Opini

Rindu Iskandar Muda

ORANG yang hidup hari ini akan menjadi sejarah pada masa mendatang. Torehan sejarah pemimpin hari ini akan

Editor: bakri

Oleh Muhammad Nasir

ORANG yang hidup hari ini akan menjadi sejarah pada masa mendatang. Torehan sejarah pemimpin hari ini akan dikenang oleh generasi penerus. Itulah sebabnya, semua orang harus melakukan yang terbaik dalam sejarah hidupnya. Khusus kepada orang-orang yang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan wajib membuat pilot project monumental semasa kepemimpinannya, agar namanya dicatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah.

Lihatlah bagaimana Sultan Iskandar Muda (1590-1636) masih terus dikenang dan dirindukan hingga saat ini. Paduka Yang Mulia (PYM) Tengku Malik Mahmud Al-Haytar yang telah dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe dalam Sidang Paripurna DPRA, diharapkan mampu mengembalikan kejayaan peradaban Aceh sebagaimana pernah dilakukan Sultan Iskandar Muda tempo doeloe.

Dunia mencatat beberapa pemimpin besar yang dikenang oleh bangsanya sepanjang masa. Ini terjadi karena mereka sukses membebaskan rakyatnya dari ketertinggalan. Itulah sebabnya nama Nabi Muhammad saw (570-632 M) berada dalam kenangan, kajian dan panutan sepanjang masa. Nabi Muhammad menjadi sosok ideal yang membebaskan umat manusia dari berbagai keterbelakangan yang membelenggu manusia.

Setiap bangsa memiliki tokoh-tokoh sentral yang diidamkan karena taburan jasa bagi bangsanya. Maka, tersebutlah nama-nama besar dalam bentengan sejarah bangsa-bangsa di dunia. Ibnu Rusydi (1126-1198 M) dari Andalusia (Spanyol) menjadi kenangan bagi intelektual Eropa karena pemikiran-pemikirannya menginspirasi gerakan renaisance (kebangkitan) negara-negara Eropa yang dampaknya masih dirasakan hingga kini. Begitu juga Mahatma Gandhi di India, Muhammad Ali Jinnah di Pakistan, Soekarno yang sukses memimpin pembebasan Indonesia dari aneksasi asing, Mahathir Muhammad yang mengantarkan Malaysia menjadi negara industri, makmur dan berwibawa.

Untuk kontek lokal Aceh sendiri terdapat beberapa pemimpin besar yang menorehkan namanya dengan tinta emas dalam catatan sejarah. Pada masa kesultanan tersebutlah nama besar Iskandar Muda yang berhasil megantarkan Aceh sebagai negara paling berpengaruh di Asia Tenggara, bahkan masuk dalam lima besar negara Islam kuat di dunia. Secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan, Aceh berada pada zenith (puncak) kejayaan pada masa pemerintahan di bawah kepemipinan Sultan Iskandar Muda.

Selanjutnya, pasca-kemerdekaan RI, tersebutlah nama Ibrahim Hasan yang sukses membebaskan Aceh dari isolasi semasa kepemimpinannya sebagai Gubernur Aceh (1986-1993), khususnya di wilayah pantai Barat-Selatan Aceh melalui proyek monumental pembebasan rakit penyeberangan sungai. Beliau juga menyiapkan master plan jalan jaring laba-laba sehingga Aceh terhubung dari dan ke semua arah, serta proyek-proyek besar lainnya seperti proyek Krueng Aceh dan perluasan jalan-jalan protokol di Banda Aceh.

Ibrahim Hasan terlihat bervisi besar dan jauh ke depan. Beliau bahkan punya motto: Jaroe bak langai, mata u pasai. Artinya, setiap proyek yang dibangun harus terencana dan terarah agar tidak akan sia-sia setelah proyek itu selesai. Dia terlihat berhati-hati dalam menggelontorkan uang rakyat agar tidak terbuang percuma yang tidak berdampak massal dan berjangka panjang. Apalagi pada masa kememimpinannya, kondisi Aceh masih dalam kecamuk konflik dan anggaran pembangunan sangat sedikit.

 Dana otsus
Sejak penandatangan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 kondisi Aceh sudah damai. Pembangunan pun sudah mudah digerakkan, tidak lagi terkendala konflik. Tidak hanya itu, Pemerintah RI memberikan kompensasi damai berupa dana Otonomi Khusus (Otsus) selama 20 tahun untuk Aceh. Kepada Aceh juga diberikan tambahan dana bagi hasil minyak dan gas dengan porsi Aceh-Pusat 70:30. Aceh memiliki modal yang sangat besar untuk menggerakkan pembangunan. Keliru dalam mengelola anggaran ini tidak akan menimbulkan dampak kesejahteraan yang langgeng bagi Aceh, selain kesejahteraan bagi segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan.

Sebagainma dilansir PECAPP (Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program) dalam diskusi “Belanja Publik Aceh 2013: Mengulangi Kekeliruan”, diperoleh informasi bahwa sejak 2008-2013 penerimaan Aceh lebih dari Rp 100 triliun dan menempatkan Aceh sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia (Serambi, 29/11/2013). Angka Rp 100 triliun itu melebihi dana yang pernah dikelola oleh BRR NAD-Nias (2005-2009), yaitu sebesar Rp 70 triliun.

Kalau dibagi rata-rata, dana pembangunan Aceh setiap tahunnya adalah Rp 20 triliun. Sebuah angka fantastis untuk membangun sebuah provinsi. Perlu diingat, Aceh mendapatkan kucuran dana melimpah itu hanya dalam jangka waktu tertentu. Dana Otsus hanya diberikan untuk jangka 20 tahun sejak 2007, dan kini hanya tersisa 13 tahun lagi. 7 tahun sudah berlalu dan dampak dari pemanfaatan dana Otsus itu belum terlihat nyata pada proyek yang bersifat massal dan berdampak jangka panjang.

Kita dapat bertanya, berapa banyak jalan tembus baru antarkabupaten di Aceh yang sudah terealisasi dan dapat dilalui dengan mulus? Berapa banyak sekolah unggul yang didirikan di kabupaten/kota? Berapa banyak investor yang menanamkan modalnya di Aceh untuk membebaskan ketergantungan pada Medan? Berapa persen angka kemiskinan dan pengangguran menurun? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu diajukan saat ini, sebelum “nasi menjadi bubur”, yaitu suatu masa tatkala jatah dana Otsus sudah habis.

Untuk itulah, maka Pemerintah Aceh, termasuk Wali Nanggroe Malik Mahmud, harus merenungi dengan hati yang dalam, lurus, ikhlas, amanah dan berwawasan luas dalam memanfaatkan jabatannya untuk kesejahteraan rakyat Aceh jangka panjang.

Para penasehat Gubernur/Wali Nanggroe sejatinya memberikan masukan positif dalam merancang pemanfaatan dana pembangunan Aceh yang melimpah itu. Khusus kepada penasehat yang keberadaannya hanya sekedar pemanis dan ‘ABS’ (asal bapak senang) kiranya perlu ditertbkan sebelum muncul kata penyesalan di kemudian hari.

Tidak sepantasnya dana Otsus dihamburkan untuk proyek-proyek kecil seperti pengecatan pagar sekolah atau disedot untuk biaya operasional yang terlalu tinggi seperti pembelian mobil dinas, atau tunjangan jabatan yang di luar batas kewajaran. Selain itu, kucuran beasiswa yang jumlahnya fenomenal itu perlu dievaluasi agar tepat sasaran. Data basenya harus kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved