Opini
‘Sandrong’
SANDRONG adalah sebuah diksi dalam bahasa Aceh untuk menjelaskan kondisi emosional dan psikis
Oleh Usamah El-Madny
SANDRONG adalah sebuah diksi dalam bahasa Aceh untuk menjelaskan kondisi emosional dan psikis seseorang yang tidak stabil. Orang sandrong memiliki sikap, tindakan dan bahkan konten pembicaraan di luar kendali akal sehat dan norma yang berlaku di lingkungannya.
Kondisi personalitas orang sandrong cenderung terlihat seperti terlepas dari kepribadian aslinya.
Kondisi pribadi orang yang menderita sandrong, sedang tidak menjadi diri sendiri dan tanpa sadar terlihat seperti mewakili atau representasi orang lain. Karena itu, ketika melihat orang sandrong, masyarakat di kampung-kampung biasanya akan berkata dengan kalimat sederhana, ka ditamong gob lam badan jih nyan.
Tanpa alasan yang jelas, orang sandrong dapat saja seketika menjadi suka yang luar biasa kepada seseorang, atau adakala menampakkan kebencian berlebihan kepada orang tertentu. Begitu juga dengan gerakannya, energi yang dimiliki orang sandrong biasanya di atas rata-rata energi yang dimiliki orang normal lainnya.
Dalam bahasa Indonesia, diksi yang mendekati makna sandrong adalah kata kesurupan. Selain kata kesurupan, diksi lain yang memiliki makna beririsan dengan kata sandrong adalah kata terhipnoptis. Tetapi subtansinya tetap sama, baik orang sandrong, kesurupan, atau terhipnoptis tetap memiliki kondisi yang sama, yaitu ketidakmampuan personal seseorang mengendalikan diri, baik cara berpikir, berbicara maupun bertindak. Hana geu thee droe (tidak tahu diri).
Masyarakat Aceh melihat orang sandrong paling tidak dalam dua perspektif. Pertama, bagi orang Aceh yang terpelajar dan dalam perjalanan hidupnya tidak pernah bersentuhan dengan praktik dan budaya mistis. Orang sandrong diyakininya sebagai akibat dari tekanan batin atau depresi akut.
Orang tersebut didiagnosis menderita skizofrenia, yaitu gangguan mental kronis yang mengakibatkan penderitanya mengalami delusi, halunisasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku. Kondisi yang biasa berlangsung lama ini sering diartikan dengan gangguan mental, mengingat sulitnya penderita membedakan antara kenyataan dengan pikiran sendiri.
Bagi kelompok masyarakat yang memiliki perspektif seperti ini, ketika mendapati orang sandrong di lingkungan mereka, maka tindakan yang dilakukannya adalah menghubungi dokter atau membawanya ke rumah sakit terdekat. Biasanya begitu mendapat suntikan obat tertentu dari dokter, orang sandrong langsung tertidur dan setelah terbangun, sandrong-nya pun sirna. Simpel banget.
Perspektif kedua adalah sementara orang Aceh di kampung-kampung yang lebih percaya pada keampuhan tindakan mistis oleh ahlinya (biasanya dukun), ketimbang tindakan medis oleh dokter ketika ada orang sandrong di lingkungan mereka. Kelompok masyarakat dalam perspektif kedua ini, setiap menemukan orang sandrong, maka tindakan pertama dan utama yang mereka lakukan adalah memanggil dukun atau membawa ke dukun terdekat.
Suatu ketika di kampung saya, ada seorang tokoh kampung yang mengalami sandrong. Dalam situasi sandrong, sang tokoh pun berbicara aneh dengan konten yang tidak mungkin dibicarakannya ketika dia dalam situasi sadar dan normal sebagai seorang tokoh. Yang lebih menarik lagi di sela-sela kejang tubuhnya, sang tokoh ini menjadi pandai memainkan sejumlah jurus silat.
Melihat situasi yang demikian, masyarakat kampung selain panik juga heran bercampur kagum, karena sang tokoh tiba-tiba jago silat. Padahal selama hidupnya tidak pernah belajar silat. Tiga orang dukun yang diundang, satu pun tidak ada yang berhasil mengobatinya. Seorang anggota keluarganya yang baru tiba dari kota dan tidak yakin sang tokoh itu sedang diganggu jin masuk ke dapur dan membuat air gula, lalu diminumkannya kepada tokoh yang sedang sandrong itu.
Hasilnya luar biasa, seketika sang tokoh pulih dari sandrong. Dia kembali sadar seperti sediakala dengan peluh membasahi badannya. Beberapa waktu kemudian, ketika mantri dari Puskesmas kampung tetangga datang selanjutnya melakukan pemeriksaan, ternyata penyebab sandrong tersebut bukan karena gangguan jin, tetapi karena gula darah yang bersangkutan drop, maka seisi rumah pun tertawa terpingkal-pingkal.
Dengan demikian dari perspektif manapun kita melihat sandrong tetap memiliki substansi yang sama, yaitu ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosionalnya secara proporsional. Mereka menjadi sangat mudah mencaci dan menghina seseorang dengan ujaran-ujaran kebencian yang tidak pantas diucap dan didengar oleh orang normal. Atau sebaliknya, sangat enteng dan cepat memuji seseorang dengan tanpa memertimbangkan sama sekali fakta-fakta subjektif yang melingkupinya.
Versi baru
Dalam beberapa waktu terakhir ini saya merasa, melihat dan bahkan membaca --terutama di media sosial (medsos)-- betapa sandrong versi baru sedang marak terjadi dan dipertontonkan kepada khalayak. Banyak orang sandrong yang kemudian memuntahkan kebencian tanpa reserve melalui narasi-narasi kebencian di medsos. Kepada pihak yang dibencinya, seakan tidak ada kebaikan sebesar zarrah pun. Sebaliknya, pada orang yang disukainya sama sekali tidak ada kesalahan sebiji pasir pun.
