak untuk membangun Banda Aceh.
Di internal pemerintahan, Mawardy memberikan sebuah dorongan moral luar biasa agar seluruh aparatur bekerja dengan sungguh-sungguh. Dia membenahi birokrasi dengan menempatkan orang-orang tepat untuk sebuah jabatan, the right man in the right place. Perlahan-lahan, Pemerintah Kota Banda Aceh tumbuh sebagai sebuah organisasi yang sehat dan mampu memberikan pelayanan maksimal. Di bawah kepemimpinannya, Banda Aceh menawarkan sebuah konsep baru; kota modern yang islami.
Sebagai seorang pemimpin partai politik besar di Aceh, Mawardy juga tidak serta merta memonopoli pemerintahan dan berlaku semaunya. Dia tak pernah mencampuradukkan politik dan pelayanan publik dalam satu wadah yang bernama kelompok. Mawardy bekerja untuk masyarakat Banda Aceh. Selama tujuh tahun kepemimpinannya, Mawardy tak sekalipun meletakkan kepentingan masyarakat di bawah kepentingan partainya. ‘Bapak Pembangunan’
Beberapa waktu lalu, muncul sebuah usulan untuk menyematkan gelar “Bapak Pembangunan Banda Aceh” kepada Mawardy Nurdin. Bahkan dalam sambutannya saat pemakaman di Lamteumen Barat Banda Aceh, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menyatakan Mawardy layak mendapat kehormatan sebagai “Bapak Pembangunan Banda Aceh” dan Pemerintah Aceh akan memberikan penghargaan untuk itu. Tentu semua kita sepakat jika Mawardy Nurdin (Allahuyarham) mendapat penghormatan itu.