Penembakan di Aceh
Pistol Gondrong Milik Pecatan TNI
Polda Sumut tidak menemukan keterlibatan Rusman Hadi alias Rus alias Rusman alias Gondrong (45), warga Peukan Bada, Aceh Besar
* Digadai Rp 2,6 Juta
MEDAN - Polda Sumut tidak menemukan keterlibatan Rusman Hadi alias Rus alias Rusman alias Gondrong (45), warga Peukan Bada, Aceh Besar dalam serangkaian penembakan di Aceh. Pistol jenis FN yang disita diakuinya barang gadaian temannya yang berstatus pecatan TNI.
Pemeriksaan mendalam terus dilakukan penyidik Ditreskrim Umum Polda Sumut karena awalnya pria yang diringkus dari sebuah hotel di Jalan Aksara, Medan, Sabtu (5/4) malam terlibat kriminalitas di Aceh. Dugaan itu sempat menguat ketika dari kamar yang dihuni Gondrong ditemukan pistol FN beserta 14 butir amunisi dan sebuah magasin senapan serbu.
Namun, kesimpulan dari pemeriksaan panjang itu tidak menemukan bukti keterlibatan pelaku dalam kelompok tertentu yang terlibat penembakan maupun perampokan di Aceh. “Bukti ke sana tak ada. Jadi, sementara ini dia (Gondrong) hanya kita sangkakan hanya sebagai pemilik senjata api ilegal,” kata Kasubdit III/Umum Ditreskrim Umum Polda Sumut, AKBP Rudi Rifani kepada Serambi di Medan, Senin (7/4).
Ditegaskan, hingga dua hari pemeriksaan tidak ada warga yang melapor sebagai korban kejahatan pelaku. Meski begitu, menurut Rudi, penyidik akan tetap mendalami fungsi senjata api laras pendek itu selama berada di tangan tersangka. “Pasti kita telusuri. Sudah digunakan untuk apa saja senjata itu,” tambah Rudi.
Sejauh ini, kata Rudi, tersangka membantah telah menyalahgunakan pistol itu. Ia mendapatkan seluruh peralatan tempur itu dari temannya, S alias P (45) yang pernah bertugas di sebuah Satuan TNI di Delitua, Deliserdang. Dalam keterangannya, tersangka menjelaskan S menggadaikannya Rp 2,6 juta. Tersangka menjelaskan, awalnya ia hanya memiliki sebutir amunisi yang bersarang di magasin. Selanjutnya ia membeli amunisi lain seharga Rp 200 ribu per butir dari I yang diakui tersangka juga pecatan TNI.
Sementara Mabes Polri mencurigai ada kelompok masyarakat di Aceh yang sengaja tidak mengembalikan senjata api sisa masa konflik. Kondisi ini membuat teror penembakan sulit diprediksi dan beberapa kasus belum terungkap. Kecurigaan itu diucapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Penmas) Polri, Brigjen Boy Rafli Amar terkait penembakan mobil bertuliskan partai lokal Aceh, Selasa (1/4) lalu.
Ia menduga pelaku menggunakan senjata sisa konflik yang tidak dikembalikan kepada pemerintah. Beberapa kelompok ditengarai sengaja menyembunyikan senjata-senjata itu untuk membangun sebuah kondisi yang menakutkan bagi masyarakat. “Ini karena masyarakat ada yang sengaja tidak mengembalikannya. Sekarang ini mereka menyalahgunakannya untuk membangun situasi yang menakutkan,” kata Boy dalam diskusi umum di Medan, Senin (7/4).
Terkait penembakan yang menewaskan tiga orang itu, Boy Rafli menjelaskan hasil penyelidikan kuat dikarenakan persaingan parlok. Namun, ia tak menjelaskan kelompok mana yang terlibat dalam penembakan tersebut karena penyelidikan masih terus dilakukan.
Pengamat politik Universitas Sumatera Utara, Ahmad Taufan Damanik mendukung pernyataan itu dengan mengatakan intimidasi masih terus berlangsung di Aceh. Pelaku menggunakan modus menciptakan kondisi yang sistematis agar masyarakat merasa takut. “Masih ada penggunaan senjata. Jadi Pemilu tahun ini tidak jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya,” kata Taufan.
Kondisi seperti itu dinilainya mempertegas kalau demokrasi di Aceh belum tumbuh. Masyarakat yang merasa terancam menurutnya secara terpaksa memilih partai tertentu yang dianggapnya sebagai teror. “Empat pekan lalu kondisi ini masih kami temui. Jadi memang ada basis merah putih ataupun basis kelompok lainnya. Ini bahaya,” ungkapnya.(mad)