Serambi MIHRAB

Dibangun Pada Masa Kolonial Belanda

MASJID Bujang Salim dibangun pada tahun 1921 dengan semangat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kala itu, belum ada masjid

Editor: hasyim
SERAMBI/ZAKI MUBARAK
Mesjid Bujang Salim, di pusat kota Krueng Geukuh, Aceh Utara yang mempunyai arsitektur yang menjadi mesjid kebanggan warga kota setempat, Kamis (29/12/2016). SERAMBI/ZAKI MUBARAK 

MASJID Bujang Salim dibangun pada tahun 1921 dengan semangat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kala itu, belum ada masjid di kawasan yang kini masuk wilayah Kecamatan Dewantara, sehingga masyarakat setempat melaksanakan shalat jamaah di rumah masing-masing atau di meunasah dengan kondisi yang terbatas.

Kondisi ini mendapat perhatian serius dari bangsawan kerajaan Nisam Teuku Rhi Bujang alias T Bujang Slamat bin Rhi Mahmud. Pria pemberani yang kerap menentang kolonial Belanda ini merupakan pahlawan perintis kemerdekaan RI yang berasal dari Nisam.

Teuku Bujang mengundang ulama dan tokoh masyarakat Dewantara untuk bermusyawarah dan menyampaikan idenya untuk mendirikan sebuah masjid yang akan menjadi pusat seluruh kegiatan masyarakat. Setelah melalui proses musyawarah, Teuku Bujang Slamat memprakarsai pembangunan masjid, di atas tanahnya yang berada pusat Keude Krueng Geukueh dengan ukuran 20 x 15 meter.

Namun, sebelum dapat meletakkan batu pertama pendirian masjid tersebut, tahun 1921 Teuku Bujang diasingkan ke Irian Jaya, karena menentang Kolonial Belanda. Bahkan, untuk menghilangkan pengaruhnya dari negeri ini, Bujang Slamat diasingkan hingga ke Australia. Kendati demikian, pembangunan masjid yang digagasnya terus dilanjutkan oleh masyarakat setempat.

Pembangunan masjid ini dilanjutkan Uleebalang asal Dewantara Ampon Hanafiah. Hingga kemudian berhasil dibangun masjid sederhana dengan ukuran 20x15 meter. Dalam perjalanannya, masyarakat setempat sepakat menambalkan nama Teuku Bujang Slamat menjadi nama masjid Jamik tersebut, yaitu dengan nama Bujang Salim.

Pengembangan dan pembangunan Masjid Jamik Bujang Salim terus ditingkatkan dan diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat Kecamatan Dewantara yang semakin bertambah. Tahun 1980 tokoh masyarakat, Tgk H A Gani mengusulkan agar masjid itu diperluas agar bisa menampung jamaah shalat Jumat.

Lalu, Tgk A Gani ditunjuk sebagai panitia renovasi perluasan masjid. Dalam waktu lima tahun tersebut panitia aktif mencari sumber dana dari instansi pemerintahan, perusahaan dan masyarakat, masjid ini berhasil diperluas dari ukuran semula 20 x 15 meter menjadi 40 x 30 meter. Tahun 1990 statusnya menjadi Masjid Besar Bujang Salim, karena selain karena masjid pertama yang didirikan di Dewantara juga karena lokasinya berada di pusat kecamatan serta sudah banyak masjid jamik lainnya di sekitar kawasan tersebut.

Perluasan masjid tersebut kembali dimulai pada 1996 atas usulan masyarakat yang dipimpin Camat Dewantara kala itu, Drs H Marzuki M Amin. Masjid yang sebelumnya berukuran 40 x 30 meter menjadi 60 x 30 m. Perluasan juga dilakukan untuk pekarangan masjid, dari ukuran 50 x 30 meter menjadi 95 x 80 meter. Hingga kini tahap pembangunan dan renovasi masjid hampir rampung yaitu pembangunan menara. Taksiran dana yang digunakan untuk membangun masjid itu sudah mencapai Rp 12 miliar.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved