Ini Dia Penggugat Qanun Bendera dan Lambang Aceh
Mereka mengajukan permohonan pengujian norma hukum yaitu pasal ayat 1-7 dan Pasal 17 ayat 1-4 Qanun Bendera dan Lambang Aceh
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Fatimah
Laporan Zainal Arifin | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Tiga warga Aceh melayangkan gugatan terhadap Qanun No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Ketiga warga ini memberikan kuasa hukum kepada Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), mengajukan permohonan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh.
Ketiganya adalah, Fachrurrazi (31) warga Banda Aceh, Hamdani (25) warga Kabupaten Nagan Raya, dan Yudhistira Maulana (27) warga Aceh Timur..
Mereka mengajukan permohonan pengujian norma hukum yaitu pasal ayat 1-7 dan Pasal 17 ayat 1-4 Qanun Bendera dan Lambang Aceh karena bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Direktur YARA, Safaruddin SH yang mendampingi ketiga kliennya kepada Serambinews.com, Kamis (1/9/2016) menyebutkan, permohonan judicial review terkait Pasal 4 dan Pasal 17 itu sudah disampaikan kepada MA melalui PN Banda Aceh, Selasa (30/8). (VIDEO Abdullah Saleh Lilitkan Bendera ke Leher Hamid Zain)
“Termohonnya adalah Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Kita gugat karena Qanun Bendera dan Lambang Aceh itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah,” ujar Safaruddin.
Safar mengatakan, selama ini terjadi berbagai gerakan penolakan terhadap qanun tersebut, karena tidak sesuai dengan kehendak mayoritas masyarakat Aceh.
“Masyarakat Aceh menginginkan agar bendera dan lambang daerah Aceh disesuaikan dengan berbagai entitas budaya, keberagaman daerah dan keislaman,” kata dia.
Ketiga orang tersebut kemudian mengatakan bahwa mereka termasuk yang dirugikan atas pemberlakukan qanun tersebut, karena mengabaikan aspirasi masyarakat, termasuk mereka.
“Kami ingin qanun yang telah disahkan oleh Pemerintah Aceh agar diubah dan disesuaikan dengan entitas budaya, sejarah, dan nilai nilai Islam yang dianut di Aceh,” kata Fachrurrazi, satu dari tiga penggugat.
Safaruddin menambahkan, qanun tersebut juga telah menjadi polemik politik antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat, sehingga berpotensi meningkatkan ketegangan politik di Aceh.
“Kami juga melihat gelagat Pemerintah Republik Indonesia yang merasa dan mencurigai bahwa akan ada gerakan perlawanan seperti yang pernah dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka dahulu. Akibatnya, di Aceh terjadi ketegangan politik dengan TNI dan Polri yang tetap akan melarang dan menurunkan bendera dan lambang yang disahkan oleh Pemerintah Aceh dalam Qanun tersebut,” kata Safar.(*)