Opini

Pemuda Bahasa dan Literasi

DUA ayat di atas cukuplah sebagai bukti bahwa Allah Swt menginginkan hambanya agar saling mengomunikasikan

Editor: bakri

Kenyataan menunjukkan bahwa ketersediaan perpustakaan pribadi atau sudut baca di rumah-rumah penduduk sangat minim, baik pada masyarakat terpelajar maupun masyarakat umum. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan prinsip dasar visi dan misi literasi dalam peradaban Islam, yakni iqra’ (bacalah). Perintah membaca tentunya harus dipahami juga dengan seruan menulis. Seolah-olah aktivitas baca-tulis hanya milik atau kewajiban segelintir orang, seperti akademisi, jurnalis, dan sastrawan. Terkait dengan kondisi ini, sebagai satu upaya memantik minat baca dan mencerdaskan masyarakat, beberapa waktu yang lalu, melalui salah satu satker BRR NAD-Nias pernah dibiaya suatu penelitian mengenai pembangunan taman bacaan di Aceh pascatsunami. Sampai saat ini, sepertinya belum ada tindak lanjut dari pemerintah tentang rekomendasi hasil penelitian kebijakan tersebut.

Memprakarsai gerakan cinta, gemar membeli, membaca, dan menulis buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya merupakan tindakan nyata yang dapat kita lakukan sebagai wujud kepedulian kita dalam membumikan kegiatan literasi. Di setiap rumah warga idealnya harus tersedia perpustakaan mini atau sudut-sudut baca yang mudah dijangkau, menyediakan aneka bahan bacaan, khususnya bahan bacaat utama keluarga, seperti referensi agama, pendidikan, sosial, kesehatan, teknologi, dan seni budaya. Sebagai seorang kepala keluarga, secara rutin (misanya sebulan sekali) mau mengalokasikan biaya rumah tangganya untuk pengadaan bahan bacaan demi kelengkapan dan kemutakhiran koleksi referensi bagi keluarganya.

Bila dia seorang guru atau dosen bahasa Indonesia misalnya, bersedia mengalokasikan sebagian dari gajinya untuk membeli buku atau referensi-referensi terbaru yang terkait langsung dengan bidang profesinya, dengan cara setiap bulan menambah masing-masing satu koleksi bidang keagaamaan, kependidikan, kebahasaan, kesastraan, dan buku umum lainnya. Demikian juga dengan siswa atau mahasiswa, mesti ada usaha menghemat dan menabung demi bisa beli buku setiap bulan dari penyisihan uang jajan hariannya.

Bila buku telah terbeli, lambat laun upaya membacanya mesti dipantik. Pemantikan minat baca juga perlu dipaksa dengan cara menyediakan waktu setiap hari secara berencana meskipun dengan durasi yang tidak lama. Mulailah dengan membaca bahan-bahan bacaan yang ringan dan menyenangkan karena hal itu akan memicu kecanduan membaca. Bila rasa candu telah mengalir dalam jiwa, membaca apa saja juga akan menjadi kebutuhan yang menyenangkan. Tidak enak perasaan bila sehari belum membaca.

Pada pase berikutnya, bila candu baca telah menggelora dalam jiwa, seseorang disebut “kutu buku”. Pada pase ini orang tersebut mulai dilanda semacam “gegana; galau, gelisah, dan merana”, ingin menulis dari banyak hal yang sudah diketahuinya untuk dipersembahkan kepada orang lain sebagai karya kreatifnya. Selanjutnya, bila minat sudah sampai pada level ini, gejolak rasa seseorang tentang sesuatu tidak dapat terleraikan dengan baik sampai ia menumpahkan atau menuangkannya dalam gelas tulisan. Tidak enak badan dan perasaan bila sehari belum menulis. Dengan perkataan lain, menulis dapat membuatnya sehat, lahir dan batin. Maka, menulislah! Dirgahayu Bahasa Indonesia!

* Azwardi, S.Pd., M.Hum., Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: azwardani@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved