Dalam Forum PBB, ASNLF Sorot Lemahnya Dukungan Indonesia untuk KKR
Komisi ini bertugas untuk mengungkap keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.
SERAMBINEWS.COM -- Delegasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) mendapat kesempatan hadir menjadi pemantau dalam forum Universal Periodic Review (UPR) di Kantor Dewan HAM PBB di Jenewa Swiss, Rabu (3/5/2017).
Seusai acara, Wakil Ketua Presidium ASNLF, Yusuf Daud kemudian mengirim sanggahan dalam nota keberatan yang disampaikan kepada sejumlah negara dan organisasi internasional terkait laporan Pemerintah Indonesia tentang penegakan HAM di Aceh.
Yusuf Daud dalam pernyataan tertulis yang diterima Serambinews.com, Kamis (4/5/2017), mengatakan, ASNLF ikut berpartisipasi dalam forum tersebut untuk memantau secara dekat bagaimana Indonesia menanggapi sekitar 150 dari 180 rekomendasi yang telah diterima dalam sidang sebelumnya.
Dikatakan, untuk ketiga kalinya, Indonesia akan 'diselidiki' tentang situasi Hak Asasi Manusia (HAM) melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR), Dewan Hak Asasi Manusia di Markas Besar PBB di Jenewa pada tanggal 3 Mei.
Pada UPR sebelumnya tentang Indonesia, sidang itu berlangsung pada 23 Mei 2012.
Yusuf Daud menambahkan, dalam sidang siklus tersebut terkait dengan peninjauan empat tahun yang lalu, ASNLF tidak mendengar satu patah kata pun tentang pelanggaran HAM berat oleh Indonesia di Aceh selama konflik.
Diskusi dan dialog interaktif sebagian besar berfokus pada isu-isu agama dan moral, seperti intoleransi agama, tindak kekerasan terhadap agama minoritas, dimana pemerintah dinilai telah gagal menanganinya dengan baik.
"Masyarakat internasional seharusnya tidak melupakan kuburan-kuburan massal tak bertanda, anak-anak yatim dan ribuan janda kami yang keberadaan suaminya masih belum diketahui sampai sekarang. Kami berharap peninjauan kasus HAM tahun ini akan berbeda dan hal-hal yang disebut di atas tidak akan terulang lagi," katanya.
Hal yang paling urgen, kata Yusuf Daud, pihaknya sangat menyayangan sikap Indonesia yang masih mengabaikan fungsi dan kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dibentuk oleh DPR Aceh.
Komisi ini bertugas untuk mengungkap keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Namun, menurut Yusuf Daud, sampai saat ini sepertinya Jakarta belum menunjukkan minat atau menyatakan dukungan untuk komisi tersebut.
Dikatakan, adanya kesepakatan damai antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengakhiri salah satu konflik bersenjata terpanjang di Asia Tenggara.
Namun sayangnya, sambung Yusuf Daud, kesepakatan tersebut telah mengenyampingkan kekerasan oleh negara saat konflik Aceh terjadi. Bahkan kebanyakan organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional ikut terbuai oleh euforia damai tersebut.
Seperti diketahui, pengadilan HAM dan pembentukan KKR merupakan amanah dalam UUPA atau di dunia internasional lebih dikenal dengan Law of Goverment Aceh dalam pasal 2.2 dan 2.3.
Masih menurut Yusuf Daud, ketika Jakarta dan bahkan dunia telah menganggap kasus pelangggaran Aceh di masa lalu sudah tutup buku dan berakhir dengan bahagia, masih banyak rakyat Aceh menganggap sebagai gencatan senjata sementara dari sebuah konflik.
"Kami berharap perwakilan-perwakilan negara yang menghadiri forum minggu ini akan memiliki keberanian untuk berterus-terang dan mempertanyakan kepada Indonesia tentang pelanggaran luar biasa hak asasi manusia di Aceh. Situasi hak asasi manusia tidak akan baik jika tidak ada rasa keadilan kepada para korban," demikian kata Yusuf Daud dalam pernyataannya. (*)