Loyang Sekam, Tempat Persembunyian Sultan Aceh di Tanah Gayo
Gelap dan lantainya berlapis kotoran kelelawar. Berada di sebuah bukit pada ketinggian sekitar 70 meter
Gua itu sunyi. Gelap dan lantainya berlapis kotoran kelelawar. Berada di sebuah bukit pada ketinggian sekitar 70 meter. Mulut gua dicapai melalui tanjakan setapak dan semak belukar.
Gua itu berada di Kampung Gunung Suku, Rawe, Kecamatan Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. Lebih kurang 15 Km selatan Kota Takengon, Ibukota Aceh Tengah. Bersisian langsung dengan Danau Laut Tawar, atau sekitar 2 Km dari bibir danau.
Masyarakat menyebut gua itu Loyang Sekam. Loyang dalam bahasa Gayo berarti gua atau gunung yang berlubang. Sekam, adalah sisa atau ampas kotoran kelelawar yang memenuhi lantai gua. Sesekali masyarakat mengambil kotoran hewan malam itu untuk pupuk.
Gua Loyang Sekam menyimpan catatan sejarah yang selalu dikenang masyarakat Gunung Suku Rawe. Karena di gua itulah, Muhammad Daud Sjah, sultan Aceh terakhir, berdiam selama dalam pelarian dari kejaran Belanda.
Kepala Dusun Gunung Suku Rawe, M. Syarif Aman Mas menyebutkan lebih setahun Sultan Daud Sjah berada di sana, di bawah perlindungan dan pengawalan para panglima Gayo dan masyarakat.
Ruang dalam gua tampak luas. Lebar ruangan dalam gua sekitar 30 meter. M Sarif menunjuk salah satu sudut gua sebagai ruang tidur sultan.
Cerita yang didengar turun temurun, kata M Syarif Aman Mas, Sultan Daud Sjah diselamatkan di sana untuk menghindari kejaran Belanda, setelah jatuhnya Benteng Batee Ilie, Samalanga.
Penulis MH. Gayo dalam “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda,” (PN. Balai Pustaka, 1983), menjelaskan soal ini lebih rinci. Sultan Aceh diselamatkan ke Tanah Gayo pada 1901-1903, sebelum kemudian sang sultan ditangkap di Pidie dan diasingkan ke Pulau Jawa. Sultan Daud Sjah meninggal di pengasaingan dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Rawamangan, Jakarta Timur.
M Syarif Aman Mas bersama Ketua Rakyat Genap Mupakat, Gunung Suku, Hambali mengiringi perjalanan menjejaki gua tersebut dengan berjalan kaki. Kendaraan hanya bisa mencapai kaki bukit.
Pada beberapa tanjakan, Hambali memperlihatkan tanaman kopi yang tumbuh liar, dengan ranting-ratingnya yang menjulur panjang. “Ini kopi Gayo yang hidup liar. Mungkin dibawa oleh hewan musang atau luwak, lalu bijinya tumbuh begitu saja,” komentar Hambali.
Di dusun Gunung Suku Rawe, lahan kopi tidak terlalu luas. Sekitar 10 hektar. Ada juga kebun tembakau, milik M Syarif. Luasnya 1,5 hektar. Dusun tersebut dihuni sekitar 100 kepala keluarga. Masyarakat setempat selain berkebun dan sawah, juga nelayan danau. Banyak warga Gunung Suku bermukim di luar daerah.
Saat mencapai mulut gua Loyang Sekam, M.Syarif Aman Mas lalu menjelaskan riwayat gua tersebut dengan bersemangat. Ia mempersilakakan masuk dalam gua yang gelap dan pegab. “Kita tak bawa senter, lupa,” kata M Syarif yang juga imam masjid kampung Gunung Suku.sumber penerangan diambil dari senter telepon seluler. Kata M Syarif dan Hambali, kelak harus ada fasilitas listrik masuk dalam loyang.
Jalan menuju Loyang Sekam yang melintasi Kampung Gunung Suku dinamai Jalan Daulat Acih. Dalam bahasa Gayo, Aceh disebut “Acih.”
Ikut serta dalam rombongan mengunjungi Loyang Sekam Pak Melky, pejabat dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), serta musisi Yoppi Smong. Pak Melky dan Yoppi berada di kampung itu dalam rangka menghadiri Festival Jazz Panen Kopi Gayo. Juga hadir Dr.Moon Cahyani, pejabat Kemenko PMK. Tapi tak ikut menjejak Loyang Sekam.
