Opini
Wacana Hukuman Mati di Aceh
WACANA hukuman pidana Islam, tepatnya hukuman mati (pancung) bagi pelaku pembunuhan kembali mencuat
Oleh Yuni Roslaili Usman
Being an Acehnese is equivalent to being a Moslem. (B.J. Boland)
WACANA hukuman pidana Islam, tepatnya hukuman mati (pancung) bagi pelaku pembunuhan kembali mencuat ke permukaan. Dengan alasan bahwa telah terjadi banyak tindakan kriminal di Aceh dewasa ini. Sebenarnya penerapan uqubat syar’i telah berjalan di Aceh, walaupun masih dalam tahapan bentuk ta’zir, seperti hukuman cambuk ala Aceh terhadap pelaku jinayah (pelaku maisir, khalwat, dan khamar). Namun kini, mengingat hukuman yang diwacanakan adalah hukuman mati, maka publik kembali memberikan respons beragam.
Hukum pidana Islam dalam literatur fikih disebut dengan hukum jinayah. Dalam hukum jinayah dikenal tiga bentuk kejahatan (jarimah), yaitu hudud, qishas-diyat, dan ta‘zîr. Pembagian ini didasarkan atas pertimbangan berat-ringannya hukuman yang dikenakan kepada pelaku dari suatu perbuatan jinayah.
Jarimah al-hudud adalah “suatu tindak jinayah yang bentuk dan hukumannya telah ditentukan Allah dan merupakan hak Allah semata”. Karena itu, hukuman ini tidak boleh digugurkan, ditambah atau dikurangi, baik hal itu dilakukan oleh pribadi tertentu maupun oleh masyarakat (Abd al-Qadir Audah). Perbuatan yang tergolong hudud sangat terbatas, yaitu perzinaan, menuduh berzina, pencurian, meminum khamar, perampokan, dan pemberontakan (Wahbah al-Zuhaili). Namun ada juga ulama fikih lain yang menambahkan murtad sebagai termasuk perbuatan hudud (Wahbah al-Zuhaili).
Qishas-diyat adalah jarimah yang ditetapkan hukumannya dengan cara qishas dan diyat. Ini merupakan hak individu, bukan hak masyarakat. Ketetapan hukumannya tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi, harus sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah. Akan tetapi karena hukuman ini merupakan hak pribadi bagi korban atau keluarganya, maka kepada mereka diberikan hak untuk memaafkan pelaku jinayah. Jika telah dimaafkan, maka gugurlah kesalahan jinayah itu darinya. Adapun jenis-jenis jinayah ini adalah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, mencederakan secara sengaja, mencederakan secara semi sengaja, dan mencederakan secara tidak sengaja (Muhammad Abu Zahrah).
Ta’zir adalah merupakan istilah umum yang mencakup bentuk-bentuk hukuman selain hudud dan qishas-diyat. Istilah ini digunakan untuk menyebut tindakan yang bersifat pelajaran atau pengajaran yang diberikan terhadap orang yang melakukan kesalahan yang tidak diatur oleh ketentuan hukumannya. Ta’zîr adalah hukuman yang dijatuhkan atas tindak pidana atau jarimah yang tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan dalam syariat Islam (Alquran dan Sunnah), seperti jarimah hudud dan qishas-diyat. Namun lebih merupakan kebijakan dari hakim untuk menetapkannya berdasarkan ruh dan prinsip-prinsip dari hukum Islam itu sendiri.
Adat dan agama
Khazanah lama masyarakat Aceh telah menampilkan adat dan agama sebagai dua unsur yang dominan dan sebagai pengendali gerak hidup rakyatnya. Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam waktu yang panjang itu telah melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat mereka. Adat itu lahir dari renungan para ulama, yang kemudian dipraktikkan.
Menurut A.H. Johns, Aceh merupakan negara kota Islam terpenting di Melayu, selain Malaka, pada abad 15 dan 17. Dengan jangkauan hubungan internasional dan kehidupan intelektual keagamaan yang luas, Aceh menjadi pusat perkembangan kerajaan maritim yang perkasa dan islami, sekaligus menjadi poros ulama Borjusi. Posisi Aceh pada abad ke-16 diakui di dunia Islam secara internasional. Agaknya, alasan inilah yang dijadikan sejarawan sebagai argumen untuk menyatakan Aceh sebagai satu negara Muslim terkemuka di dunia.
Menurut Denis Lombard, pada masa Sultan Ali Mughayatsyah (1514-1530) ada UU yang mengatur struktur pemerintahan yang dikenal dengan Qanun Syara’ Kerajaan Aceh. Dalam qanun ini disebutkan bahwa Kesultanan Aceh didasarkan pada hukum, adat, dan reusam yang didasarkan pada syariat Nabi Muhammad saw. Selanjutnya di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), telah menerapkan syariat Islam sebagai UU secara menyeluruh. Bahkan, di masa ini lahir UUD Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang disebut dengan “Peraturan di dalam Negeri Aceh Bandar Dar as-Salam”, yang lebih populer dengan sebutan Adat Meukuta Alam atau Adat Poteu Meureuhom (Nasrudin Sulaiman).
Menurut Husein Djajadiningrat, konstitusi yang dibuat langsung oleh Sultan Iskandar Muda ini berisi peraturan dasar tentang susunan pemerintahan, hukum, dan adat untuk memberlakukan hukum Islam. Dari konstitusi inilah, kemudian diyakini bahwa di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda telah diberlakukan hukum Islam secara menyeluruh, baik perdata maupun pidana.
Bahkan menurut A.C. Miller, para pengunjung Eropa (saudagar) sering menyebutkan tentang penggunaan hukum Islam, seperti potong tangan, hukum cambuk, pelarangan riba, dan penghapusan siksaan kuno yang bertentangan dengan Islam (seperti pencelupan ke dalam minyak panas dan menjilat besi yang panas membara bagi pelanggar hukum). Karenanya, lanjut Miller, Kerajaan Aceh Darussalam merupakan sebuah bentuk “Negara Islam” (Islamic State).
Dua pendekatan
Dalam fikih Islam mempunyai dua pendekatan, yaitu pendekatan jawabir dan zawajir (Ahmad Fathi Bahansi). Pendekatan jawabir menghendaki pelaksanaan hukum pidana persis seperti hukuman secara harfiyah seperti disebutkan dalam Alquran maupun hadis. Hukuman dilaksanakan dengan persepsi dan tujuan untuk menebus kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh pelaku jinayah. Adapun menurut pendekatan zawajir bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak harus persis sebagaimana disebutkan dalam teks nash (Alquran dan hadis). Artinya, pelaku boleh dihukum dengan hukuman apa saja asal melalui hukuman itu tujuan penghukuman dapat tercapai, yaitu membuat si pelaku jera dan dapat memberi efek rasa takut bagi yang lainnya.
Dari sudut pandang ini, terkadang patut dipertanyakan manakah hukuman yang lebih kejam, memenjarakan pelaku selama bertahun- tahun terpisah dari keluarga dan masyarakat hingga anak dan keluarga juga ikut menanggung akibat dari perbuatannya, misalnya anak-anak hidup bak anak yatim dan istri harus menanggung biaya hidup selama suami dipenjara, atau hukuman cambuk beberapa cambukan namun setelah itu ia dapat berkumpul kembali bersama keluarga dan nyaris tidak mengorbankan keluarga atas perbuatannya?
Adapun terkait hukuman mati, tentunya melalui proses dan etika hukum yang sangat ketat. Misalnya saja dalam kasus zina muhshan (pelaku pernah menikah) hukuman mati (rajam) hanya dapat dilakukan setelah proses pembuktian yang sangat ketat, sehingga di masa Nabi saw dan sahabat sangat sedikit kasus yang dijatuhi hukuman mati. Dalam konteks Aceh, pertanyaan pentingnya adalah sudahkah pembinaan kesadaran keagamaan yang dilakukan negara terhadap masyarakat sebagaimana Rasulullah saw telah meletakkan fondasi itu terlebih dulu selama 13 tahun dalam dakwahnya pada periode Mekkah? Jika belum, sejatinya langkah demikian harus didahulukan dari pada sekadar menghukum. Wallahu a’lamu bish-shawab.
* Dr. Yuni Roslaili Usman, M.A., Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: roslaili10juni@gmail.com