Opini

Merenda Nilai-Nilai Haji

Haji adalah ibadah yang menjadi dambaan setiap insan yang bergelar muslim

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Merenda Nilai-Nilai Haji
IST
Suhardi Behrouz, Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia

Oleh Suhardi Behrouz, Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia

Haji adalah ibadah yang menjadi dambaan setiap insan yang bergelar muslim. Sebab haji merupakan puncak dari segala ibadah. Bahkan tak jarang orang menabung bertahun-tahun, menjual tanah hingga binatang ternak untuk bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci.

Tingginya animo dan antusiasme masyarakat untuk pergi berhaji terlihat dari lamanya daftar tunggu jemaah haji Indonesia. Untuk Aceh sendiri, berdasarkan data Dirjen PHU Kemenag RI daftar tunggunya sampai tahun 2045.

Tingginya minat masyarakat untuk berhaji sekilas melahirkan kegembiraan betapa meningkatnya kesadaran beragama dan ekonomi umat. Namun di satu sisi menuai pertanyaan, benarkah meningkatnya kuantitas dan minat orang pergi berhaji berbanding lurus dengan kualitas beragamanya? Benarkah nilai-nilai haji telah direnda dengan baik dalam diri, ataukah hanya direnda untuk sekadar meraih gelar haji atau hajjah saja?

Untuk menjawab pertanyaan di atas secara terukur memang agak sulit, tapi pemandangan yang tampak dipermukaan, setidaknya melahirkan ironi dan kegelisahan. Banyak yang kembali dari Tanah Suci dan bergelar haji tidak menampakkan perubahan dalam hidupnya.

Padahal, orang yang telah menunaikan haji seharusnya mengejawantahkan nilai-nilai haji itu dalam kehidupan dan menjadi katalisator dan motivator bagi lingkungannya. Bukan menjadi aktor dan juga provokator tergerusnya nilai-nilai haji itu sendiri.

Oleh karena itu, nilai-nilai haji yang sarat makna itu harus direnda dengan baik dalam setiap diri dan menjadi pakaian diri. Di antara nilai-nilai yang direnda itu, pertama, ketulusan niat. Niat menjadi barometer diterima atau tidaknya sebuah amalan.

Sebuah ibadah yang tidak dilandasi niat yang baik dan tulus untuk mencari ridha-Nya, hanyalah akan menjadi ritual yang kering dan tidak akan mendatangkan keberkahan dalam hidup. Alhasil pekerjaan akan menjadi sia-sia dan tidak akan bermakna. Oleh sebab itu niat yang baik dan tulus harus menyebati dalam diri, selanjutnya akan menyebar dalam laku dan perbuatan dalam kehidupan.

Kedua, persamaan dan kesetaraan. Ritual ihram mengajarkan bahwa semua makhluk sama di hadapan Tuhan. Tidak ada bedanya yang kaya dengan yang papa, penguasa dengan rakyat jelata dan yang cerdas dan IQ terbatas. Selama ini prediket-prediket itu membuat kita berjarak dengan sesama manusia.

Kita seakan boleh menghina orang yang papa dengan harta yang kita mmiliki. Kita berlaku zalim dan semena-mena akibat kuasa dan tahta yang sedang kita duduki, dan juga dengan mudah menipu dan merendahkan orang yang kita anggap tidak secerdas kita. Padahal, dalam pandangan Allah semua pakaian yang membuat kita sombong itu tidak ada nilainya di hadapan-Nya.

Kesadaran dan nilai inilah yang diajarkan dalam ritual kita berpakaian ihram. Diri kita bukanlah siapa-siapa, harta, kuasa dan kecerdasan hanyalah anugerah Allah yang dititipkan kepada kita, agar kita gunakan dan jaga sebaik-baiknya untuk membuat kita dekat kepada-Nya, bukan untuk membuat kita durhaka dan congkak dengan semua anugerah itu.

Ketiga, dinamis. Tawaf mengajarkan kepada manusia akan hakikat gerak kehidupan dan juga sebagai simbol bahwa alam ini tidak berhenti bergerak. Manusia yang ingin eksis adalah manusia yang dinamis dan senantiasa bergerak. Artinya bergerak adalah entitas kehidupan, sebab berhenti bergerak sama dengan kematian dan kualitas gerak itu ditentukan oleh bergeraknya seseorang ke arah yang memberi gerak.

Bergerak ke pusat orbitnya. Dalam konteks kekinian, seorang yang berhaji adalah pribadi yang bergerak dalam mengejewantahkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Bergerak dari perilaku maksiat menuju akhlak yang berbalut rahmat.

Karena dengan bergerak ke arah ketuhananlah kita akan selamat dalam kehidupan ini. Sebab, berhenti bergerak adalah statis dan itu sejatinya mati walau tanpa dikebumi.

Keempat, optimis. Nilai ini diajarkan dari ritual sa’i, yakni berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa. Ritual ini merujuk kepada peristiwa di mana Siti Hajar berlari mencari air di tanah yang tandus kala ditinggalkan Ibrahim.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved