Advertorial
Wali Nanggroe Pemersatu Aceh
DUA tahun sudah Tengku Malik Mahmud Al-Haythar yang dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe pada 16 Desember 2013
DUA tahun sudah Tengku Malik Mahmud Al-Haythar yang dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe pada 16 Desember 2013 lalu, melaksanakan tugas mulia dan melanjutkan fungsi strategisnya sebagai seorang pemimpin dan pemersatu kehidupan adat istiadat dan budaya di tengah masyarakat Aceh. Dalam kurun waktu itu pula Paduka yang mulia berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat Aceh, yang beraneka ragam latar belakang kehidupan budaya dan adat istiadatnya.
Sejalan dengan semangat sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Umum Qanun Aceh No.8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Aceh No.9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh No.8 Tahun 2012, Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Berangkat dari latar belakang dan semangat itu pula, sejak kelahirannya Lembaga Wali Nanggroe Aceh telah melakukan banyak hal sebagai upaya mempersatukan segala kompenen masyarakat Aceh melalui nilai-nilai sejarah, adat, budaya dan tradisi Aceh.
Capaian program
Di antara capaian program yang telah dilakukan selama tahun 2014, Lembaga Wali Nanggroe Aceh membangun konsilidasi dan dialog aspirasi dengan para Ulama dan Cendikiawan Islam Aceh, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memperkuat sinergisitas dalam usaha memelihara nilai-nilai peradaban Islam Aceh agar terus terpelihara dan berkembang.
Di samping itu, untuk meningkatkan peran lembaga adat Kemukiman di Aceh, Lembaga Wali Nanggroe juga telah melakukan penguatan kapasitas (capacity building) Imum Mukim se-Aceh sebanyak 550 Imum Mukim dan akan terus dilakukan secara berkelanjutan. Dalam usaha mengkampanyekan dan mensosialisasikan pembangunan Aceh disegala lini.
Dalam kurun waktu 2015, Lembaga Wali Nanggroe Aceh telah banyak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, tidak hanya melakukan sosialisasi yang terus-menerus melalui media baik cetak maupun elektronik secara persuasif, tapi lebih dari itu, sudah meningkat kepada realisasi lahirnya produk-produk adat dan kebudayaan seperti adanya upaya perlindungan atas naskah kuno Aceh (manuscript) melalui usaha perekaman naskah.
Di samping itu, pemberian gelar dan penghargaan kepada semua komponen yang pernah memberikan kontribusi kepada pembangunan peradaban di Aceh. Upaya yang monumental dilakukan oleh Lembaga Wali Nanggroe Aceh dalam perjalanannya yang masih singkat adalah menerbitkan Kalender (Almanak) Aceh 1437 Hijriyah sebagai sebuah produk kebudayaan dan peradaban Aceh yang sudah lama dilupakan.
Selanjutnya, dukungan dan apresiasi juga diberikan kepada kelompok civil society yang telah melakukan upaya-upaya penyelamatan terhadap instrumen peradaban Aceh semisal Kongres Peradaban Aceh yang digelar beberapa waktu lalu.
Puncaknya, dalam rangka dua tahun pengukuhan Wali Nanggroe Aceh, perhelatan Anugerah Wali Nanggroe Aceh 2015 sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi kepada lembaga Adat Kemukiman, kelompok adat-budaya dan individu yang memiliki konsistensi tinggi dalam menjaga khazanah kebudayaan baru saja selesai digelar. Hal ini, eksistensi Lembaga Wali Nanggroe Aceh sebagai institusi yang memiliki ruang untuk mempersatukan komponen masyarakat Aceh yang beragam melalui kebudayaan mulai terbukti.
Kelahiran Lembaga Wali Nanggroe Aceh sebagai pemersatu masyarakat, khususnya masyarakat Aceh yang multikultural merupakan sesuatu yang ideal sebagai upaya check and balance, sehingga kehadiranya sebagai pilar securitif dalam ruang adat dan kebudayaan menjadi penyeimbang bagi tiga pilar lainnya; eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Hal ini, selaras dengan apa yang telah berlaku dalam sejarah Aceh jauh sebelumnya. Sebagaimana disampaikan oleh Paduka yang mulia dalam sebuah kesempatan, bahwa narit maja Aceh yang menyebutkan: Hukom ngon adat lagee dzat ngon sifeut menjadi indikator bahwa pelaksanaan pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari adat dan kebudayaan. Sehingga, hukum dan adat menjadi dimensi yang membentuk pola tata pemerintahan dan pemersatu masyarakat Aceh.
“Aceh memiliki semua rule model tersendiri, dalam hal tatanan pemerintahan, sosial adat dan budaya, dengan ritme yang berjalan beriringan seperti Kalender Islam Aceh yang sudah kita terbitkan minggu yang lalu, dan juga kita memiliki 13 bahasa Ibu, yang mulai hilang dalam keseharian masyarakat kita akibat arus globalisasi dan informasi yang terbuka,” ujar Malik Mahmud.
Peradaban Aceh ke depan
Dalam berbagai kesempatan lain, Paduka yang mulia juga mengungkapkan bahwa kegemilangan peradaban Aceh tempo doeloe seyogyanya menjadi spirit dalam membangun Aceh sekarang dan masa yang akan datang. Hal ini kiranya menjadi inspirasi, visi, tujuan dan sasaran pembangunan Aceh dengan implementasinya yang berkreativitas tinggi dan inovatif berbasis teknologi serta berkearifan budaya yang bernilai luhur islami.
Aceh ke depan membutuhkan klaster atau taman ilmu pengetahuan dan teknologi yang terpadu (science park), berupa museum yang representatif sekaligus menjadi pusat kajian peradaban Aceh, serta menjadi pusat kajian perdamaian dan tugu perdamaian Aceh yang berdampingan dengan komplek Meuligou/Istana Wali Nanggroe. “Gagasan ini sejalan dengan program pemerintah pusat yang sedang mendorong lahirnya pusat-pusat kajian (science park/techno park) yang pengelolaannya melibatkan pemerintah, akademisi, masyarakat dan pihak swasta,” kata Malik Mahmud.
Pemilihan lokasi yang berdampingan dengan komplek Meuligou/Istana Wali Nanggroe, tambah Paduka yang mulia Malik Mahmud, dimaksudkan untuk mendukung komplek Meuligou/Istana Wali Nanggroe --yang saat ini sedang dalam tahap penyelesaian-menjadi pusat kegiatan peradaban Aceh sebagaimana amanat Pasal 48 ayat (5) huruf b Qanun Aceh No.19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh Tahun 2013-2033, bahwa kawasan Istana Wali Nanggroe sebagai pusat kegiatan peradaban Aceh.