Opini
Meraih Lailatul Qadar
Lailatul Qadar disebut juga sebagai malam kemuliaan, di dalamnya banyak mengandung keberkahan
Oleh Munawir Umar, Mahasiswa Program Magister PIKTI UIN Syarif Hidayatullah
Lailatul Qadar disebut juga sebagai malam kemuliaan, di dalamnya banyak mengandung keberkahan, salah satunya karena pada malam itu diturunkannya Alquran dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah (langit dunia) secara keseluruhan sebagai petunjuk bagi sekalian alam. Para malaikat pun turun membawa rahmat ke seluruh penjuru alam atas perintah Tuhan dan barang siapa yang mendapatkannya maka ia akan memperoleh kemenangan.
Kemuliaannya pun disebutkan dalam Alquran secara gamblang, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 1-5).
Untuk meraih malam tersebut tentu harus dengan usaha keras melalui ibadah yang berkualitas, tidak hanya cukup dengan menahan lapar dan dahaga sebagai rutinitas. Maka sungguh sangat beralasan jika para ulama terdahulu memburu hikmah serta keberkahan Lailatul Qadar dengan penuh antusias, karena ia ibarat emas permata yang mendapatkannya sangat dinginkan oleh setiap orang.
Mengisi Ramadhan dengan shalat malam, zikir dan tadabbur Alquran dengan menyingkap segala makna dan isi kandungnya adalah menjadi kegiatan keseharian mereka secara berkesinambungan tanpa ada rasa lelah dan kesah yang mereka tonjolkan. Terlebih di malam sepuluh akhir Ramadhan, kegiatan ibadah pun semakin mereka perkuatkan. Hal itu karena ada perintah Rasul Saw dalam gubahan haditsnya, “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tanda-tandanya
Iman Nawawi menyebutkan, bahwa sesungguhnya Lailatul Qadar itu hanya ada pada sepuluh hari bulan Ramadhan, ia bisa terjadi pada malam tertentu dan tidak dapat berpindah. Namun, menurut pendapat jumhur ulama, malam tersebut terjadi secara acakan tanpa ketentuan. Boleh jadi ia terjadi satu atau dua kali dalam setahunan, tetapi malam itu tetap terjadi di bulan suci Ramadhan.
Imam Muslim dan Imam Ahmad menambahkan, bahwa sebagian dari tanda-tanda hadirnya malam Lailatul Qadar ialah pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sejuk yang menenangkan. Pada malamnya langit terasa bersih tanpa ada awan yang melintang mengintari bulan purnama yang menghiasi indahnya alam.
Pendapat yang lebih umum menyebutkan, bahwa jatuhnya malam Lailatul Qadar adalah pada malam ke-27 di setiap Ramadhan. Hal tersebut didukung oleh hadits dengan isnad shahih bahwa Rasul pernah menuturkan, “Barang siapa yang mencari malam Lailatul Qadar, maka carilah di hari ke-27.” (HR. Ahmad).
Disebutkan pula berdasar pada penuturan para ulama bahwa jatuhnya malam kemuliaan itu sangat tergantung pada jatuhnya hari awal bulan suci Ramadhan. Sedangkan cara Allah memberi dan menampakkan kepada hamba-Nya pun bermacam ragam, ada dengan cara ketika mereka sedang dalam posisi tidur lelap dan ada pula ketika manusia dalam keadaan terjaga, sehingga ia dapat melihat dan merasakan cahaya keindahan Lailatul Qadar.
Malam Qadar
Sebagai seorang Rasul dan manusia pilihan, Rasulullah Saw tentu memberi teladan dalam menyongsong Lailatul Qadar sebagai malam kemuliaan untuk meraih ridha Tuhan semesta alam. Hal tersebut terihat dari sebuah riwayat yang mengisahkan bahwa Rasulullah Saw ketika hendak memasuki sepuluh malam terakhir di bulan suci Ramadhan, ia lebih memilih fokus dan mengisi malamnya dengan ibadah dan beriktikaf di mesjid dengan mengajak keluarga untuk ikut bersamanya. Bahkan, tidak sedikit dari para sahabat yang turut mengikuti ajakannya.
Bertepatan dengan itu pula Rasulullah melaksanakan shalat, sedangkan para sahabat menjadi makmum di belakangnya. Begitu pula di saat beliau menadahkan tangan berdoa kepada Allah, para sahabat pun dengan semerbak serentak menjawab ‘amin’ sebagi respon doa Rasul Saw.
Dengan penuh suasana hening dan langit pun mendung tak berbintang, Rasulullah dan para sahabat melaksanakan shalat malam dengan bersujud kepada Tuhan, seketika hujan pun turun begitu deras yang mengguyur setiap sudut mesjid yang hampir kebanjiran. Tetapi ketika itu ada seorang sahabat yang hendak membatalkan shalatnya untuk berteduh menghindari hujan, niat itu pun pupus tak terwujudkan karena melihat Rasulullah dan sahabat lainnya masih dalam keadaan bersujud dengan penuh kekhusyukan.
Derasnya air hujan belum juga membuat Rasulullah bangkit dari sujudnya hingga membasahi pakaian yang dipakainya, seolah beliau begitu menikmati sujud dan tidak merasakan hujan yang (padahal) telah membasahinya dengan air keberkahan.
Karena begitu derasnya hujan, beberapa sahabat tidak kuasa menahan cuaca dan mereka pun menggigil kedinginan. Seiring dengan itu, Rasulullah pun mengangkat kepalanya serta mengakhiri shalatnya dan hujan pun berhenti seketika.
Anas bin Malik pun bangun dan bergegas menuju rumah untuk mengambil pakaian baginda Nabi Saw dan ternyata Rasul pun melarangnya seraya berkata; “Wahai Anas, janganlah engkau mengambil sesuatu untukku, biarkanlah kita sama-sama basah, nanti juga pakaian kita akan kering dengan sendirinya.”