4 Perempuan Aceh Ini Meraih Penghargaan Internasional, Begini Kisah dan Perjuangan Mereka
Kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh empat ratu. Di era modern, Aceh juga banyak melahirkan para perempuan gigih.
Penulis: AnsariHasyim | Editor: Safriadi Syahbuddin
Aya kemudian mendirikan LSM Flower Aceh.
Di bawah lembaga itu ia memperjuangkan hak-hak wanita Aceh dengan mengumpulkan dan mencatat data kekerasan terhadap perempuan korban kekerasan fisik dan seksual selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, dan memberdayakan mereka secara ekonomi.
Pada tsunami 2004 lembaganya mengelola Pusat Krisis Wanita.
(Baca: Wanita-wanita Rohingya Dihantui Aksi Perkosaan oleh Militer Myanmar)
Atas kerja keras dan perjuangannya itu, pada Oktober 2012, Suraiya menerima penghargaan N-PEACE pada acara anugerah perdamaian yang didukung oleh Badan PBB, United Nation Development Progamme (UNDP) di Manila, Filipina.
Penghargaan ini diberikan untuk perannya membela korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Aceh.
Suraiya juga pernah mendapatkan Penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2001 atas jasanya membela hak-hak asasi manusia dan memberdayakan wanita.
3. Farwiza Farhan
Pegiat lingkungan Aceh ini menerima penghargaan Whitley Award 2016 pada April 2016 dari badan amal konservasi Inggris, Whitley, dalam upaya menggugat pemerintah dan dewan perwakilan daerah serta Kementerian Dalam Negeri terkait perlindungan ekosistem Leuser.
Farwiza juga dipilih sebagai penerima penghargaan atas aksinya mewujudkan Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) yang meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh.
Penyelenggara Whitley Award menyatakan penghargaan untuk Farwiza juga karena perjuangannya menjaga dan menjamin ekosistem Leuser di Sumatra tetap dijaga bagi generasi-generasi berikutnya.

Melalui proyek pemberdayaan masyarakat di bidang pelestarian lingkungan dan advokasi, Farwiza berupaya memberdayakan komunitas lokal untuk memiliki suara dalam menentukan masa depan mereka dan melindungi margasatwa.
Perempuan kelahiran 1986 ini juga mendirikan Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang kemudian menjadi wadahnya berkiprah melestarikan dan menjaga keanekaragaman hayati Lauser.
4. Fitriani Ismail
Pegiat sosial dari Alue Jamok, Lhokseumawe, ini menerima penghargaan The Internasional Alliance For Woman (TIAW) di Washington DC, Amerika Serikat pada Oktober 2012.