PON Riau

Tiga Emas Rp 43,5 M

Dana melimpah ternyata belum menjamin Kontingen Aceh bisa sukses di Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau yang berlangsung 9-20 September 2012

Editor: bakri
* Prestasi Aceh di PON XVIII Riau

BANDA ACEH - Dana melimpah ternyata belum menjamin Kontingen Aceh bisa sukses di Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau yang berlangsung 9-20 September 2012. Di pesta multieven itu, Aceh harus finis di peringkat 25 dengan meraih 3 emas, 5 perak, dan 18 perunggu. Dana yang dikucurkan Aceh untuk tujuan mengukir prestasi terbaik di even empat tahunan ini mencapai Rp 43,5 miliar.

Seperti diketahui, pada 2011, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) memplot dana Rp 18,5 miliar sebagai persiapan Pra-PON dan Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Sedangkan untuk berlaga di arena PON Riau, Pemerintah Aceh tak tanggung-tanggung mengguyur dana Rp 25 miliar.

Dalam catatan Serambi, dana Rp 25 miliar menjadi angka terbesar dalam sejarah olahraga di Provinsi Aceh. Namun anggaran melimpah ruah ternyata tak sebanding dengan prestasi yang dicapai di PON XVIII. Alih-alih ingin memperbaiki peringkat, tim Aceh terseok-seok di urutan ke-25. Peringkat Aceh lebih bagus satu strip dari pada provinsi pemekaran di ujung Indonesia, Papua Barat.

Prestasi berada di urutan ke-25 setidaknya mengulang kembali hasil memalukan di PON 2000 di Surabaya, Jawa Timur. Waktu itu, dengan dana Rp 3 miliar, Aceh mampu finis di peringkat dua dari bawah yakni 25. Dari PON Surabaya, Aceh membawa pulang satu emas, 1 perak, dan 13 perunggu. Prestasi Aceh lebih bagus jika dibanding Sumatera Barat (Sumbar) yang duduk manis sebagai juru kunci tanpa medali emas.

Beruntung, empat tahun kemudian, pada PON 2004 Palembang, Kontingen Aceh berhasil bangkit. Bermodalkan anggaran Rp 5 miliar, Aceh mampu memperbaiki posisi dari PON sebelumnya. Kala itu, Tanah Rencong duduk di urutan 22 dengan 6 emas, 2 perak, dan 5 perunggu.

Prestasi buruk kembali dituai Aceh ketika PON 2008 di Kalimantan Timur (Kaltim). Sesumbar mampu merengkuh 8 emas dan ingin memperbaiki peringkat, Aceh lagi-lagi gigit jari. Aceh berada pada posisi 23 di PON Kaltim. Dibanding PON 2000 di Palembang, hasil ini mengalami penurunan yakni dari peringkat 22 ke 23.

Kegagalan Aceh di PON Kaltim sungguh mengenaskan mengingat Kontingen Aceh kala itu bermodalkan Rp 25,6 miliar. Sebab, pada 2007--untuk persiapan Pra-PON dan Porwil--Pemerintah Aceh mengguyur Rp 10 miliar. Selain itu, jelang PON 2008, lagi-lagi KONI Aceh menerima Rp 15,6 miliar.

Seperti diketahui, untuk PON Riau, KONI Aceh yakin bisa merebut keberhasilan. Tak tanggung-tanggung, Pengurus KONI Aceh pun memasang target 10 medali emas. “Untuk PON kali ini, kita lebih siap di mana persiapan atlet sangat lama dalam TC,” begitu kata Ketua Umum KONI Aceh, H Zainuddin Hamid kepada wartawan usai penglepasan Kontingen Aceh di Meuligo Gubernur, Minggu 2 September 2012.

Kecuali itu, kata pria yang akrab disapa Let Bugeh tersebut, kesiapan atlet-atlet Aceh bisa dilihat di mana sejumlah cabang olahraga melakukan latihan di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Cina, dan juga Filipina. Kecuali itu, sejumlah atlet juga berlatih di luar daerah demi mengejar target 10 emas dan obsesi masuk 15 besar.

10 emas yang ditargetkan mulus untuk Kontingen Aceh itu terdiri terjun payung 2 emas dan masing-masing satu emas untuk golf, atletik, tinju, tarung drajat, karate, taekwondo, pencak silat, dan balap motor. Ternyata, dari sembilan cabang prioritas itu, hanya tarung drajat yang mampu memenuhi target. Terjun payung yang menargetkan dua emas hanya bisa merealisasikan satu medali.

Beruntung, di tengah paceklik medali, cabang kempo menjadi sang penyelamat ketika sukses merebut satu emas. Tiga emas itu hasil dari tarung drajat, terjun payung, dan kempo.

Sebenarnya di PON XVIII Riau, Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah sangat berharap duta-duta Aceh mampu masuk peringkat 15 besar. Hal ini untuk memperbaiki prestasi ketika PON 2008 di Kaltim. “Aceh harus masuk 15 besar,” begitu harapan Zaini ketika melepas Kontingen Aceh, Minggu 2 September 2012.

Bahkan, ketika meninjau penginapan atlet Aceh di Pekanbaru, Zaini kembali meminta duta-duta olahraga Aceh untuk berjuang merebut setiap kesempatan guna mempersembahkan kemenangan bagi daerah. “Aceh harus nomor satu. Tidak saja dari abjadnya, tapi juga dari prestasinya. Kalian harus mampu menunjukkan itu,” harapan Zaini di Pekanbaru, Selasa 11 September 2012.

Harapan Gubernur Aceh ternyata gagal diwujudkan. Rakyat juga dipastikan sangat kecewa mengingat uang mereka yang digelontorkan untuk even PON XVIII mencapai Rp 43,5 miliar yang hanya mampu membawa pulang 3 emas, 5 perak, dan 18 perunggu.(ran)

Belajar dari Kegagalan Sumbar
PON 2000 di Surabaya, Jawa Timur, menyisakan kenangan pahit untuk Kontingen Aceh dan Sumatera Barat. Dua daerah ini harus sikut menyikut untuk keluar dari status juru kunci. Waktu itu, Aceh wajib berterima kasih kepada Fakhrurrazi yang sukses merebut emas satu-satunya di cabang pencak silat.

Berkat emas tunggal itu mengatrol posisi Aceh sehingga berada di posisi 25 atau satu tingkat di atas Sumbar sebagai juru kunci. Modal Kontingen Aceh di PON Surabaya Rp 3 miliar.

Prestasi Sumbar yang berada di posisi 1 dari bawah mencuatkan kecaman. Pengurus KONI Sumbar ternyata tahu diri. Buktinya, ada di antara mereka yang memilih mundur sebagai pertanggungjawaban moral kepada masyarakat Ranah Minang.

Sumbar ternyata belajar dari kegagalan itu. Tanpa ragu, seluruh elemen pelaku olahraga di sana bekerja keras untuk mengembalikan kejayaan. Hasilnya, Sumbar bisa memperlihatkan ketangguhan di arena Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) Lampung pada Oktober 2003.

Setelah bertanding selama dua pekan, Sumbar finis di peringkat ke-2 di bawah tuanrumah Lampung. Sedangkan Aceh, waktu itu di posisi ke-5 dengan 15 medali emas. Malahan pada dua Porwil kemudian, Sumbar selalu sukses berada di atas Aceh.

Porwil 2007 di Medan, Sumatera Utara, Sumbar mampu menduduki posisi 3. Sedangkan Aceh harus terseok-seok di posisi ke-6 dari ambisi Pengurus KONI kala itu sebagai juara umum.

Pada Porwil 2011 di Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Sumbar kembali mempertontonkan ketangguhan. Tim Urang Awak bisa berada di atas peringkat Aceh. Di tiga Porwil terakhir, Kontingen Aceh selalu kalah dari Sumbar. Sebuah kemajuan luar biasa, memang milik mereka.

Lalu, bagaimana di PON? Jujur saja, ketika Sumbar sudah merangsek ke posisi 15 besar nasional, Aceh masih terseok-seok di peringkat bawah bersama provinsi pemekaran, semisal Papua Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Memalukan, memang!

Di PON 2004 Palembang, Sumbar memperbaiki urutan ke nomor 21 dari posisi 26 di PON Surabaya. Jika Sumbar terus memperlihatkan tren positif saat pesta empat tahunan itu, sebaliknya Aceh terus merosot.

PON 2008 di Kaltim, Aceh turun ke posisi 23 dari 22 PON sebelumnya. Sedangkan Sumbar melejit menempati nomor 16 dari 21. Terakhir, PON Riau menjadi bukti sahih kalau Aceh makin ketinggalan dari Sumbar. Aceh finis di nomor 25, sebaliknya Sumbar mampu menembus peringkat 11.

Jujur saja, keberhasilan Sumbar baik di PON dan Porwil selama tiga kali berturut-turut tak lepas dari ketegasan Pengurus KONI mereka. Untuk berlaga di PON, Sumbar hanya memberangkatkan atlet yang sukses masuk empat besar di ajang Pra-PON. Sementara untuk Porwil, mereka hanya membawa atlet berperingkat satu dan dua.

Kisah paling anyar terjadi saat regu bola voli putra Sumbar sukses merebut tiket ke PON 2004 di Palembang. Meski lolos murni ternyata pengurus KONI setempat tak memberangkatkan mereka. Ya, mereka menilai tim bola voli kecil mendapat peluang medali jika menghadapi tim-tim di Pulau Jawa, semisal Jatim, Jabar, DKI, atau Jateng.

Sumbar sama sekali tidak memberikan peluang bagi atlet-atlet yang  lolos PON dengan tiket wild-card. Bagi Sumbar, atlet bertiket itu hanya sebagai pelengkap saja. Tentunya, atlet ini tak ada peluang untuk mempersembahkan medali. Bagi Sumbar, PON harga mati sebagai ajang prestasi. Mereka hanya membawa atlet dengan proyeksi medali emas.

Sumbar memang getol membina atlet serta memberikan kesempatan untuk bertanding di sejumlah even nasional. Strategi mereka mulai membuahkan hasil.

Lalu, bagaimana dengan Aceh? Sudah sepantasnya pelaku olahraga di daerah ini belajar dari kegagalan dan kebangkitan Sumbar. Jika memang ingin maju, tidak ada istilah pilih kasih. Rakyat ingin dana mereka ‘ditukar’ dengan prestasi yang sesuai. Bukan, misalnya, tiga medali emas seharga Rp 43,5 miliar.(imran thaib)

Ganti Pengurus KONI
BANDA ACEH - Anggota DPRA dari beberapa fraksi menilai prestasi yang diraih Kontingen Aceh di PON XVIII 2012 Riau yang hanya bisa meraih 3 emas, 5 perunggu, dan 18 perak belum sebanding dengan dana APBA yang dialokasikan selama dua tahun mencapai Rp 43,5 miliar.

“Kalau itu prestasinya, kita patut mempertanyakan, sangat tidak sebanding. Pengurus KONI Aceh perlu diganti,” kata Ketua Fraksi PKS/PPP DPRA, Fuadi Sulaiman kepada Serambi, Jumat (21/9).

Pandangan hampir serupa diutarakan Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRA, Tanwier Mahdi. Menurut Tanwier, dana yang dikucurkan untuk KONI Aceh menghadapi PON XVIII sangat besar. Tahun 2011 Rp 18,5 miliar dan tahun 2012 Rp 25 miliar.

“Kalau anggaran yang diberikan telah memadai tapi prestasi yang diraih masih jauh dari harapan, maka kesalahannya ada pada manajemen pembinanya. Pertama, Pengurus KONI dan kedua pada pengurus cabang-cabang olahraganya,” kata Tanwier.

