Serambi Kuliner
Tradisi Bulukat pada Kenduri di Aceh
BERAS ketan yang dikukus hingga menjadi pulut yang disebut bulukat
BERAS ketan yang dikukus hingga menjadi pulut yang disebut bulukat, memiliki arti penting dalam tradisi masyakat Aceh. Bahkan, hampir di setiap upacara yang diselenggarakan di Aceh, tak pernah luput dengan sajian menu bulukat. Masyarakat Aceh menyebutnya Khanduri Bulukat (kenduri ketan).
Konon, pada Hikayat Malem Diwa yang diceritakan secara turun temurun, bulukat memiliki arti mengambil berkat dan menghindarkan kemurkaan tokoh Malem Diwa. Sejak itu, bulukat yang dihidangkan pada setiap upacara memiliki tujuan beragam. Pada acara-acara lain, ada maksud tertentu pula dari penyajian bulukat.
Dalam blog tambeh.wordpress.com, TA Sakti menulis, bulukat mempunyai arti simbolis. Selain sebagai makanan enak, juga makanan berkah, keramat, dan memiliki unsur magis. Tentu saja keberkahan yang diharapkan itu datangnya dari sang khalik.
Dulu, saat orang tua mengantar anaknya ke tempat pengajian, si anak diharuskan menjinjing talam berisi bulukat ke tempat pengajian. Bulukat ini bukan hanya sebagai simbol buah tangan bagi guru ngaji dan seluruh santri yang menimba ilmu di sana. Akan tetapi, sebagai simbolis agar pelajaran yang akan diterima oleh si anak, melekat di otaknya. Simbol itu didasari lantaran bulukat banyak getah yang berfungsi sebagai perekat.
Nah... untuk jenis bulukat pun disesuaikan dengan hari si anak masuk ke pengajian. Bila anak diantar pada hari Rabu, yang dibawa biasanya bulukat u teuwot (ketan pakai kelapa yang diaduk gula pasir atau manisan). Andai menggunakan manisan dan bulukat memerah, disebut bulukat u merah.
Selain itu ada juga bulukat juz teungoh (ketan juz tengah). Biasanya, bulukat ini diantarkan saat si anak telah belajar setengah dari Alquran. Tepatnya sampal pada kalimat Walya Thalaththaf yang sering dicetak tebal pada Alquran,
Selanjutnya bila anak telah khatam Alquran, orang tua kembali membawa bulukat peutamat Quruan (ketan khatam Alquran). Antaran bulukat dimaksud di balai pengajian dimaksud melambangkan kebersamaan antara sesama satri dan guru mengaji. Inilah faktor pendukung kekuatan masyarakat Aceh menahan intervensi Belanda dulu, hingga terpaksa melawan gerilyawan muslimin selama 70 tahun.
Selian itu, ada juga persembahan bulukat untuk nazar. Biasanya, yang dibagikan untuk melepas nazar adalah bulukat u tuwot. Tak hanya itu, bulukat juga disimbolkan dengan rasa aman, tenteram, bahagia, dan keberkatan. Bulukat dengan simbol ini biasanya disajikan pada acara selamatan, seperti khanduri thon (selamatan tahunan), ek u rumoh baro (naik rumah baru), Seunujoh (kenduri tujuh hari setelah orang meninggal, khanduri koh boh (selamatan khitan), dan sebagainya.
Ada juga yang disebut bulukat u teuprue (ketan dengan kukuran kelapa yang hanya ditaburi gula). Bulukat ini dihidangkan kepada penduduk desa atau kerabat yang hendak bekerja membantu kenduri. Sebagai santapan pagi, para tamu disuguhi segelas kopi dan satu piring bulukat.
Bulukat paling sering ditemukan pada acara tepung tawar atau di Aceh disebut peusijuek. Pada acara-acara besar dan bermuatan acara peusijuek, biasanya disiapkan satu baki besar bulukat. Usai ritual peusijuek, bulukat dimakan bersama.
Tradisi lainnya yang sering disuguhi bulukat ketika masyarakat mulai turunke sawah sampai selesai panen. Hari pertama membajak, bulukat peuphon meu‘ue (ketan mulai membajak) disediakan bagi orang yang lalu-lalang di sekitar sawah. Khanduri bulukat lainnya dilaksanakan saat menanam padi (seumula) dan mengirik padi (ceumeulho). Selesai bekerja, tuan rumah menyuguhi bulukat ceumeulho.
Untuk memakan bulukat ini bisa ditambahi kuah. Kuah bulukat yang terbuat dari santan campur pisang, nangka, yang dimasak. Jika menggunakan pisang, disebut bulukat kuah tuhe. Sedang bila pisang tidak dimasak disebut bulukat pisang thok (ketan pisang digiling). Tapi, bisa juga menggunakan durian. Nah... untuk jenis ini, disebut bulukat boh drien atau ketan durian.(*)