Menyingkap Fenomena Anak Stunting di Aceh

Bagaimana pun pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar kasus anak stunting dan gizi buruk atau kurang gizi di Aceh dapat ditekan sekecil mungkin

Penulis: Muslim Arsani | Editor: Amirullah
TRIBUNNEWS.COM
Ilustrasi 

JULIANA sudah enam tahun menderita gizi buruk dan lumpuh. Ia hanya dapat berbaring di tempat tidur di rumahnya tanpa dapat berbicara. Pada akhir Juli 2016 lalu, kedua orang tuanya Hasan (38) dan Sambimah (35) membawanya ke Rumah Sakit Cut Nyak Dhien Meulaboh.

“Selama ini hanya berobat di kampung. Sebelumnya pernah dibawa ke rumah sakit beberapa tahun silam. Karena ketiadaan biaya sehingga kami hanya berobat di kampung saja,” kata Hasan, warga Buket Meugajah, Kecamatan Woyla Timur, Aceh Barat. Selama dalam masa pengobatan di kampung kondisi kesehatan Juliana tak membaik. Malah tubuhnya semakin kurus tak berdaya.

Hasan menuturkan Juliana lahir dari persalinan normal. Pada usia dua tahun ia tumbuh dengan kondisi yang sehat. Namun setelah dua tahun Hasan mulai merasakan ada sesuatu terjadi pada diri Julina. Bocah perempuan itu berlahan berubah seperti tidak dapat berbicara dengan kondisi badan makin kurus dan tidak dapat duduk dengan sempurna.

Belakangan diketahui Juliana menderita gizi buruk dan harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit.

“Dari analisis dokter anak, diperoleh diagnosa bahwa pasien gizi buruk karena tidak seimbang dengan berat. Sebelumnya ketika dibawa ke rumah sakit hanya 13,5 kg, padahal yang normal dengan usia anak 8 tahun itu beratnya 25 kg,” kata Direktur RS Cut Nyak Dhien dr Akbar SpPD.

Beberapa hari kemudian, Juliana dirujuk ke RSUD dr Zainal Abidin, Banda Aceh untuk mendapat perawatan lebih intensif. Kasus Juliana yang menderita gizi buruk bukan satu-satunya yang terjadi di Aceh, tetapi merupakan “secuil” penderitaan yang telah dialami dan dirasakan ratusan anak dan balita lainnya.

Berdasarkan catatan Yayasan Anak Bangsa (YAB) Aceh, kasus gizi buruk di Aceh memiliki daftar panjang dan kelam. Pada September 2012, seorang bayi di Kutacane, Arif Maulana berusia sembilan bulan dari keluarga miskin asal Desa Tanjung Baru, Kecamatan Darul Hasanah, Aceh Tenggara, meninggal dunia di RSUD Sahuddin Kutacane akibat gizi buruk.

Di Pidie Jaya, pada Desember 2012 dua balita bernama Hermasyah asal Gampong Dayah Tumanah, Kecamatan Trienggadeng dan Nilawati asal Gampong Paru Keude, Kecamatan Bandar Baru, juga meninggal karena mengalami hal yang sama yakni gizi buruk.

Di Simeulue, sejak Januari hingga November 2012 YAB mencatat 17 balita mengalami gizi buruk. Padahal pada tahun sebelumnya (2011), hanya 12 balita yang mengalami gizi buruk.

Mengkhawatirkan

Menurut data dari 22 kabupaten/kota (minus Aceh Tenggara) yang dirilis Dinas Kesehatan Provinsi Aceh pada 2015 tercatat 209 anak menderita gizi buruk dan 16.425 anak menderita kurang gizi. Sedangkan data per Oktober 2016 jumlah anak yang menderita gizi buruk di Aceh mencapai 193 orang.

”Jumlah ini baru yang terdeteksi karena dilaporkan. Belum lagi kasus lama (tahun lalu) dan kasus yang tidak dilaporkan," kata Kepala Seksi Kesehatan Ibu Anak dan Gizi Dinkes Provinsi Aceh Erlinda Wati SKM MPH kepada Serambinews.com, Senin (3/10/2016)

Fenomena gizi buruk di Aceh dinilai sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan karena dapat mengancam kelangsungan generasi mendatang. Tidak hanya itu anak-anak yang menderita gizi buruk dan gizi kurang juga dapat berpengaruh pada perkembangan tubuh dan otak anak.

"Anak akan mengalami stunting. Kondisi stunting adalah fase kekurangan gizi kronis hingga berlanjut sampai ia dewasa kelak," sebut Erlinda.

Sepertiga anak stunting

Berdasarkan data Survei Kesehatan Dasar (Surkesdas)Kemenkes RI tahun 2013 menyebutkan 9,2 juta dari 24,5 juta anak di bawah lima tahun mengalami stunting (37%). Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

Stunting ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Dengan kata lain, stunting merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan pada anak.

"Terutama pada masa seribu hari kehamilan atau biasa disebut goldenage dimana anak-anak yang mengalami stunting tidak mendapat asupan gizi yang baik," ujar Elinda. Stunting mempengaruhi kemampuan daya saing, kecerdasan, produktivitas, dan rendahnya kemampuan motorik anak.

"Ini terjadi karena perkembangan otak yang tidak sempurna karena faktor kekurangan asupan gizi pada awal kehamilan hingga dua tahun pertumbuhan anak," sebut Elinda.

