Breaking News

Liputan eksklusif

Kekayaan Leuser, Surga bagi Penjarah

DEGRADASI hutan di Aceh, di luar maupun di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga disebabkan alih fungsi lahan

Editor: bakri
ASKHALANI, Koordinator GeRAK Aceh 

DEGRADASI hutan di Aceh, di luar maupun di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga disebabkan alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan kawasan pertambangan. Karena memang di perut bumi Aceh ini kaya dengan bahan tambang. Tak kurang dari 21 bahan tambang ada di sekitar KEL. Mulai dari batu gamping untuk bahan baku semen, batu bara, minyak bumi, gas alam, batu giok, bijih besi, nikel, tembaga, mangan, perak, hingga emas.

Bahkan, ada yang menyebut di bawah lapisan tanah kawasan Leuser ini terdapat uranium, yang merupakan bahan tambang paling dicari saat ini untuk bahan penghasil reaktor nuklir dan hanya sedikit negara di dunia yang memilikinya. Sehingga harganya bisa 100 kali lebih mahal dari emas.

Meski Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang melakukan penelitian di tahun 1987 pernah menyebutkan adanya kandungan uranium di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan diperkuat oleh penelitian empat ahli tambang Indonesia yang dirilis dalam Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan Bakar Nuklir II pada November 1996 di Jakarta, tapi informasi detail terkait hal ini tak pernah diungkap ke publik sampai sekarang.

Selain minyak bumi dan gas, bahan tambang lainnya terdapat di daratan dan banyak yang berada di kawasan hutan. Karena itu, banyak pihak baik perseorangan maupun korporasi dari dalam dan luar negeri yang berebut ingin menguasai sumberdaya alam tersebut, dan kemudian melakukan penjarahan dengan mengabrak-abrik hutan Aceh.

Data diperoleh Serambi, dari 138 izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan Pemerintah Aceh periode 2008-2014, 41 perusahaan di antaranya beroperasi di KEL.

Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh yang secara khusus melakukan pemantauan terhadap aktivitas perusahaan tambang di Aceh, menemukan banyak pelanggaran dan tindak pidana terkait aktivitas pertambangan di daerah ini sepanjang 2017, khususnya di pantai barat Aceh yang berdekatan dengan kawasan konservasi KEL. Mulai dari pelanggaran prosedur perizinan, pencemaran limbah, tumpang tindih penguasaan lahan, dugaan korupsi oleh pejabat daerah, hingga penambangan emas tanpa izin.

Tujuh kasus di antaranya yang telah dianalisa, langsung dilaporkan ke Kapolri, KPK, dan Kementerian Lingkungan Hidup.

PT Prima Bara Mahadana
Perusahaan tambang batu bara yang menguasai lahan seluas 2.024 ha di Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat ini dilaporkan GeRAK Aceh ke Kapolri, KPK, dan Kementerian LHK karena tidak menyetor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) selama empat tahun (2013-2016), tidak menyampaikan laporan kegiatan penanaman modal (LKPM), dan belum menyampaikan rencana reklamasi pascatambang.

Seharusnya, perusahaan milik Gautama Hartarto yang vakum sejak empat tahun lalu itu, menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawabnya. Bukan malah kabur dan membiarkan lahan bekas penambangan batu bara itu telantar, tanpa ada upaya untuk mereklamasi kembali kawasan itu.

PT Bara Adhipratama
Perusahaan ini, juga dimiliki oleh Gautama Hartarto, yakni orang yang sama yang memiliki saham PT Prima Bara Mahadana. Kedua perusahaan tersebut sama-sama menambang batu bara di Aceh Barat. PT Bara Adhipratama ini menguasai 1.600 Ha lahan di Gampong Lancong, Kecamatan Sungai Mas.

GeRAK Aceh juga melaporkan perusahaan ini ke penegak hukum karena diduga melakukan pelanggaran prosedur atas pelaksanaan dan mekanisme izin. Yaitu tidak memenuhi syarat memperoleh IUP karena dengan tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPH) dari Kementerian Kehutanan. Padahal, seluas 109 ha Wilayah IUP-nya masuk dalam Kawasan Hutan Lindung, sesuai Surat Ditjen Planologi Kementrian Kehutanan. Hal ini jelas melanggar Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Hasil supervisi tim koordinasi KPK-RI juga menemukan bukti bahwa perusahaan ini tidak membayar kewajiban sebagaimana aturan UU dan diduga telah menunggak pembayaran PNBP sektor pertambangan mineral dan batubara sebesar Rp. 211.000.000. Saat ini, perusahaan tersebut masih menguasai lahan yang masuk kawasan hutan itu hingga Juni 2031.

PT Mifa Bersaudara
Perusahaan tambang batu bara yang menguasai 3.134 ha lahan tambang di Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat ini diduga tidak melakukan upaya pemulihan pencemaran terhadap aspek lingkungan, di mana abu batubara mencemari udara di Suak Puntong secara terus menerus selama 4 tahun sejak 2014.

Kegiatan penumpukan batubara (stocke pile) milik PT Mifa di Desa Peunaga Cut juga diduga tidak memiliki dokumen AMDAL, dan hal ini bertentangan dengan UU Nomor 32/2009 pasal 22 Ayat (1). Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertambangan dan Dinas LHK Aceh yang memiliki fungsi pengawasan pun dinilai tidak bersikap tegas atas persoalan ini. Sehingga jumlah korban yang menderita sakit paru-paru akibat debu batu bara, terus bertambah. Karena itu, GeRAK pun melaporkan hal ini ke Kementerian Lingkungan Hidup.

PT Lhoong Setia Mining
Perusahaan penambang bijih besi ini menguasai lahan seluas 500 ha di tujuh gampong dalam Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Perusahaan milik Alfian ini telah mulai melakukan kegiatan produksi dan penjualan hasil produksi sejak tahun 2011 hingga tahun 2013.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved