Ujian Nasional atau Ujian Nyiksa?

BEBERAPA hari ini ada yang menyita perhatian kita terkait Ujian Nasional (UN). Sejumlah siswa di berbagai

Editor: bakri
WAKIL Gubernur Aceh, Nova Iriansyah meninjau pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMP 1 Nagan Raya disela-sela kunjungan kerjanya menggunakan sepeda motor gede (moge) ke beberapa daerah di pantai barat selatan Aceh, Senin (23/4). 

Oleh Johansyah

BEBERAPA hari ini ada yang menyita perhatian kita terkait Ujian Nasional (UN). Sejumlah siswa di berbagai daerah ‘berontak’ dengan soal UN, terutama terkait dengan soal Matematika. Menurut para siswa, soal yang disajikan tidak sesuai dengan kisi-kisi soal di try-out. UN yang sedianya dijadikan tolok ukur yang efektif untuk melihat kemampuan siswa, malah terkesan menjadi lelucon pendidikan. Kepanjangan UN pun dipelesetkan dari ujian nasional menjadi ujian nyiksa.

Masalah utamanya adalah HOTS (high order thinking skills). Di mana dalam soal Matematika dan beberapa mata pelajaran lainnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) coba memformulasikan soal berbasis penalaran level tinggi. Pihak Kemdikbud menegaskan kalau HOTS dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang berdasarkan studi PISA (Programme For International Student Assessment) masih berada di urutan bawah.

Berdasarkan survei PISA 2015, Indonesia berada pada urutan 66 dari 72 negara untuk kemampuan literasi dengan skor 397. Urutan 65 dari 72 negara untuk kemampuan Matematika dengan skor 386 dan urutan 64 untuk sains dengan skor 403. Standar ukurnya ada tiga yaitu membaca, Matematika, dan sains. Menurut Kepala Pusat Penilaian dan Pendidikan (Kapuspendik) Kemdikbud, Muhamad Abduh, soal penalaran di UN hanya 10 persen, dan ini jauh lebih rendah dari standar PISA yakni 25 persen (Republika Online, 16/04/18).

Terhadap persoalan ini berbagai kalangan angkat bicara, mulai dari akademisi hingga beberapa organisasi guru, seperti Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pada intinya mereka menyampaikan keberatan atas kebijakan Kemdikbud yang dianggap mencederai pendidikan itu sendiri. Kemdikbud terlalu berani membuat kebijakan yang dianggap sepihak dan tidak berorientasi ke arah pendidikan yang lebih baik. Tujuannya mungkin baik, tapi caranya tidak elok.

Beberapa kekeliruan
Hemat saya, ada beberapa kekeliruan terkait kebijakan UN yang faktanya “menyiksa” para siswa. Pertama, Kemdikbud secara sepihak telah membuat kebijakan kontroversial terkait soal UN yang diduga tidak berdasarkan materi dan proses pembelajaran yang dijalani oleh siswa di sekolah. Ini adalah penyakit lama yang tidak beda dari sebelumnya. Kemdikbud terkesan buta terhadap realitas, dan mengambil kebijakan tanpa berpikir panjang akibat yang ditimbulkannya.

Sekilas kita tidak menampik data PISA bahwa Indonesia berada di urutan bawah mutu pendidikan. Kendati demikian, tujuan kemdikbud meningkatkan kualitas pendidikan melalui UN dengan formulasi soal berbasis HOTS adalah kebijakan yang terlalu ceroboh. Apakah membenahi kualitas pendidikan dengan cara menyajikan soal dengan tingkat kesulitan tinggi dan belum pernah diperkenalkan kepada siswa sebelumnya adalah cara yang tepat dan efektif? Saya tidak sepakat.

Soal peningkatan kualitas pendidikan itu bukan pada tahap ujiannya. Peningkatan kualitas pendidikan itu secara teoritik ada di kebijakan yang dirumuskan dengan baik, dan secara praktik ada di proses. Ujian bagi siswa justru dimanfaatkan untuk mengukur proses itu sendiri; apakah maksimal atau belum, di mana kelebihan dan kekurangannya? Di ujian, bukan lagi urusan bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran, tapi seberapa jauh penguasaan materi setelah dilakukan proses pembelajaran. Nah, ketika ujian ditujukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, itu aneh.

Kedua, Kemdikbud kelihatan sekali terlalu bernafsu meningkatkan kualitas pendidikan, tanpa mempersiapkan secara matang langkah dan strategi yang perlu dilakukan. Saya ibaratkan Kemdikbud seperti orang tua yang mempunyai anak usia dua tahun. Di usia ini dia paksakan sang anak untuk mampu berlari kencang. Padahal, faktanya si anak baru bisa berjalan, itu pun terkadang jatuh bangun.

Seharusnya pemerintah mengupayakan secara serius dulu pemerataan pendidikan di Indonesia dari segala aspeknya. Selain itu, pelatihan dan pengembangan guru seperti kemampuan penalaran tinggi perlu diprogram dan dilaksanakan dengan baik, sebelum akhirnya menuntut yang lebih dari siswa. Keluhan siswa di UN, itu merupakan isyarat bahwa ada sesuatu yang tidak mereka peroleh dan miliki, tapi kita tuntut dari mereka. Tentu mereka tidak dapat memberikannya.

Ketiga, Kemdikbud terlalu terpaku dengan standar mutu pendidikan yang ditetapkan oleh PISA sebagai lembaga evaluasi pendidikan internasional. Padahal yang diukur hanya tiga aspek, yaitu membaca, matematika, dan sains. Pertanyaannya, apakah tiga aspek ini dapat dijadikan tolok ukur untuk menyimpulkan bahwa pendidikan Indonesia berkualitas atau tidak berkualitas? Dan, apakah tolok ukur ini sudah mencakup seluruh aspek tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Dalam UU tersebut dijelaskan dengan sangat gamblang pada Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Intinya, kalau pun mencapai standar mutu sebagaimana yang ditetapkan PISA, itu belum menjadi garansi bahwa mutu pendidikan Nasional baik. Saya lebih cenderung mengacu pada tujuan pendidikan Nasional dan menjadikannya tolok ukur keberhasilan pendidikan. Tentu, kalau tolok ukurnya mengacu pada tujuan pendidikan Nasional, tiga aspek yang menjadi fokus penilaian PISA juga sudah termasuk di dalamnya.

Perlu kajian mendalam
Seperti disentil pada Salam Serambi, UN sejatinya bukanlah ajang coba-coba. UN adalah sebuah program yang sistematis, terencana, dan terukur. Jika ingin mengubah formulasi UN, pemerintah harus melakukan kajian mendalam, bukan membuat kebijakan sepihak yang terkesan tidak komunikatif, dan merasa terlalu percaya diri bahwa kebijakan yang diambil sudah sangat tepat (Serambi, 17/4/2018).

Komunikasi lintas kalangan dan meminta masukan dari berbagai pihak adalah langkah yang mestinya ditempuh Kemdikbud jika ingin mengubah formulasi UN. Apa salahnya mereka meminta pendapat dari para guru, akademisi, tokoh pendidikan, pemerhati pendidikan, dan unsur-unsur lainnya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved