Menghargai tanpa Merendahkan Diri

DI sela-sela tontonan piala dunia di televisi, Ketua Umum Pekan Kebudayaan Aceh VII (PKA VII), yang juga Wakil Gubernur

Editor: bakri

DI sela-sela tontonan piala dunia di televisi, Ketua Umum Pekan Kebudayaan Aceh VII (PKA VII), yang juga Wakil Gubernur (Wagub) Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT menerima Fikar W.Eda dari Serambi Indonesia di rumah dinas Blang Padang. Penggemar olah raga bola kaki dan balap motor ini, berbicara banyak hal, termasuk keikutsertaan dirinya dalam PKA VII 1972.

Ia juga menggagas “Touring Pra PKA” menyertakan Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) Aceh. Nova penggemar motor besar dan pembina di IMBI, melakukan cara di luar kebiasaan dalam melakukansesuatu. “PKA itu, peristiwa besar, harus kita maknai dengan baik,” katanya. Sesekali, suami dari Dr.Ir. Dyah Erti Idawati, MT ini mengarahkan pandangan ke layar monitor lebar menyaksikan “drama sepak bola Piala Dunia” yang sedang dipanggungkan di lapangan hijau Rusia.

Berikut petikan percakapan yang berlangsung sampai tengah malam itu. Pekan Kebudayaan Aceh VII ( atau PKA 7) ini, kira-kira apa spesifikasi yang membuatnya istimewa sebagai event kebudayaan? Kita mau menghadirkan inovasi, inovasi yang tentunya berkaitan dengan kebudayaan. Karena budaya sekarang adalah budaya enterpreneurshipmaka akan ada expo. Expo itu kita anggap suatu perbedaan dengan PKA sebelumnya.

Bukankah dalam PKA-PKA sebelumnya juga ada expo?
Mungkin dulu ada standorang berdagang. Tapi expo kali ini budaya enterpreneurship kita angkat. Kita mau ada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) menampilkan produk, sehingga usaha mikro menengah mempunyai motivasi untuk bergerak. Kemudian di expo itu, diiringi dengan semiloka-semiloka atau seminar loka karya, membahasbisnis masyarakat. Ini beda dengan PKA sebelumnya.

Dulu ada yang berjualantapi tidak berkaitan dengan kebudayaan entrepreneur. Apakah PKA kali ini jugamengadopsi teknologi, mengingat perkembangan teknologi dunia demikian pesat di segala bidang? Kita sadari hal itu. Kebudayaan itu kan bukan sesuatu yang tua, kemajuan teknologi juga kebudayaan bukan? Kita buat berbeda , even pembukaannya dengan sentuhanteknologi ‘new culture,’ seperti ‘video mapping’.

Intinya memperlihatkan full digital,dan itu semua dilakukan bukan semata-mata untuk seremonial saja, namun untuk menunjukkan bahwa kebudayaan itu ‘from the past until the future’ yang nantinya ‘tari guel’ akan dikolaborasikan dengan sentuhan teknologi.

Wah, menarik. Apa lagi yang membedakannya?
Perbedaan yang terakhir adalah, kita mau PKA ini punya ‘multiplier effeck’ di ekonomi kerakyatan. Akan kita hitung ‘business plannya’, seperti menggunakan homestay. Tetamu benar-benar tinggal di rumah sebuah keluarga. Konsep ini berbeda dengan konsep homestay sebagai akomodasi. Kira kira apa yang ingin dicapai dari konsep homestay seperti ini? Untuk memahami Aceh maupun kultur Aceh secara komprehensif. Misalnya tamu yang tinggal bisa ikut memasak dan memakan makanan khas Aceh di rumah tempat mereka tinggal.

Apakah masyarakat kita sudah siap dengan konsep homestay seperti ini?
Masyarakat Aceh itu ramah. Homstay itu budaya Aceh juga. Dulu orangtidak di hotel. Tapi di rumah saudarasaudaranya. Di rumah tinggal itu tunjukkan keramah tamahannya. Shalat berjamaah dan sebagainya. Sehingga tetamu merasa mendapat kehangantan sebuah saudara, sebuah eluarga.

