Opini
Mendeteksi Bacaleg Koruptor
BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia mengumumkan 199 mantan narapidana kasus korupsi
Oleh Ayi Jufridar
BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia mengumumkan 199 mantan narapidana kasus korupsi yang terdaftar sebagai bakal calon anggota legislatif di 11 provinsi dan 105 kabupaten/kota. Selain itu, masih terdapat lima bacaleg DPR RI yang juga bekas narapidana kasus korupsi, termasuk dari Aceh. Besar kemungkinan, jumlah terpidana korupsi menjadi bacaleg lebih besar dari yang terdeteksi penyelenggara.
Buktinya, masih ada mantan koruptor yang lolos dari verifikasi administrasi, seperti yang terjadi di beberapa kabupaten/kota, termasuk di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), sehingga bacaleg bersangkutan bisa mengikuti uji baca Alquran (Serambi, 27/7/2018). Sebaliknya, KIP Aceh langsung mengembalikan berkas perdaftaran Abdullah Puteh sebagai bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), karena yang bersangkutan adalah mantan terpidana kasus korupsi. Mengapa kasus sama mendapat perlakuan berbeda?
Ujian integritas partai
Sejak masih berupa embrio, Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif sudah menuai kontroversi, terutama pasal yang melarang mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Aturan ini berbeda dengan Pemilu 2014 di mana seorang koruptor dan pelaku kejahatan pidana lainnya berhak maju sebagai calon legislatif setelah mengumumkan secara terbuka di media massa.
Saat itu, mantan korupsi mengakali aturan tersebut dengan membuat pengumuman di media dengan oplah terkecil. Dalam beberapa kasus, penerbitan media bersangkutan malah dibiayai bacaleg mantan narapidana korupsi hanya sekadar memenuhi persyaratan calon. Semakin sedikit oplah, semakin bagus bagi bacaleg bersangkutan karena pengumuman itu bisa menjadi kampanye buruk. Tak heran bila pemilih tidak akan menemukan pengumuman “pengakuan dosa” di koran arus utama pada Pemilu 2014.
Kali ini, kesempatan itu tertutup dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU No.20 Tahun 2018, sebab mantan koruptor dilarang sejak pengajuan berkas. KPU berharap adanya komitmen integritas partai politik (parpol) dan calon perseorangan agar sejak awal tidak mengajukan berkas bakal calon mantan koruptor.
Jadi, peserta pemilu memiliki pilihan sejak awal tidak maju sebagai calon. Mereka tidak perlu menghabiskan tenaga, pikiran, waktu, dan biaya dalam pencalonan. Secara teknis pun, peserta pemilu terhindar dari kerugian bila nanti bacaleg koruptor ditolak penyelenggara. Risiko adanya kekosongan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) yang merugikan parpol bisa dihindari sejak awal. Parpol harus mempertimbangkan kemungkinan ini sejak awal dari pada berjudi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenal boleh tidaknya mantan terpidana korupsi maju sebagai caleg, apalagi KPU sudah menegaskan akan tetap mencoret caleg mantan narapidana kasus korupsi meski nanti sudah lolos sampai DCT.
Bacaleg mantan koruptor dari partai politik maupun perseorangan tetap berupaya mendobrak pintu aturan melalui saluran hukum yang ada. Banyak dari mereka beralasan bahwa larangan tersebut bertentangan dengan putusan MK dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Mereka juga berharap pasal larangan itu akan rontok dalam gugatan di MK, sehingga proses pencalonan bisa berlanjut. Kini perlombaan adu cepat terjadi antara tahapan yang terus berlanjut dengan keputusan lembaga peradilan.
Mekanisme pendeteksian
Keberanian KPU dalam mengeluarkan aturan larangan mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif patut didukung semua pihak. Namun, keberanian saja belum cukup tanpa diikuti sebuah mekanisme terukur yang menjadi petunjuk teknis untuk mendeteksi bacaleg bekas narapidana korupsi. Penyelenggara bisa melakukan satu atau kombinasi dari mekanisme baik secara internal maupun eksternal yang beberapa di antaranya sudah dilakukan tetapi harus diperkuat.
Pertama, KPU sudah membangun kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, dan Kepolisian. Di ketiga lembaga itulah rekam jejak koruptor tersedia dan tak terbantahkan. Integritas ketiga lembaga penegakan hukum ikut mendorong peningkatan kinerja penyelenggara pemilu.
Patut dipertanyakan menyangkut bacaleg mantan koruptor bisa lolos dan tidak ada catatan pidana dalam berkas Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Apakah sistem pengurusan SKCK tidak online, sehingga seorang bacaleg yang bermasalah di satu daerah pemilihan, ketika pindah dan mengurus surat di daerah pemilihan lain menjadi bebas?
Demikian juga dengan sistem di Kejaksaan dan Pengadilan yang seharus bisa diakses semua pihak untuk semua data tindak pidana korupsi. Sejauh masih berada di wilayah Indonesia, di daerah mana pun kejahatan korupsi dilakukan dan sudah jatuh vonis, seharusnya catatannya tetap ada.
Kedua, KPU harus mengotimalkan aplikasi Sistem Informasi Pencalonan atau Silon yang sudah digunakan dalam beberapa pemilu terakhir untuk mendeteksi bacaleg mantan koruptor. Aplikasi ini sangat membantu KPU dan jajarannya dalam penelitian administrasi persyaratan calon, dibandingkan dengan pemeriksaan manual yang lebih mengandalkan ketelitian manusia. Alasan human error jangan sampai dijadikan alasan lolosnya bacaleg mantan koruptor dalam DCT pada 21-23 September mendatang.
Sayangnya, sejauh ini Silon belum menjadi rujukan akhir dari putusan KPU. Dalam pencalonan baru-baru ini, banyak kabupaten dan kota gagal dalam Silon secara teknis, bukan secara administratif. Masalah teknologi dan sumber daya manusia dari peserta pemilu seringkali menjadi hambatan, selain dasar penentuan lolos tidaknya verifikasi pencalonan masih berbasis manual.
Ketiga, sikap proaktif masyarakat dan berbagai lembaga juga sangat membantu sebagaimana diharapkan Komisi Independen Pemilihan Aceh (Serambi, 27/7/2018). Namun, penyelenggara pun harus proaktif dalam menanggapi laporan masyarakat. Jangan sampai KIP baru bertindak setelah ada laporan tertulis. Seharusnya, laporan melalui pesan singkat pun ditindaklanjuti dengan mekanisme yang cermat sehingga KIP benar-benar mengambil keputusan berdasarkan data dan informasi akurat. Jangan sampai pula, tindaklanjut pemberitahuan masyarakat baru dilakukan setelah adanya penekanan dari media massa.