Opini
Mengungkap Kerkhoff
RUSAKNYA batu nisan dalam komplek Kherkoff-laan mengungkapkan beberapa fakta penting di dalam sejarah Aceh
Oleh Antoni Abdul Fattah
RUSAKNYA batu nisan dalam komplek Kherkoff-laan mengungkapkan beberapa fakta penting di dalam sejarah Aceh. Seperti jejak keberadaan komunitas Yahudi dan keberadaan organisasi pemikiran dan politik, Freemasonry, yang sering disandingkan dengan berbagai teori konspirasi. Menurut catatan, komplek pemakaman tentara Belanda ini memuat sekitar 2.200 mayat tentara Belanda dari berpangkat jenderal hingga serdadu.
Selain tentara Belanda terdapat juga makam orang Cina dan tentara Marsose. Terdapat pula makam putera Sultan Iskandar Muda yang dihukum rajam, keberadaan makam ini jauh sebelum tentara-tentara Belanda dan lainnya dikebumikan. Menurut buku Pekuburan Peutjoet, tentara Belanda yang pertama kali dikuburkan adalah Letnan Weijrman.
Yang menarik di komplek kuburan ini bersemayam warga Belanda keturunan Yahudi, Meier dan Deborah Bulchover. Keluarga Bulchover adalah tuan tanah di Gampong Peutjoet, padang ilalang yang selanjutnya dijadikan tempat bagi perawatan kuda-kuda VOC saat itu. Singkatnya Peutjoet menjadi nama komplek Kerkhoff-laan (dalam bahasa Belanda artinya kuburan) dan kampungnya oleh warga Banda Aceh disebut Blower, diambil dari nama tuan tanah tersebut.
Keluarga Bulchover menetap di Banda Aceh pada 1930-1940-an. (lihat Tjoetje, Pekuburan Peutjoet, hal. 2; JII Booklet hal. 13). Di samping makam keluarga Bulchover itu terdapat juga beberapa kuburan orang Yahudi lainnya. Menurut peneliti jejak Yahudi di Aceh, Teuku Cut Mahmud Aziz ada 24 makam Yahudi di Kerkhoff. Sementara keluarga Yahudi yang menetap di Aceh tercatat ada 30 orang. (Netralitas.com, 21/5/2016).
Perang terlama
Selain Bulchover, orang Yahudi yang dikuburkan di sana adalah Mayor Jenderal Johan Herman Rudolf Kohler (1818-1873). Dia adalah seorang tentara VOC yang ditugaskan untuk meredakan perjuangan jihad fi sabilillah rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda melalui negara korporatokrasi bernama VOC. Seperti diketahui, perang Aceh termasuk perang terlama (1873-1904), menghabiskan biaya dan tenaga dari penjajah Belanda VOC yang amat sangat besar.
Pada 14 April 1873, Kohler sebagai Panglima Belanda tewas ditembak sniper Aceh. Dalam serangan 18 hari yang sia-sia di dalam kota Banda Aceh itu, Belanda menderita kerugian yang luar biasa besar. Puluhan ribu serdadu Belanda dan tentara sewaan tewas selama pertempuran tersebut. Kohler diketahui anggota Freemasonry. Dan ini tergambar jelas dalam prasasti yang ada pada Kerkhoff-laan di Banda Aceh.
Freemasonry adalah organisasi pemikiran yang didirikan pada 1717 di Inggris. Menurut banyak peneliti konspirasi, mereka diduga terlibat dalam berbagai peristiwa besar di dunia, seperti revolusi hingga pecahnya Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945). Organisasi ini turut memberikan sumbangsihnya bagi gerakan nasionalisme dan humanisme di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Sebagian pejabat VOC dan tokoh berpengaruh pribumi adalah anggota Freemasonry. Sebut saja misalnya pelukis Raden Saleh dan beberapa petinggi Boedhi Oetomo.
Di Aceh, Freemasonry turut mendirikan markasnya di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dengan nama Lodge Prins Frederick. Beberapa pejabat VOC di Aceh yang diketahui sebagai aktivis Freemasonry di antaranya adalah Jenderal Karel van der Heijden, Gubernur Aceh pada kurun waktu ketiga (1884-1896).
Menurut data dari AHC (Aceh Heritage Community), diperkirakan Loji Prins Frederick dibangun pada awal 1920-an. Loji ini diisi oleh para tentara Belanda yang bertugas di Aceh. Tercatat hingga 1880, jumlah anggota dari organisasi ini adalah kurang lebih sekitar 60 orang. Sebagian besar anggotanya berasal dari kalangan perwira militer. Penulis sendiri belum mendapatkan data jumlah anggota Freemasonry pribumi asal Aceh.
Lodge Prins Frederick di Kutaraja juga sempat mengalami pasang surut pergerakannya disebabkan para anggotanya yang berasal dari kalangan militer Belanda sibuk dengan aktivitas menjajah Aceh. Bahkan pada 1890, Loji ini sempat menghentikan penerimaan anggota baru disebabkan oleh berkurangnya para Grandmaster (Suhu Agung) di Loji tersebut. Dari data Dr TH Steven, mengutip penelitian K Hylkema menyebutkan bahwa Lodge Prins Frederick ini berdiri hingga 1940.
Setelah gedung ini tidak lagi dipakai oleh Freemasonry, sebagian gedung ini kemudian dipakai sebagai sekolah menengah pertama bernama Sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/Pendidikan Dasar Lebih Luas). Kemudian, tepatnya pada 1946, keseluruhan bekas Loji Prins Frederick ini resmi difungsikan sebagai Sekolah MULO. MULO di Aceh kala itu memakai metode dan sistem pendidikan yang sama dengan yang ada di Belanda. Sistem pendidikan Belanda ini dijalankan di Indonesia hingga 1960-an.
Saat itu, ada tiga jenis level pendidikan yang diterapkan di Belanda dan MULO ini berada di tingkatan kedua alias sebagai sekolah menengah pertama. Menurut AHC, pasca-kemerdekaan, sekolah ini kemudian mengalami beberapa tahapan renovasi dan penambahan beberapa bagian ruangan atau gedung. Saat ini gedung tersebut dijadikan sebagai SMAN 1 Banda Aceh. Meskipun terjadi perubahan, arsitektur lama gedung ini masih tetap dipertahankan, sehingga gambaran singkat mengenai bentuk Loji atau Lodge tersebut masih dapat kita lihat hingga sekarang.
Tidak hanya makam kuburan berdarah Yahudi dan Freemasonry, di sini juga ada makam warga Cina. Menurut catatan Wikipedia, masuknya etnis Tionghoa ke Aceh telah dimulai sejak abad ke-17. Penulis sendiri belum menemukan siapa tokoh tionghoa yang dikuburkan di sana. Begitu pula, penulis belum menemukan data konkret tentang awal kedatangan etnis Tionghoa ke Aceh dan hubungan Cina dengan Aceh. Menurut satu sumber disebutkan bahwa etnis Tionghoa-lah yang memopulerkan warung kopi di Aceh.
Artefak budaya
Pakar Komunikasi dari Turki, Mehroz Baig, menjelaskan bahwa menjaga identitas masyarakat dan artefak budaya sama dengan menjaga warisan budaya. Keduanya sama-sama penting. Dengan melindungi properti budaya, tidak saja melindungi monumen atau obyeknya, tetapi juga telah ikut melindungi ingatan masyarakatnya, termasuk di dalamnya melindungi kesadaran alam bawah sadar dan identitas mereka. Tentu saja, ingatan, kesadaran dan identitas dari seluruh individu akan menyadarkan dan membangkitkan masyarakat. Pada akhirnya, kita tidak akan berada di luar keluarga dan kerangka sosial dimana saat ini kita berada.