Lantas apa korelasi antara jargon “Aceh Hebat” dengan tema PKA kali ini?
Aceh hebat itu bukan kualitatif. Ini ingin memperbaiki rapor. Pemerintah Aceh itu rapornya adalah angka kemiskinan. Nasional 10 persen, Aceh 16 persen. Pertumbuhan ekonomi nasional 5,0, Aceh 4,2. Pengangguran dan lain-lain. Kita ingin tidak ada angka merah dalam rapornya. Acuannya ratarata nasional.

Kita ingin di atas angka rata-rata nasional. Dalam konteks PKA dalam setiap variabel terkait event, seperti expo, ritual budaya, etos, menghargai etika dan lain-lain. Dan even-even PKA ini kita harapkan semua itu bisa dikembalikan lagi.

Megembalikan Aceh seperti apayang dimaksudkan melalui PKA ini?
Bahwa orang Aceh itu memiliki etos kerja yang tinggi, memiliki sopan santun, ramah kepada tamu, menghargai pendapat orang lain, menghargai keunggulan orang lain tanpa harus merendahkan diri sendiri, religius dan sebagainya. Even-even seperti PKA inilah momentum untuk mengembalikan semua itu. Nilai-nilai ini bagi kita di Aceh melekat dengan Islam sebagai agama yang kita anut.

Dalam berbagai kesempatan, Anda berbicara tetang bahasa seni yang mendamaikan. Apa maksudnya?
Begini, seni itu mengantarkan keindahan, kedamaian. Dengan bahasa seni kita terhindar dari bahasa kemarahan, bahasa konflik. Bicara dengan bahasa budaya dan seni itu menentramkan.

Mendamaikan. Maka kita pilih bahasa kesenian, termasuk dalammelakukan pendekatan pembangunan Aceh ini. Saya pernah menyaksikan ceh didong Gumara di Gayo, menyentil soal dana desa dalam ‘jangin’ didongnya. Kita tidak marah. Kita bahkan tertawa dan senyum mendengarkan. Karena apa, karena ceh Gumara menggunakanbahasa seni. Ini contoh.

Kepada peserta PKA di seluruh Aceh, Apa yang Anda harapkan dari keikutsertaan mereka?
Daerah peserta PKA kita minta lebih kreatif menggali dan menyuguhkan materibudaya dalam PKA ini. Jangan copy paste atau menciplak mentah-mentah materi PKA sebelumnya. Kita dorong PKA ini betul-betul memberi warna baru, termasuk cara meyajikannya. Saya berharap ini. Kabupaten dan kota bikin katalog, baik kebendaan maupun non benda, serta panduan profil kabupaten kota dalamPKA. Ayo bergerak.

Anda menjadi salah seorang peserta PKA II 1972, bersama kontingen Aceh Tengah? Apa bisa dibandingkan dengan PKA 2018 ini nanti?
PKA 2 yang saya ikuti pada masa kecil itu, kesannya mendalam sekali.Aceh Tengah waktu itu menampilkan sesuatu yang yang di luar pikiran peserta umumnya, yaitu merekonstruksi penyatuan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh, ditandai penyerahan gajah putih kepada Sultan Aceh. Gajah putih dalam legendanya jelmaan dari Bener Meriah.

Itu direka ulang. Linge tak mau menyerah kepada Aceh tapi melawan juga tak mampu karena kecil. Orang Gayo pintar, lalu memilih jalan tengah, yakni bergabung, ditandai dengan penyerahan gajah putih. Bupati Aceh Tengah waktu itu menyerahkan gajah putih kepada Menteri Penerangan Budiardjo dan Gubernur Aceh representasi dari sultan Aceh. Ini saya kira itu bentuk kreatif. Kita harus terus kreatif.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved