Sawit, Ibarat Tyson versus Yuni Shara
SUATU hari saya didatangi Profesor Fauzi, seorang guru besar di Universitas Kebangsaan (UKM) Malaysia
Ulasan Akmal Ibrahim (Petani Sawit)
SUATU hari saya didatangi Profesor Fauzi, seorang guru besar di Universitas Kebangsaan (UKM) Malaysia. Dia bertanya, mengapa Indonesia lepas tangan terhadap petani sawit. Padahal, sawit sudah menjadi komoditas utama yang menghidupi jutaan rakyat, termasuk Aceh. Tidak ada pengaturan, apalagi proteksi.
Komoditas sawit yang dikembangkan oleh rakyat yang miskin modal, miskin pengetahuan tentang pasar, diserahkan pada mekanisme pasar murni, dan negara lepas tangan begitu saja.
Padahal, petani sawit tidak punya posisi tawar apa pun. Berapa patokan harga yang ditetapkan oleh pengusaha pabrik, itulah harga sawit milik petani. Tak ada negosiasi, tak ada hitungan total cost produksi sawit, apalagi menjaga agar petani tetap untung agar produksi sawit berkelanjutan.
Akibatnya, kompetisi petani sawit-pengusaha, bandingannya ibarat petinju Mike Tyson melawan artis Yuni Shara. Sudah lawannya tak seimbang, pemerintah yang notabene pemilik gedung pertandingan (negara) pun bukannya menjadi wasit, malah jadi penonton yang menikmati “pembantaian” Yuni Shara setiap hari, sambil meraup triliunan rupiah hasil pertandingan itu, berupa PPN, PPh, plus pajak ekspor crude palm oil (CPO).
Seberapa bonyoknya Yuni Sahara terkena pukulan Tyson, kira-kira seperti itulah bonyoknya petani sawit sekarang, ketika harga beli sawit di tingkat petani hanya sekitar Rp 500-650 per kilogram, sementara total cost produksi sudah hampir mencapai Rp 1.000/kg. He...he...
Beda dengan Malaysia, menurut Prof Fauzi, pabrik sawit atau di sana disebut ‘kilang’ (dan istilah yang mereka pakai lebih tepat dibanding kita), didirikan oleh pemerintah, sehingga kontrol harga sawit rakyat dikendalikan penuh oleh negara.
Malaysia mendirikan lembaga khusus yang diberi nama Felda, untuk membangun perkebunan rakyat, membangun kilang-kilang prosesing, hingga berperan dalam pemasarannya. Lembaga ini untung besar dalam operasinya, bahkan menyaingi perusahaan migas, Petronas. Anak-anak petani sawit, bahkan mendapatkan sekolah gratis hingga jenjang S3 atas biaya Felda di seluruh dunia. Mereka juga membuka lahan sawit hingga ke luar negaranya melalui anak-anak perusahaannya.
Karena itu, harga sawit rakyat di Malaysia, jauh lebih tinggi dari harga petani sawit petani Indonesia, sehingga kesejahteraannya juga jauh lebih tinggi, bahkan bila dibanding dengan pejabat kelas menengah kita. Makanya, ribuan warga kita menjadi buruh di kebun sawit mereka.
Di sana negara hadir untuk melindungi rakyatnya. Dan itu bukan gratis. Negara juga meraup untung besar dari usaha ‘wong cilik’ itu. Bahkan, Malaysia yang kecil mungil itu, selama puluhan tahun menjadi produsen sawit terbesar di dunia, sekaligus sebagai pengendali harga CPO internasional.
Kini, sawit sudah menjadi komoditas utama rakyat di Aceh. Di beberapa kabupaten, penghasilan dari sawit, sudah mencapai triliunan rupiah per tahun, bahkan melebihi total APBD kabupaten tersebut. Di Nagan Raya, misalnya, kini ada delapan pabrik dengan kapasitas rata-rata 30 ton per jam, dengan waktu operasi sekitar 20 jam per hari, atau minimal 500 jam per bulan. (Standar operasi minimal pabrik per bulan).
Artinya, minimal 500 jam per bulan kali delapan pabrik, kali 30 ton per jam, sama dengan 120.000 ton per bulan. Bila dikali Rp 1.500 per kg saja, atau Rp 1.500.000 per ton, akan ada pembayaran pabrik sekitar Rp 180 miliar per bulan, atau Rp 2,1 triliun per tahun.
Itu belum termasuk ratusan ton yang dibawa ke Aceh Singkil dan Subulusaalam, atau ke Mapoli dan KTS di Aceh Barat, atau PT Boswa di Aceh Jaya, setiap hari. Bila Anda beristirahat di Blangpidie, Aceh Barat Daya (Abdya), hampir setiap jam sepanjang malam ada saja truk besar jenis intercooler mengangkut sawit ke arah Subulussalam dan Aceh Singkil. Begitu juga ke arah Meulaboh.
Katakanlah cuma setengah dari total produksi itu milik rakyat dan setengahnya lagi milik perusahaan, tapi uang yang beredar langsung ke rakyat juga bakal triliunan rupiah jumlahnya. Entah itu untuk petani, ongkos pekerja, biaya transportasi, dan lainnya. Apalagi di Abdya, minimal sekitar 80 persen sawit yang sudah produksi adalah milik rakyat.
Masalahnya, fakta itu tidak menarik perhatian pemerintah. Posisi rakyat di hadapan pemilik modal yang menguasai pabrik prosesing tetap seperti posisi Yuni Shara yang lembut gemulai melawan Mike Tyson yang garang dan agresif dengan leher betonnya yang kuat sangat. Petani tak punya posisi tawar, sementara pemerintah seperti sangat acuh.