Sejumlah Kawasan Banda Aceh Tergenang, Dewan Kota: Sistem Drainase tak Cocok Lagi dengan Zaman Now
“Mungkin 5 tahun lalu masih mampu, tapi sudah tidak cocok lagi untuk zaman now,” tambah dia.
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Safriadi Syahbuddin
Laporan Zainal Arifin | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Hujan deras yang mengguyur Banda Aceh sejak tiga hari terakhir, menimbulkan banjir genangan di sejumlah lokasi.
Anggota DPRK Banda Aceh, Mukminan, menilai banjir genangan di beberapa kawasan dalam Kota Banda Aceh ini terjadi karena tidak baiknya saluran pembuang (drainase).
“Kita melihat drainase kota terbangun parsial, alias terpotong potong. Terbangun drainase 100 meter, lalu terputus, nanti di lokasi lain muncul lagi drainase sepanjang 200 meter,” ujar Mukminan melalui pesan Whatsapp kepada Serambinews.com, Minggu (3/12/2017).
Menurutnya, contoh dari kondisi ini bisa dilihat di Gampong Doy, Ulee Kareng. Di mana saluran air di kawasan itu tidak terhubung antara drainase primer dengan sekunder.
“Tidak jelas antara hulu dan hilir, sehingga tidak jelas ke mana air mau dialirkan,” ujarnya.
(Baca: VIDEO: Fly Over Simpang Surabaya Banda Aceh Sudah Bisa Dilintasi)
(Baca: Dewan Minta Pemko Banda Aceh Manfaatkan Sail Sabang, Toilet Pelabuhan Ulee Lheue Harus Bersih)
(Baca: Sudah Pernah Coba Hanbok di Banda Aceh? Pakaian Tradisional Masyarakat Korea yang Makin Diminati)
Keadaan ini membuat air mengendap di jalan sehingga membuat aspal jalan menjadi rusak dan berlobang.
Politikus PKS ini berpendapat kondisi ini terjadi karena drainase yang dibangun di Kota Banda Aceh pascatsunami atau pada tahun 2005 lalu, kini sudah ketinggalan zaman.
“Akibatnya air harusnya masuk drainase tapi malah meluber ke jalan raya. Contohnya bisa dilihat di Kampung Keuramat dan Kopelma Darussalam. Ini terjadi karena kapasitas drainase sudah tidak mampu lagi menampung air,” ungkap Mukminan.
“Mungkin 5 tahun lalu masih mampu, tapi sudah tidak cocok lagi untuk zaman now,” tambah dia.
Ia melanjutkan, hal ini terjadi karena lahan-lahan yang lima tahun lalu masih kosong dan menjadi ruang terbuka hijau atau tempat parkir air, kini sudah berubah menjadi lokasi pertokoan atau perumahan penduduk.
Menurut Mukminan, perlu juga dilakukan pendekatan ekologi untuk menjinakkan air dengan cara menyiapkan ruang terbuka hijau (RTH) untuk resapan air, sehingga bisa mengurangi dan meminimalisir limpahan ke drainase.
“Untuk Banda Aceh, ini masih kurang dilakukan, secara aturan RTH itu harus tersedia 20 persen dari total luas wilayah,” ujarnya.
“Soal drainase ini harus ditangani secara serius oleh Pemko dengan penanganan komprehensif dan berkelanjutan. Tidak boleh cilet cilet. Di sini dibutuhkan master plan drainase baru,” imbuh Mukminan.(*)