Data Dinas Kesehatan Aceh terhadap Tinggi Badan per Usia (TB/U) berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015 di 23 kabupaten/kota di Aceh terdapat  2.487 atau 36 persen anak Aceh berstatus stunting terdiri atas 1.074 anak memiliki ukuran tubuh sangat pendek dan 1.413 memiliki ukuran tubuh pendek. Angka ini lebih tinggi dari target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) di angka 26 persen.

"Dengan kata lain angka stunting di Aceh masih tinggi. Dapat dikatakan satu dari tiga anak Aceh mengalami stunting atau sepertiga anak Aceh masih tergolong pendek," ujarnya.

Pola makan dan asupan

Penanganan stunting merupakan salah satu kunci penting dalam pencapaian MDGs. Pemerintah Indonesia telah menetapkan upaya penurunan angka stunting melalui RPJM 2013-2017.

Keberadaan anak-anak stunting di Aceh menjadi satu kekhawatiran tersendiri karena jumlahnya yang signifikan mencapai 41 persen merujuk pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Aceh 2013. Jumlah ini melampaui angka rata-rata nasional 37,2 persen.

Tak dapat dipungkiri ada banyak faktor yang menyebabkan fenomena ini terjadi. Berdasarkan hasil penelitian Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Timur pada 2011 menyebutkan fenomena stunting di Aceh atau lebih dikenal dengan balita pendek sangat erat kaitannya dengan pola hidup wanita saat kehamilan terjadi, termasuk pola makan dan asupan gizi.

Studi itu mengungkapkan mayoritas ibu hamil melakukan kunjungan ANC (konsultasi kehamilan) rata-rata antara 4-7 kali selama hamil. Namun ada di antara mereka tidak melakukan kunjungan ANC karena tidak mendapat izin dari suami, tidak tahu harus ke mana dan kesulitan transportasi dan biaya.

Penelitian tersebut juga mengungkapkan mayoritas ibu selama hamil makan tiga kali sehari. Tiga jenis bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi (dikonsumsi >70% ibu) adalah makanan pokok (beras, jagung, dll.), ikan/telur dan sayuran hijau. Namun yang jarang dikonsumsi ibu hamil (dikonsumsi <10% ibu) adalah daging, hati, unggas dan buah-buahan berwarna merah/kuning.

Persepsi keliru

Sebanyak 82.5% ibu menerima tablet besi namun jumlah yang diminum rata-rata 40 tablet selama kehamilan. Alasannya karena anemia dan memiliki efek samping (mual). Padahal pada masa kehamilan tablet penambah darah dinilai sangat penting untuk dikonsumsi saat seorang ibu sedang hamil.

Selain itu, studi yang dilakukan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI tersebut juga menyebutkan masih sedikit ibu hamil yang sadar akan pentingnya memberi kolostrum kepada bayi setelah melahirkan.

Padahal kolostrum atau cairan susu yang dihasilkan oleh kelenjar susu dalam waktu 24-36 jam setelah melahirkan, berwarna kuning dan kental, sangat penting untuk diberikan kepada bayi sebagai antibodi dan asupan yang paling kaya zat gizi.

Kolostrum juga berguna untuk meningkatkan metabolisme tubuh, memperbaiki sistem DNA dan RNA, merangsang pertumbuhan hormon (HGH), mengandung mineral, anti-oksidan, enzim, asam amino, vitamin A, B12, dan E. Selain itu juga berfungsi memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan jaringan tubuh.

Tapi banyak masyarakat memiliki persepsi keliru, kolostrum justru dibuang.

"Air susu ibu atau ASI saat awal melahirkan adalah amat penting bagi bayi, karenanya ASI eksklusif harus diberikan kepada bayi selama enam bulan ditambah dengan makanan pendamping ASI setelah enam bulan berikutnya," kata Penanggung Jawab Gizi Dinkes Aceh Yusniwati SKM M Kes.

Lintas sektoral

Dinas Kesehatan Provinsi Aceh berupaya keras menekan jumlah kasus anak stunting di Aceh akibat dampak dari gizi buruk dan kurang gizi.

Salah salah satu upaya Pemerintah Aceh yaitu dengan menerapkan program Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dan  Gerakan Maysarakat Hidup Sehat (GERMAS). Pemerintah Aceh didukung anggaran APBN mengucurkan Rp 2 miliar untuk menjalankan program tersebut di 10 kabupaten/kota.

Program ini difokuskan pada pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil, balita serta membuka warung sehat. Menurut Yusniwati persoalan anak stunting dan gizi buruk di Aceh sangat kompleks karena berkaitan banyak hal. Mulai dari tingkat kemiskinan, penyediaan pangan, lapangan kerja, pola asuh maupun kesadaran kolektif lembaga terkait.

Misalkan bicara kemiskinan, ini sudah menjadi kewenangan instansi lain misalkan Badan Pemberdayaan Masyarakat, atau bicara soal penyediaan pangan juga harus begitu," ungkapnya.

Bagaimana pun pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar kasus anak stunting dan gizi buruk atau kurang gizi di Aceh dapat ditekan sekecil mungkin. Jangan sampai fenomena gunung es ini membawa dampak buruk bagi penurunan tingkat kesehatan generasi mendatang.

"Solusinya, harus ada keterlibatan lintas sektoral, tidak bisa Dinas Kesehatan saja yang di depan," ujarnya. (Anshari Hasyim)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved