Opini

Leuser yang Tergadaikan

BERBICARA tentang Leuser, sepertinya tidak pernah ada habisnya. Dari zaman prakemerdekaan, Leuser sudah menjadi

Editor: bakri
Mongabay Indonesia / Junaidi Hanafiah
Hutan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Tamiang. 

Oleh Azanuddin Kurnia

BERBICARA tentang Leuser, sepertinya tidak pernah ada habisnya. Dari zaman prakemerdekaan, Leuser sudah menjadi pembicaraan, bukan saja pada level masyarakat tetapi juga sampai kepada para petinggi dan raja-raja yang berada di sekitar Leuser. Menurut Mudhahar (1991), upaya perlindungan dan pelestarian Leuser sudah dimulai sejak 1928 oleh tokoh-tokoh masyarakat Aceh Tenggara dan Aceh Selatan.

Upaya tersebut tercantum dalam “Deklarasi Tapaktuan” yang ditandatangani pada 6 Februari 1934. Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa kawasan pegunungan sebelah kawasan Alas dipandang sebagai kawasan konservasi. Menyusul berikutnya pada tahun yang sama, pemerintah kolonial Belanda di Batavia (sekarang; Jakarta) menetapkannya dalam Surat Keputusan No.317/35.

Sejarah panjang tentang Leuser terus bergulir yang dalam perkembangannya saat ini telah mengalami banyak perubahan, terutama pascakeluarnya Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal 150 Ayat (1) menyebutkan “Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari”. Setelah itu, banyak terjadi dan muncul berbagai aturan yang berkaitan dengan KEL, satu di antaranya adalah PP No.26 Tahun 2008 tentang RTRWN, dan pada lampiran KEL masuk sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).

KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara Nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Tetapi kemudian pada Qanun Aceh No.19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh, tidak muncul nama KEL secara jelas, tapi pada Pergub Aceh No.5 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemanfaatan Kawasan Budidaya di dalam KEL muncul kembali. Peraturan terakhir adalah pada Qanun Aceh No.7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh mengamanatkan bahwa Kawasan Hutan dalam KEL dikelola dengan status dan fungsi pokoknya.

Bukan hal mudah
KEL dengan luas sekitar 2,6 juta ha, yang sebagian besar atau sekitar 2.255.577 ha masuk dalam wilayah provinsi Aceh. Dengan luasnya yang hampir 40-45% dari luas daratan Aceh itu, tentu bukanlah hal yang mudah mengelola KEL dengan berbagai macam aktivitas yang terdapat di dalamnya. Untuk itu penulis mengusulkan: Pertama, harmonisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan KEL. Penegasan terhadap kewenangan pengelolaan KEL oleh Pemerintah Aceh sampai saat ini dirasa belum final. Banyak yang masih menjadi perdebatan, contohnya di dalam KEL jaga ada kawasan konservasi yang saat ini masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Selain itu, Pasal 150 ayat (4) yang mengharuskan pemerintah menyediakan anggaran, sarana, dan prasarana dalam pengelolaan KEL juga masih belum memadai, bahkan perlu dipertanyakan terhadap komitmen tersebut. Di sisi lain, juga perlu dipertanyakan, apakah Pemerintah Aceh memiliki kemampuan untuk mengelola KEL yang juga di dalamnya ada kawasan konservasi, seperti TNGL salah satunya? Apakah Aceh memiliki kemampuan anggaran untuk menjaga satu warisan dunia tersebut?

Kedua, kelembagaan pengelolaan KEL. Satu rekomendasi dari hasil diskusi tentang KEL di Hotel Muruya pada 21 Februari 2018 lalu adalah perlunya dilakukan kajian terhadap ide kelembagaan yang akan mengelola KEL. Kajian dibutuhkan untuk tidak salah langkah dan sekadar membentuk lembaga seperti Pergub No.52 Tahun 2006 tentang BP KEL yang sudah dicabut. Pengelolaan KEL saat ini dilakukan sesuai dengan fungsi pokoknya. Pengelolaan tingkat tapak saat ini dikelola oleh KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) baik dalam KEL maupun di luar KEL.

Saya menyarankan untuk bahan kajian, bila nantinya ada lembaga yang dibentuk untuk mengelola KEL, selain yang resmi sudah ada seperti Dinas LHK provinsi dan kabupaten/kota, Distanbun provinsi dan kabupaten/kota, berbagai UPT Pusat dari Kementerian LHK, dan berbagai NGO, LSM, masyarakat adat dan komponen lainnya, maka jangan mengambil tupoksi yang sudah ada. Kuatkan saja lembaga yang sudah ada dengan sedikit tugas tambahan untuk memperjelas dalam pengelolaan KEL. Kalau tetap dipaksakan dengan tupoksi yang sama, maka pilihan radikalnya adalah tutup saja lembaga yang sudah ada. Hal ini tentunya bukan pilihan yang bijak dalam pengelolaan KEL.

Lembaga yang akan mengurusi KEL sebaiknya hanya yang bersifat strategis, guna membantu Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dalam hal: (1) Melakukan perdagangan karbon (carbon trade). Lembaga ini bisa melobi negara-negara maju untuk membayar oksigen (O2) yang telah dilepaskan hutan Aceh ke udara bebas. Hasil carbon trade bisa menjadi tambahan modal dalam pengelolaan hutan secara lestari: (2) Mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi Aceh antara pembangunan vs pelestarian. Lembaga ini mungkin bisa menganti pembangunan jalan dengan kereta api gantung (bisa sambil wisata) atau terowongan di daerah-daerah yang melewati kawasan lindung atau konservasi. Juga mengatasi konflik manusia dengan satwa;

(3) Mendorong dan memfasilitasi pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan penataan batas seluruh kawasan hutan di KEL; (4) Melakukan penguatan mukim, pawang gle, dan panglima uteun dalam mendorong pengamanan dan pelestarian hutan yang berbasis masyarakat. Bisa juga melakukan kontrak kerja terhadap tokoh-tokoh pemuda ataupun berbagai pihak yang mau menjadi petugas pengaman hutan dalam memberantas illegal logging; (5) Menfasilitasi penelitian-penelitian strategis yang bisa menemukan hal-hal baru dari sumberdaya hayati hutan Aceh, baik untuk energi, pangan, pengobatan, kosmetik, dan lain-lain; dan (6) Mencari pendanaan diluar APBA dan APBK. Lembaga ini nantinya mampu menarik anggaran dari APBN dan lembaga donor internasional untuk pelestarian dan pemanfaatan Leuser.

Ketiga, pengelolaan KEL berdasarkan fungsi hutannya. Apapun pilihannya dalam pengelolaan KEL, sudah seharusnya KEL itu dikelola berdasarkan fungsi pokoknya. Jangan pada APL pun dilarang karena masuk dalam KEL. Perlu ada perhatian, bahwa tidak semua KEL itu harus diproteksi kaku, bagaimana manusia mau hidup bila semua wilayah KEL tidak dibolehkan dikelola. KEL tetap boleh dikelola sejauh semua ini sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Acuan salah satunya adalah tata ruang yang sudah diputuskan dimanan kawasan lindung dan dimana kawasan budidaya, walaupun RTRWA masih dipertanyakan karena menghilangkan kata KEL. Struktur ruang dalam KEL harus juga berdasakan fakta di lapangan, bukan hanya berdasarkan idealisme. Bila tidak ketemu antara fakta lapangan dengan idealisme pengelolaan hutan, cari benang merahnya.

Keempat, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan KEL. Sering terlupakan bahwa pengelolaan hutan selama ini tanpa melibatkan masyarakat. Masyarakat merasa dipinggirkan dari banyaknya kebijakan pemerintah. Pengelolaan hutan Negara beberapa tahun belakangan ini sudah memberikan angin segar kepada masyarakat, tinggal masyarakat bagaimana mau mengambil dan merebut peluang tersebut.

Berbagai aturan
Berbagai aturan, seperti Perpres No.88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, Permen LHK No.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, Permen LHK No.85 Tahun 2015 tentang Hutan Hak, Permen LHK No.81 Tahun 2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan berbagai aturan lainnya bisa menjadi satu pintu masuk masyarakat dalam pengelolaan hutan dalam hutan Negara dengan tetap pada prinsip kelesatarian dan pembangunan berkelanjutan.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved