Damai Aceh
10 Tahun Merajut Harapan
PERDAMAIAN, kata yang sangat dirindukan rakyat Aceh setelah berpuluh tahun Bumi Serambi Mekkah ini bergelut dengan konflik.
PERDAMAIAN, kata yang sangat dirindukan rakyat Aceh setelah berpuluh tahun Bumi Serambi Mekkah ini bergelut dengan konflik. Pertikaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang seolah tak berujung akhirnya mencapai sebuah kesepakatan damai melalui perundingan yang dimediasi Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Martti Ahtisaari pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Perundingan tersebut melahirkan nota kesepahaman yang dikenal dengan MoU Helsinki.
Kini sepuluh tahun sudah MoU Helsinki menjadi landasan cita-cita perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Masyarakat Aceh yang sejak lama dihantui rasa takut akibat konflik berkepanjangan, sudah bisa kembali beraktivitas dengan nyaman. Tidak ada lagi kekhawatiran akan ada penangkapan tanpa alasan, juga kabar mayat yang ditemukan di pinggir jalan, dan desingan peluru yang tak kenal waktu.
Selama sepuluh tahun ini juga masyarakat Aceh kembali memulihkan rasa trauma yang mereka rasakan semasa konflik, dan tentu pula keterpurukan akibat bencana maha dahsyat, tsunami 2004. Bangkit dari keterpurukan memang harus, meski sebagiannya masih menyimpan cerita pilu, terutama bagi mereka yang kehilangan anggota keluarga pada masa konflik.
Berlahan tapi pasti. Semua kegelapan masa lalu berangsur membaik. Berbagai sektor seperti pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pariwisata juga terus berbenah menyongsong Aceh yang lebih baik.
Komitmen Pemerintah Aceh tidak hanya sebatas ucapan pemanis bibir, tetapi telah diwujudkan melalui aksi nyata, termasuk melahirkan kebijakan dan penganggaran dana pembangunan secara proporsional di setiap wilayah.
Spirit hidup
Seyogyanya, perdamaian yang telah berlangsung sepuluh tahun ini dapat terus dipelihara dan terawat dengan baik. Tentu pula berbagai tugas pemerintah untuk mensejahterakan rakyat tidak boleh dilupakan. Sebab perdamaian pada hakikatnya adalah berjalan seiring dengan pembangunan. Setidaknya ini pula yang disuarakan masyarakat kepada para pemimpin Aceh di usia perdamaian Aceh yang sudah mencapai 10 tahun ini. (Baca: Mereka Bicara)
Tak bisa dipungkiri, selama 10 tahun proses perdamaian berlangsung, telah memberi banyak perubahan bagi Aceh. Berbagai langkah perbaikan telah berhasil dicapai, meski masih banyak upaya lain yang harus ditingkatkan.
Banyak pula hal yang perlu terus-menerus dibenahi, terutama untuk memelihara perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masyarakat Aceh harus memperkuatnya dengan menjadikan perdamaian sebagai spirit bagi kehidupan.
“Perdamaian ini dari rakyat dan untuk rakyat. Tugas kita semua untuk menjaga dan menyuburkannya,” ujar Guberrnur Aceh, dr H Zaini Abdullah.
Menurut Gubernur yang dibutuhkan saat ini adalah kebersamaan dalam mengisi pembangunan, sehingga perdamaian tidak hanya diukur dengan rasa aman menjalankan aktivitas sehari-hari, tapi mampu membawa Aceh ke gerbang kesejahteraan. Perjuangan ke arah itu tentu membutuhkan proses, semangat kebersamaan dan kerja keras semua pihak, untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang adil, sejahtera dan bermartabat.
Inilah sebenarnya yang menjadi entry point dalam perumusan perdamaian Aceh. Sebagian besar dari butir perjanjian damai yang disepakati di Helsinki sudah banyak yang dilaksanakan.
“Beberapa poin penting dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan Aceh, juga telah diterbitkan Pemerintah,” ujar Doto Zaini.
Misalkan pada 12 Februari 2015 lalu, Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh. Pelimpahan Kewenangan yang Bersifat Nasional untuk Aceh ini merupakan regulasi penting untuk membangun negeri dan mensejahterakan Rakyat.
“Begitupun masih ada peraturan pelaksanaan turunan UUPA yang belum tuntas hingga saat ini, juga perlu penyempurnaannya supaya selaras dengan jiwa dan semangat dari MoU Helsinki dan UUPA,” terang Zaini Abdullah.
Terus berbenah
Tidak dipungkiri pula masih ada sederetan pekerjaan rumah yang harus diwujudkan pemerintah Aceh dalam mengisi perdamaian. Doto Zaini menyadari hal itu, karena rakyat juga terus menuntut perbaikan hidupnya. Sebab itu, ia meyakini perdamaian tidak akan sempurna jika tidak diikuti dengan pembangunan.
“Tidak ada makna perdamaian tanpa dibarengi dengan pembangunan, demikian juga sebaliknya,” kata Doto Zaini. (*)
Giatkan Pembangunan
PERDAMAIAN yang sudah berjalan terus kita tingkatkan untuk kesejahteraan rakyat. Demikian pula pembangunan harus dapat menurunkan angka kemiskinan dan memberi akses bagi masyarakat untuk semua lini kehidupan. Seperti halnya membangun jalur transportasi di wilayah terisolir untuk membuka akses ekonomi masyarakat. Saya juga berharap di Pemerintah Aceh sekarang perlu ada konsep reintegrasi yang jelas. Dengan konsep reintegrasi yang jelas nanti akan berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sehingga ‘premanisme’ dan konflik bersenjata tidak berkembang lagi di Bumi Tanah Rencong.
PROF DR SAMSUL RIZAL, Rektor Unsyiah
Ingat Perundingan
SAYA bangga dan merasa terhormat bisa berada dalam proses perdamaian Aceh. Lewat perdamaian ini Aceh sudah bisa hidup damai dan memanfaatkan sumberdaya alamnya untuk kesejahteraan rakyat. Marilah kita untuk tidak melupakan perundingan yang sudah menciptakan perdamaian yang dilakukan secara global ini. Perdamaian telah membawa harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk menata hidup jauh lebih baik dari sebelumnya.
PIETER FEITH, Mantan Ketua AMM
Perteguh Perdamaian
Untuk menuju meja perundingan dibutuhkan waktu yang lama dan jalan berliku. Bahkan pernah beberapa kali gagal. Namun dengan keyakinan besar dan dibantu negara-negara asing, perdamaian antara GAM dan Pemerintah Indonesia terwujud dengan mediatornya, Martti Arthisaari, mantan presiden Finlandia.
Kejadian tsunami 26 Desember 2004 menjadi salah satu faktor pendorong utama untuk kembali menuju meja perundingan dalam rangka mewujudkan perdamaian Aceh. Sebab, dengan musibah besar itu, Aceh menjadi pusat perhatian dunia, sehingga timbul keseriusan dari komunitas internasional untuk menyelesaikan konflik Aceh. Untuk ke depannya, masyarakat Aceh harus bisa memperteguh akar perdamaian dan menjadikannya sebagai spirit untuk menata kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Pemerintah juga harus terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Ini juga menjadi solusi untuk mengurangi potensi konflik bisa terulang kembali.
MALIK MAHMUD AL-HAYTAR, Wali Nanggroe