Damai Aceh
Korban Konflik Sangat Harapkan KKR
Para korban konflik sangat menggantungkan harapan pada salah satu poin penting dari konsensus perdamaian Aceh
BANDA ACEH - Para korban konflik sangat menggantungkan harapan pada salah satu poin penting dari konsensus perdamaian Aceh, yaitu dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang bertugas mengusut dan menuntut pelaku pelanggran HAM selama konflik Aceh berlangsung.
Namun, proses transisi perdamaian yang terjadi tidak sempurna seperti yang diharapkan. Pihak yang bertikai dulunya mulai melupakan korban pelanggaran HAM selama konflik berlangsung, sehingga pembentukan KKR Aceh hanya tinggal sebatas wacana belaka.
“Hal ini menyebabkan trauma konflik yang ada akan hilang begitu saja, karena elemen pendukung untuk menghilangkan trauma tersebut hanya berputar pada level wacana. Akibatnya, trauma konflik menjadi permanen dan sewaktu-waktu dapat bertransformasi menjadi kekecewaan dan melahirkan latenisasi konflik baru. Realisasi perdamaian harus segera diwujudkan secara manifes, bukan melulu pada tataran wacana,” ujar Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP Unsyiah Banda Aceh, Dr Effendi Hasan MA kepada Serambi di Banda Aceh, Kamis (14/8) malam.
Effendi Hasan menyebut bahwa apa yang disampaikan ke media itu merupakan Pokok-pokok Pikiran Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dalam rangka memperingati sepuluh tahun MoU Helsinki.
Prodi Ilmu Politik FISIP Unsyiah menilai, proses perdamaian Aceh secara permukaan memang sudah berjalan dengan baik. Tapi di level bawah, perdamaian belum memberikan kebutuhan riil bagi masyarakat. Mereka tidak memperoleh keadilan atas apa yang mereka alami ketika konflik Aceh berlangsung.
Kekerasan yang dialami, kata Effendi lebih lanjut, tidak pernah terobati karena tidak adanya proses-proses pemenuhan keadilan pascakonflik sebagaimana yang diharuskan dalam konsensus perdamaian di Helsinki pada 15 Agustus 2005 silam. “Mereka mengganggap Pemerintah Indonesia dan/atau GAM yang telah menguasai pemerintahan Aceh di bawah NKRI telah gagal membawa mereka dalam memperoleh keadilan atas kekerasan konflik yang mereka alami,” ujar Effendi.
Mantan presiden Badan Eksekutif Mahasiswa IAIN Ar-Raniry ini berpendapat, harapan keadilan terhadap kehilangan banyak nyawa sanak famili, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan penghilangan harta benda menjadi hal yang mustahil bagi sebagian korban konflik Aceh.
Ia juga menawarkan solusi untuk mengatasi persoalan itu, yakni dengan melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pemerintahan. Para elite eks GAM, menurut Effendi, sudah seharusnya menyatakan keberpihakan mereka pada rakyat, yaitu rakyat Aceh yang selalu menjadi tameng mereka sejak konflik sampai pada tameng janji politik dalam kontestasi kekuasaan.
Menjawab berbagai permasalahan ini, kata Effendi, setidaknya ada tiga hal yang patut dilakukan, yakni 1) perlunya perbaikan lembaga-lembaga demokrasi Aceh, 2) menerapkan institutions first argument yang menekankan bahwa demokrasi bisa dijalankan jika sebelumnya telah berdiri suatu negara yang berfungsi baik, melalui penegakan hukum yang tegas dan adanya kelompok-kelompok warga yang bisa dipertanggungjawabkan (secara hukum), dan 3) transformation argument yang menekankan pada upaya memanfaatkan lembaga demokrasi yang ada. “Tujuannya, agar tercapai demokrasi yang substansial,” ujar Effendi mengutip Prof Olle Törnquist, pakar ilmu politik asal Norwegia. (dik)