Turi dan Tupue di Ranto Panyang
BANYAKNYA ragam bahasa Aceh melahirkan penggunaan kosakata yang beragam pula
Oleh: Shara Syukri, Guru SMA Negeri 1 Meureubo, Aceh Barat
BANYAKNYA ragam bahasa Aceh melahirkan penggunaan kosakata yang beragam pula. Dalam satu komunitas yang tidak begitu besar, seperti sebuah kecamatan, berkemungkinan berbeda penggunaan kosakata untuk menyatakan maksud tertentu antara kemukiman yang satu dengan kemukiman lainnya. Salah satunya adalah penggunaan kata turi dan tupue di beberapa desa dalam
Kemukiman Ranto Panyang, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat. Desa-desa tersebut di antaranya adalah Desa Ranto Panyang Timur, Desa Ranto Panyang Barat, Desa Mesjid Tuha, Desa Ranubdong, dan Desa Ujong Tanoh Darat. Dalam Kamus Bahasa Daerah Lengkap Terjemahan Indonesia (online), kata turi berarti ‘kenal’ atau ‘mengenal’, contohnya dalam kalimat, “Lon meuturi ngon jih” ‘Saya mengenalnya’, “Jih hana lon turi” ‘Dia tidak saya kenal’, “Kamoe katrep meuturi” ‘Kami sudah lama saling mengenal’.
Sementara itu, kata tupue berarti ‘tahu’ atau ‘mengetahui’, contohnya dalam kalimat “lon lontupue pat rumoh jih” ‘Saya tahu di mana rumahnya’, “Soe yang tupue pat Desa Ujong Tanoh Darat nyan?” ‘Siapa yang tahu di mana Desa Ujong Tanoh Darat itu?’, “lon hana lontupue” ‘saya tidak tahu’, dan sebagainya.
Beberapa contoh di atas merupakanpenggunaan kata turi dan kata tupue pada umumnya bagi penutur bahasa Aceh. Namun, ada hal yang berbeda ditemukan di beberapa desa yang telah disebutkan di atas. Perbedaan itu terletak pada sering bertukarnya penggunaan kata-kata tersebut dalam bertutur. Maksudnya adalah penggunaan kata turi dan tupue sering dipertukarkan untukmenyatakan maksud yang sama.
Ada kalanya kata turi digunakan untuk menyatakan makna ‘kenal’, seperti yang dipahami oleh penutur bahasa Aceh pada umumnya, dan ada kalanya kata itu digunakan untuk menyatakan ‘tahu/ mengetahui’. Beberapa contoh penggunaan kata turi untuk menyatakan makna ‘kenal’ selain contoh di atas adalah (1) “Lon hana lon turi so jih” ‘Saya tidak kenal siapa dia’, (2) “Pane na ureueng turi keu jih” ‘Mana ada yang kenal padanya’, dan (3) “jih ureueng yang dituri di daerah nyoe” ‘
Dia orang yang dikenal di daerah ini’. Selanjutnya, beberapa contoh penggunaan kata turi untuk menyatakan makna ‘tahu’ adalah (1) “Lon hana lon turi leh ho ijak jih” ‘Saya tidak tahu entah ke mana dia pergi?’, (2) “Pane na lonturi padum boh kameng jih” ‘Mana pula saya tahu berapa ekor kambingnya’, dan (3) “Soe turi pat rumoh Pak Salam?” ‘Siapa tahu di mana rumah Pak Salam?’.
Bagi penutur bahasa Aceh di beberapa desa tersebut tidak mempermasalahkan penggunaan kedua kata itu ketika digunakan untuk menyatakan makna yang sama. Mereka sama-sama memahami maksud pembicara yang menggunakannya berdasarkan konteks. Karena berlangsung terus-menerus seperti itu, makna kedua kata tersebut menjadi manasuka atau tidak konsisten.
Disadari atau tidak, kata turi telah mengalami pergeseran makna di daerah tersebut. Menurut Jos Daniel Parera (2004: 107), pergeseran makna adalah gejala perluasan, penyempitan, pengonotasian, penyinestesiaan, dan pengasosiasian sebuah makna kata yang masih hidup dalam satu medan makna. Masih menurut Parera, dalampergeseran makna rujukan awal tidak berubah atau diganti, tetapi rujukan awal mengalami perluasan atau penyempitan rujukan.
Berdasarkan hal itu, fenomena yang terjadi pada kata turi di atas dapat dikategorikan sebagai contoh perluasaan rujukan/ perluasan makna (generalisasi). Fenomena perluasan makna yang terjadi pada kata turi dalam lingkup Kemukiman Ranto Panyang tersebut bisa jadi disebabkan oleh pengaruh dari bahasa ibu (mother tongue). Dalam Kamus Besar BahasaIndonesia, bahasa ibu diartikan sebagai bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya.
Bahasa ibu sebagian besar penduduk di Kemukiman RantoPanyang adalah bahasa Aneuk Jamee. Bahasa Aneuk Jamee (bahasa Jamee) adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh Bukhari Daut, 2006). Bahasa ini jugadigunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di Kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway XVI (Desa Peunaga Rayek, Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Ranto Kleng), serta di Kecamatan Johan Pahlawan, khususnya di Padang Seurahet (Wildan, 2002: 2).
Sementara itu, bahasa Aceh pada umumnyaberkedudukan sebagai bahasa kedua (second language) bagi penutur di Kemukiman tersebut. Pengaruh yang dimaksud di sini adalah kebiasaan yang terdapat dalam bahasa Aneuk Jamee terbawa ketika berbicara bahasa Aceh. Dalam bahasa Aneuk Jamee (bahasa Jamee) hanya terdapat satu kata yang digunakan untuk menyatakan makna ‘tahu’ atau ‘kenal’ yaitu kata tau. Contoh penggunaan kata tau untuk menyatakan makna ‘tahu’ dan ‘kenal’ dalam bahasa Aneuk Jamee adalah, “Ambo tau ago tanah tu” ‘Saya tahu harga tanah itu”, dan “Ado yang tau sia tu?” ‘Ada yang kenal siapa itu?’.
Kebiasaan inilah yang dimaksud dalam tulisan ini terbawa dalam berbahasa Aceh sehingga kata turi selain digunakan untuk menyatakan makna ‘kenal’, juga digunakan untuk menyatakan makna ‘tahu’. Hal tersebut harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bahasa, kekayaan ragam bahasa Aceh.