Luar Negeri
Kata-kata Terakhir Razan Al-Najjar: 'Aku Malu Jika Tidak Berada di Garis Depan untuk Bangsaku'
Kesedihan dan air mata yang medalam adalah hal yang kini dialami oleh kelompok medis Palestina dan keluarga Nazan al-Najjar.
SERAMBINEWS.COM - Kesedihan dan air mata yang medalam adalah hal yang kini dialami oleh kelompok medis Palestina dan keluarga Nazan al-Najjar.
Terlalu lelah untuk mengucurkan air mata lagi, ketika sang ibunda Sabren al-Najjar mengenang bagimana putrinya hidup, sebagi pejuang tanpa senjata.
Razan al-Najjar adalah satu di antara beberapa anggota medis Plestina yang menjadi korban penembakan oleh kelompok bersenjata Israel pada, Jumat (1/6/2018).
Najar tertembak ketika dirinya tengah bertugas dalam aksi demonstrasi yang dipenuhi warga Palestina sejak 30 Maret lalu.
Di tempat protes di Khuza'a, saksi mengatakan bahwa Razan mendekati pagar pada hari Jumat dengan rompi medisnya dan dengan kedua lengannya terangkat untuk menunjukkan kepada tentara Israel, yang berada 100 meter jauhnya, bahwa dia tidak menimbulkan ancaman.
Niatnya adalah untuk mengevakuasi seorang pengunjuk rasa yang terluka yang berbaring di sisi lain pagar.
Namun, Razan justru ditembak di dadanya dengan peluru tajam, satu peluru menembus lubang di bagian belakang rompi.
Dia menjadi orang Palestina ke-119 yang dibunuh oleh pasukan Israel sejak protes tersebut mulai untuk menyerukan hak Palestina untuk kembali ke rumah dari mana mereka diusir sejak tahun 1948, dilaporkan lebih dari 13.000 orang lainnya telah terluka.
Baca: Kecelakaan Maut! Ditabrak Mio, Warga Pidie Terjatuh ke Badan Jalan Lalu Tubuhnya Digilas L-300
Baca: Marah Shalawatan Dikira Karaoke dan Ancam Rusak Mushala, Bule Ini Akhirnya Minta Maaf
Dalam sebuah kesaksian Rida Najjar yang juga seorang relawan medis, mengaku dia berdiri di samping Razan pasca terjadi penembakan.
"Ketika kami memasuki pagar untuk mengevakuasi para pengunjuk rasa, Israel menembakkan gas air mata ke arah kami," kata pria 29 tahun, melalui Al Jazeera
"Kemudian seorang sniper menembakkan satu tembakan, yang langsung mengenai Razan, Fragmen peluru juga melukai tiga anggota lain dari tim kami.
"Razan pada mulanya tidak menyadari dia telah ditembak, tetapi kemudian dia mulai menangis, 'Punggungku, punggungku!' dan kemudian dia jatuh ke tanah.
"Itu sangat jelas dari seragam kami, rompi kami dan tas medis, siapa kami," tambahnya.
"Tidak ada pemrotes lain di sekitar, hanya kami." tutupnya.
Sebelum menjadi korban penembakan Razan sempat mengungkapkan apa yang kini dirasakannya sebagai anggota medis.
Menurutnya hal itu adalah tugas dan tanggung jawabnya untuk hadir dalam proses dan membantu korban yang terluka.
"Tentara Israel berniat untuk menembak sebanyak yang mereka bisa," katanya pada saat itu.
"Ini gila dan aku akan malu jika aku tidak ada di sana untuk bangsaku." tambahnya melansir dari New York Times.
Penargetan terhadap anggota paramedis nampaknya juga bukanlah kebetulan semata dalam kesaksian yang diungkapkan Kementrian Kesehatan Palestina mengatakan bahwa :
"satu tim paramedis mengenakan jas medis putih berusaha untuk mengevakuasi yang terluka".
"Tim paramedis mengangkat tangan mereka, menekankan bahwa mereka tidak menimbulkan bahaya bagi pasukan bersenjata," kata kementerian kesehatan.
"Segera, pasukan dari pendudukan Israel menembakkan peluru hidup, memukul Razan Najjar di dada, dan melukai beberapa paramedis lainnya."
Baca: Dayah Mahyal Ulum Sibreh Gelar Pasar Murah di Kampung Berseri
Baca: Nasib Petugas Kebersihan yang Dipecat Bupati Diputuskan Hari Ini, Puluhan Wanita Datangi DPRK Nagan

Mohammed al-Hissi, direktur tim medis darurat Bulan Sabit Merah, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka mencoba mengobati Razan segera setelah dia ditembak sebelum akhirnya dia dipindahkan ke Rumah Sakit Eropa di Khan Younis.
"Penargetan Razan bukan pelanggaran pertama dalam pekerjaan kami sebagai tenaga medis di lapangan, dan itu mungkin tidak akan menjadi yang terakhir," katanya.
"Ini adalah kejahatan perang terhadap pekerja kesehatan dan pelanggaran Konvensi Jenewa Keempat yang memberi petugas medis hak untuk menawarkan bantuan mereka pada masa perang dan perdamaian."
Juru bicara kementerian, Ashraf al-Qidra, menambahkan bahwa lebih dari 100 pemrotes terluka pada hari Jumat, termasuk 40 dengan amunisi hidup, yang lain menderita cedera terkait gas air mata.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 238 petugas kesehatan dan 38 ambulans telah menjadi sasaran pasukan Israel sejak dimulainya gerakan Bulan Maret Agung.
Baca: Polisi Sita 3 Senjata Api dan Ratusan Amunisi Usai Kontak Tembak dengan Pengedar Sabu di Lhokseumawe
Baca: Viral Foto Tentara Wanita Israel Tembak Mati Razan Al-Najjar, Ternyata Ini Klarifikasi Rebecca
Razan Al Najjar Dikenal sebagai Perawat Pemberani
Kematian Razan Al Najjar, seorang perawat medis asal Palestina yang ditembak mati pasukan Isreal saat bertugas pada Jumat (1/6/2018) masih meninggalkan duka bagi orangtua dan kerabatnya.
Ribuan orang menghadiri pemakaman Razan pada Sabtu (2/6/2018). Bagi orangtuanya, dia merupakan anak perempuan kesayangan yang berani.
Namun, dia justru tewas beberapa ratus meter dari rumahnya di Khan Younis. Wilayah Khan Younis berada di dekat pagar perbatasan yang memisahkan Gaza dari Israel.
Dilansir dari CNN, Minggu (3/6/2018), seluruh jalanan dan tiang lampu di sana dipenuhi foto Razan yang tersenyum, menunjukkan duka masih menyelimuti penduduk sekitar dan keluarga yang ditinggalkan.
Ayah Razan, Ashraf Al Najjar, mengatakan seluruh keluarga yang tinggal di rumah kecil itu masih tidak percaya perempuan berusia 21 tahun tersebut telah tiada.
Ibu Razan, Sabreen, masih mengenakan busana hitam sambil memegang rompi medis milik putrinya yang bersimbah darah.
Dia mengatakan, Razan menjadi relawan sejak aksi protes telah dimulai.
"Saya khawatir terhadapnya, tapi Razan bilang dia tidak takut. Dia merasa harus membantu dan dia jelas mengenakan rompi medis," ucapnya.
"Dia mungkin kecil, tapi dia kuat, dan satu-satunya senjata dia hanya rompi medis," imbuhnya.
Ada satu kalimat dari Razan yang begitu menyentuh hati keduanya ketika mereka harus melepaskan putrinya ke medan.
"Saya terlindungi oleh rompi. Tuhan bersama saya, saya tidak takut," kata Razan kepada orangtuanya.
Razan merupakan petugas medis kedua yang tewas selama aksi protes warga Palestina terhadap Israel selama beberapa pekan terakhir.
Sementara, lebih dari 200 petugas medis lainnya mengalami luka. Di Kota Gaza yang terik, kelompok relawan medis berkumpul di kantor PBB pada Minggu (3/6/2018), memprotes aksi militer Israel yang menargetkan tenaga medis.
Namun, pasukan Israel menyangkal telah menargetkan pekerja medis.
Dalam aksi unjuk rasa kemarin, seorang rekan Razan, Rami Abu Jazzar, mengatakan Jumat lalu seperti hari biasanya.
Dia dan Razan, serta kelompok relawan lainnya merawat demonstran yang terluka.
Namun, pada hari itu, Razan tiba lebih awal.
"Ketika dia tiba pada Jumat, dia bilang ke teman-teman, 'Saya menyukai bekerja di sini bersama kalian'. Dia tersenyum sepanjang hari," katanya.
Sebelum ditembak, Razan juga sempat melihat keberadaan penembak jitu dan memperingatkan rekan lainnya untuk berhati-hati.
Bulan lalu, The New York Times mewawancarai Razan di Gaza.
Dia merupakan satu-satunya petugas medis perempuan yang bertugas dalam darurat medis selama aksi protes saat itu.
"Kami memiliki satu tujuan, yaitu untuk menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi orang," kata Razan. "Dan mengirim pesan ke dunia bahwa tanpa senjata, kita bisa melakukan apa saja," imbuhnya. (Kompas.com/Intisari Online)