“Ini bisa dikembangkan sebagai tempat wisata sejarah, tentu saja setelah dilakukan penataan di sana sini,” kata Pak Melky yang berasal dari Kupang Nusa Tenggara Timur. Ia berjanji akan mengkimuniksikan kebutuhan fasilitas itu dalam rekor di Kementerian PMK yang merencakan kegiatan “Gayo Alas Mountain International Festival.”
M Syarif Aman Mas menceritakan, selama Sultan Daud Sjah berada di kampung itu, ia membangun sebuah masjid kecil berkonstruksi kayu. Masyarakat menyebutnya “Masjid Tue” atau masjid lama. Terletak di tepi jalan raya dan bersebelahan dengan masjid baru. M Syarif mengatakan, “Masjid Tue” atau Masjid Sultan masih difungsikan sebagai tempat pengajian kaum ibu. “Kalau dijadikan tempat shalat, tidak muat lagi. Terlalu kecil,” katanya.
Selama Sultan Daud Sjah berada di sana, cerita M Syarif, banyak terjadi peristiwa “ganjil” antara lain ternak itik masyarakat bertelur banyak sekali, panen padi juga melimpah. Sultan saat tiba dan kemudian pergi dari Gunung Suku, membawa kuda berwarna putih dan kambing juga putih.
Penulis MH Gayo mencatat, sebelum tiba di Gunung Suku Rawe, Sultan Aceh terlebih dahulu singgah dan menetap di Kampung Beruksah. Saat tiba di Rawe, Sultan Daud Sjah disambut oleh kejurun-kejurun Linge, Bukit, Siah Utama, Cik Bebesen, para penghulu dan pang-pang (panglima - panglima). Mereka mempersiapkan pengawalan sultan menghindari sergapan Belanda.
Pasukan Ekspedisi Van Daleen sudah berada di Takengon pada 1901. Ketika itu Van Daleen masih berangkat mayor. Pada 5 Oktober 1901 pasukan Van Daleen membakar habis kampung Kebanyakan. MH. Gayo menulis, peristiwa pembakaran itu hanya menyisakan masjid, “mersah” (bahasa Gayo: mushalla) dan beberapa rumah. Selebihnya musnah. Tak lama, Van Daleen pulang ke pangkalan di Aceh Utara.
Selama di tempat persembunyian di Loyang Sekam, Sultan Daud Sjah juga menerima tamu dari pembesar-pembesar Gayo Lues, antar lain Reje Pinang, Reje Geleng, Reje Bukit, Kute Lintang, Tema, Tampang, Kemaladerna, Seneren. Mereka menyakinkan sultan akan tetap melindungi sultan.
Peristiwa kedatangan raja-raja dari Gayo Lues ini terjadi pada Desember 1901. Selama berada di Gayo, Sultan Daud Sjah mendapat pengawalan ketat ulubalang Ranta, Teungku M Sabil, Reje Kader, Aman Kerkom dan lain-lain.
Dari Gunung Suku Rawe, Sultan Daud Sjah pindah ke Lenang, Isaq Linge. Pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Kapten Colijin mencium jejak sultan di Lenang dan menyerbu kampung itu.
Dalam pertempuran itulah, Teungku M Sabil tewas bersama-sama dengan sepuluh pengawal lainnya. Mereka dikebumikan di Lenang. Sultan sendiri berhasil diselamatkan ke Isaq selanjutnya menuju Kampung Lumut. Rencana ke Gayo Lues batal, sebaliknya sultan dan rombongan meneruskan perjalanan ke Pamar atau “Pameu” dalam bahasa Aceh, untuk seterusnya menuju Pidie. Tapi di Peudeu, rombongan sultan diserang Belanda. Reje Kader tewas di penyerangan itu. Ulubalang Ranta berhasil lolos dan kembali ke Takengon. Peristiwa tertangkapnya sultan ini terjadi pada 1903.
Kepala Dusun Gunung Suku, Rawe, M. Syarif Aman Mas dan Ketua Rakyat Genap Mupakat Hambali, mengharapkan perhatian pemerintah membangun beberapa fasilitas guna memudahkan kunjungan ke Loyang Sekam. “Selain menikmati alam Danau Laut Tawar, masyarakat juga mengenang perjalanan bersejarah Sultan Aceh di bawah perlindungan orang Gayo, serta mengunjungi Loyang Sekam, tempat persembunyian sultan,” kata Hambali.(fikar w eda)