Karena hasil yang dicapai sangat mengecewakan, Tanwir Mahdi dan Fuadi Sulaiman berharap agar Tim Pengawas KONI dan Gubernur Aceh bersama Wakil Gubernur mengevaluasi dan mengganti Pengurus KONI dan pengurus cabang-cabang olahraga yang dinilai tak serius.

Kedua anggota DPRA ini berharap, menghadapi PON XIX harus dimulai dengan manajemen KONI yang baru yang menerapkan pola efisiensi, efektif, transparan, dan akuntabel.

Fuadi Sulaiman dan Tanwier Mahdi menyarankan, sebelum serah terima kepengurusan lama dengan yang baru, semua penggunaan dana pembinaan atlet yang pernah diberikan ke KONI harus diaudit. “Inspektorat Aceh harus bekerja lebih teliti dalam mengaudit dana APBA yang pernah diberikan ke KONI termasuk dana hasil transfer atlet Aceh ke Riau yang menyumbangkan emas untuk Riau. Infonya, ada pembayaran Rp 75 juta, siapa yang menerima, di mana dana itu sekarang. Ini perlu diselidiki supaya tidak menjadi fitnah,” pungkas Tanwier Mahdi.(her)

Let Bugeh: Kita tidak Gagal
PEKANBARU - Ketua Umum KONI Aceh, H Zainuddin Hamid mengatakan, torehan tiga emas--dari target 10 keping--di PON Riau bukanlah disebabkan gagalnya pembinaan olahraga di Aceh.

Menurut Let Bugeh--sapaan akrab Zainuddin Hamid--tidak gagalnya pembinaan olahraga di Aceh dibuktikan dengan membengkaknya perolehan medali perunggu dari target tiga menjadi 18 keping.

“Kita gagal hanya diperolehan medali emas. Target 10 yang ada 3. Namun kalau kita lihat diperolehan perunggu, terjadi pembengkakan luar biasa. KONI menargetkan tiga perunggu, tapi dikumpulkan 18 keping. Itu membuktikan pembinaan olahraga kita baik,” kata Let Bugeh kepada wartawan Serambi, Ibrahim Ajie di Pekanbaru, Riau, Rabu 19 September 2012.

Menurutnya, melencengnya perolehan medali emas dari target yang ditetapkan KONI lantaran ada cabang prioritas yang gagal. Jika target pengprov tersebut tak melenceng, kata Let Bugeh, maka target emas Aceh bisa tercapai. “Sebelumnya kan ada beberapa cabang olahraga ditargetkan menyumbang emas, seperti karate, taekwondo, anggar, tinju, atletik, wushu, dan golf. Namun ternyata mereka gagal mempersembahkannya,” ujar Let Bugeh.

Kegagalan meraih emas, tambah Let Bugeh, juga lantaran KONI Aceh terlalu percaya pada prediksi pengprov. Malah, kata Ketua Umum KONI Aceh itu, ada cabang yang siap teken kontrak menyumbang dua emas.

“Soal cabang apa, nggak perlu saya ungkapkan. Tapi mereka berani teken kontrak dua emas. Kenyataannya, jangankan emas, mereka hanya mampu menyumbang perunggu. Inilah kalau kita terlalu percaya kepada pengprov. Malah ada pengprov yang tak bisa kita atur terkait masalah atlet. Kini kegagalan mereka ditimpakan ke KONI,” katanya.

Menyangkut besarnya dana yang dikeluarkan untuk kegiatan PON mencapai Rp 25 miliar, Let Bugeh membantah kalau dana sebesar itu seluruhnya untuk kebutuhan PON. “Itu kan cerita orang kalau dana PON Rp 25 miliar. Padahal dari dana itu KONI juga harus membayar pajak yang jumlahnya lebih Rp 2 miliar. Dana itu juga diperuntukkan bagi biaya rutin KONI, beli peralatan, untuk pelatda, ujicoba, dan lain-lain. Jadi tidak benar kalau seluruhnya untuk PON di Riau,” demikian Let Bugeh.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved