BPRS Tahan Dana Bergulir Desa
Sekitar Rp 18,5 miliar dana bergulir (revolving) milik 90 gampong di Kota Banda Aceh masih tertahan di Bank
* Milik 90 Gampong di Kota Banda Aceh
BANDA ACEH - Sekitar Rp 18,5 miliar dana bergulir (revolving) milik 90 gampong di Kota Banda Aceh masih tertahan di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Baiturrahman meski masa penyimpanannya sudah berakhir sejak 2017. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mencairkan dana tersebut namun belum berhasil.
Sejauh ini belum diperoleh konfirmasi dari pihak BPRS Baiturrahman tentang penyebab masih tertahannya dana tersebut meski masa penyimpanan/pengelolaannya sudah berakhir sejak 2017.
Terkait dana tersebut, DPRK Banda Aceh sudah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Dana Revolving yang disahkan pada Senin, 24 September 2018. Tugas pansus antara lain menelusuri ihwal perjanjian penyimpanan dana hingga mencari solusi agar dana tersebut bisa segera dicairkan dan dimanfaatkan sesuai ketentuan.
Ketua Pansus Dana Revolving DPRK Banda Aceh, Zulfikar kepada Serambi, Kamis (4/10) mengatakan, dana revolving atau dana bergulir itu awalnya disisihkan dari dana gampong pada 2010 untuk dikelola oleh BPRS. Rinciannya berkisar antara Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per gampong.
“Jadi dana ini sudah dikelola oleh BPRS Baiturrahman sejak 2010 hingga 2017, tapi setelah perjanjian berakhir tetap belum bisa ditarik. Makanya DPRK membentuk pansus untuk itu,” ujar Zulfikar.
Dalam perjanjian awal, dana itu dikelola oleh BPRS Baiturrahman selama tujuh tahun dengan sistem bagi hasil. Pada Juli 2017 perjanjian pengelolaan dana berakhir, maka pihak gampong mulai mengupayakan agar dana itu dapat ditarik oleh masing-masing gampong. Mereka ingin menggunakan dana itu untuk pemberdayaan masyarakat.
Zulfikar memperkirakan, setelah dikelola selama tujuh tahun oleh BPRS Baiturrahman, jumlah dana terus bertambah karena gampong tidak pernah menarik keuntungan dari bagi hasil. Jika dikalkulasikan dengan keuntungannya, Zulfikar memperkirakan dana itu saat ini sudah berjumlah Rp 22 miliar hingga Rp 23 miliar.
Makanisme berbelit
Zulfikar mengungkapkan, upaya penarikan dana itu terkendala karena mekanisme pencairannya sangat berbelit. Pada Februari 2018 BPRS Baiturrahman pernah menyurati Pemko Banda Aceh selaku pihak yang menyerahkan dana kepada mereka. Dalam surat itu BPRS Baiturrahman meminta dana dikembalikan dengan sistem cicilan yaitu dari 2018 hingga 2024.
Masih menurut Zulfikar, pihak gampong sudah beberapa kali menemui pejabat Pemko Banda Aceh maupun DPRK meminta solusi agar dana tersebut bisa dicairkan. Akhirnya pihak DPRK Banda Aceh membentuk pansus yang diketuai Zulfikar, Mahyidin Ali wakil ketua, Isnaini Husda sekretaris, dengan anggota masing-masing Royes Ruslan, M Nasir, Abdul Rafur, Tasrif, Iskandar Mahmud, dan Ismawardi.
Zulfikar menambahkan, bulan ini pansus mulai menyusun agenda kerja. Untuk tahap awal mereka akan memanggil orang yang terlibat saat dana disertakan ke BPRS Baiturrahman, mulai pejabat di Setdako Banda Aceh, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG), Badan Pengelolaan Keuangan, dan aparatur gampong yang menjabat pada tahun 2010.
Pansus juga menjadwalkan mengundang tim ahli untuk mendengarkan pandangan mereka terkait masalah tersebut. Kerja pansus ditargetkan selesai sebelum akhir Desember 2018 dengan memberikan rekomendasi untuk penyelesaian masalah dana revolving tersebut.
Untuk mengambil alih pengelolaan dana milik 90 gampong sebesar Rp 20,5 miliar lebih yang masih mengendap di BPRS Baiturrahman, Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) sudah melakukan upaya penarikan uang itu lewat surat kuasa.
Kepala DPMG Banda Aceh, Drs Dwi Putrasyah kepada Serambi, Kamis (4/10) mengatakan, untuk kelancaran proses tersebut, pemerintah gampong diajak untuk menandatangani surat yang mana kuasanya diberikan kepada Kepala DPMG Banda Aceh dan kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Banda Aceh.
“Hingga hari ini sudah 42 gampong yang menandatangani surat kuasa itu. Sedangkan 48 gampong lainnya masih dalam proses. Setelah ditandatangani semua, baru kami minta ke BPRS agar dana tersebut ditransfer ke rekening penampung khusus milik Pemko Banda Aceh,” ujar Dwi Putrasyah.
Dwi Putrasyah mengaku proses itu butuh waktu lama karena terkait kepercayaan untuk mengelola dana yang jumlahnya tidak sedikit. “Kami masih tetap jalan dan mengajak pemerintah gampong untuk menarik dana itu. Namun bagi yang tidak mau juga tidak masalah. Karena sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat dan penafsiran,” jelasnya.
Dikatakannya, dana revolving memang milik gampong, tapi penggunaannya jelas diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwal). Pihaknya dan DPRK juga sepakat bahwa dana tersebut hanya bisa digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat gampong, seperti untuk modal usaha kecil di gampong. “Sekali pun nanti dikembalikan ke gampong, tetap harus ada lembaga yang mengelola (BUMG) dana ini,” kata Dwi.
Kepala DPMG Banda Aceh, Drs Dwi Putrasyah menjelaskan asal usul dana revolving milik 90 gampong di Kota Banda Aceh. Dulu, dana revolving atau dana bergulir itu berasal dari Alokasi Dana Gampong (ADG) dari Pemko Banda Aceh. “Karena pada tahun 2010 itu belum ada dana desa yang bersumber dari pusat,” ujarnya.
Dikatakannya, dana yang diterima gampong saat itu cukup kecil, sekitar Rp 100-an juta per tahun. Sebesar 30 persen dana tersebut diperuntukkan bagi operasional gampong (beli ATK, listrik, air). “Lalu 50 persen dari sisa 70 persen (Rp 70 juta) dimasukkan ke BPRS untuk pemberdayaan ekonomi. Ini yang namanya revolving setahu saya,” kata Dwi.
Dwi membantah informasi yang menyebutkan dana milik satu gampong ada yang sudah mencapai Rp 800 juta. “Itu tidak benar, saya pantau laporan yang dikirim tiap bulan oleh BPRS Baiturrahman. Hingga saat ini besaran dana setiap gampong berbeda, yang paling rendah Rp 175 juta dan paling tinggi Rp 230-an juta,” jelasnya dengan menyebutkan laporan itu juga dikirim kepada pemerintah gampong.
Dijelaskan, dana revolving di BPRS Baiturrahman terbagi dalam dua rekening, yakni simpanan pokok dan simpanan jasa. “Setahu saya, total ada 20,5 miliar lebih, yang terdiri atas Rp 18,5 miliar lebih simpanan pokok, dan Rp 2 miliar lebih simpanan jasa,” sebut Dwi.
Menurut Kepala DPMG Banda Aceh, walaupun dana yang besar tersebut belum bisa dimanfaatkan, tetapi setidaknya tidak hilang. “Dananya ada, laporannya dikirim ke saya tiap bulan oleh BPRS Baiturrahman. Kami ingin tarik supaya ke depan gampang yang mengurusnya. Pemko Banda Aceh dengan pemerintah gampong ini ibarat orang tua dengan anak. Kami ingin setiap gampong berdaya,” pungkasnya.(mun/fit)