Transfer Dana Otsus Kembali ke Kab/Kota
KEINGINAN Bupati dan Wali Kota, serta DPRK se-Aceh agar jatah 40 persen dana Otonomi Khusus (Otsus) dikelola kembali oleh kabupaten/kota

Effendi menyebutkan, banyak perubahan yang terjadi dalam perubahan ketiga Qanun Otsus. Antara lain, penganggaran pelaksanaan proyek yang didasarkan Pergub nomor 81 harus senilai Rp 500 juta ke atas, tetapi di dalam perubahan qanun yang baru ini ada hal yang dikecualikan.
Antara lain untuk pelaksanaan program pengembangan dayah, pembangunan prasarana dan sarana rumah ibadah, pelaksanaan program pembangunan rumah dhuafa, pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan pengangguran.
“Pengecualian itu kita lakukan sesuai dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di Aceh, yaitu Syariat Islam. Dari mana kita harus mencari sumber dana untuk pelaksanaan program syariat Islam itu kalau bukan dari dana otsus?” tegas Ketua Komisi II DPRA ini.
Jika mengharapkan dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 85 persen, Effendi menyebut bahwa dana tersebut sudah habis untuk gaji pegawai dan operasional kantor. Dari PAD/PAA sebagian besar juga sudah digunakan untuk kegiatan operasional rumah sakit dan biaya pembayaran honor pegawai dan honor guru SMA/SMK non-PNS, dan lainnya.
Pihaknya berharap, dengan adanya kewajiban mengalokasikan sebesar 5 persen ini, program syariat Islam bisa berjalan maksimal. Sedangkan untuk kelanjutan perdamaian Aceh, tetap dialokasikan tetapi disesuaikan dengan usulan program dan ketersediaan anggaran.
“Program pelaksanaan syariat Islam jangan diartikan sempit. Misalnya bagun gedung dayah, masjid, menasah dan pelaksanaan hukum cambuk dan lainnya. Tapi dalam arti luas, yaitu peningkatan sumber daya manusia santri, pelaksanaan program hapal Alquran, pemberdayaan ekonomi syariah bagi santri dan masyarakat Aceh, dan pendidikan kertampilan bagi santri, masyarakat dan lainnya. Ini sangat penting dan strategis dilaksanakan di bumi Iskandar Muda yang pemerintahannya menjalankan syariat Islam,” pungkas Effendi.
Pengambilan pengelolaan dana otonomi khusus sebesar 40 persen kepada kabupaten/kota, tidak hanya untuk membagi kesejahteraan kepada daerah, tetapi juga untuk membagi beban Pemerintah Aceh ke daerah.
Ketua Komisi IV Bidang Infrastruktur, Tgk Ramli Anwar, mengatakan, DPRA bersedia melakukan perubahan ketiga Qanun Nomor 2 tahun 2006 atau Qanun Otsus itu didasari fakta dan data di lapangan yang kini sedang terjadi.
Pada tahun anggaran 2018, ungkap Anwar Ramli, Pemerintah Aceh mengelola sepenuhnya dana otsus atas dasar perubahan kedua Qanun Otsus. “Apa yang terjadi di lapangan? Ratusan paket dana otsus banyak yang tidak bisa dilaksanakan dengan berbagai alasan,” ujarnya.
Alasan itu, antara lain dokumen pendukung yang tidak lengkap sehingga proyek tak bisa di tender, lahan yang belum dibebaskan dan lainnya. Ditambah lagi pelaksanaan dana otsus itu melalui pergub (bukan qanun), sehingga masalahmenjadi kompleks.
“Pengalaman itu mendorong DPRA mempercepat pengesahan perubahan qanun Nomor 2 tahun 2006, mendahului pengesahan APBA 2019. Tujuannya untuk dijadikan dasar agar sebagian dana otsus itu pengelolaannya harus dikembalikan lagi ke kabupaten/kota, agar beban pekerjaan SKPA menjadi lebih ringan, sehingga pada akhir tahun tidak terjadi sisa anggaran yang cukup besar,” jelas Anwar Ramli.
Konsep dari pembangunan prorakyat itu, dia katakan, adalah membangun berdasarkan kebutuhan rakyat dan ketersediaan anggaran. Untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di Aceh yang masih besar sekitar 15,50 persen dan pengangguran tujuh persen, banyak hal yang bisa dilakukan gubernur dan bupati/walikota di Aceh. Tetapi semuanya harus patuh pada aturan. Misalnya tentang kewajiban mengalokasikan dana pendidikan 20 persen, kesehatan 10 persen, pelaksanaan syariat Islam 5 persen, dan infrastruktur/belanja modal sekitar 28-30 persen, maka apa yang menjadi cita-cita agar aceh hebat, sejahtera, adil dan makmur serta bermartabat, akan bisa terwujud.
“Tapi semuanya harus fokus pada program kerja yang sudah dibuat untuk lima tahun, bukan program kerja dadakan dan keinginan gubernur, bupati dan wali kota,” pungkas Anwar Ramli.
Misalnya untuk peningkatan produksi padi, bangun irigasi yang memberikan dampak luas bagi peningkatan pendapatan petani, cetak sawah baru, beli mesin peralatan pertanian. Selanjutnya, revitalisasi areal tambak nelayan, perikanan tambak dan darat, perkebunan rakyat, kawasan peternakan, pasar dan lainnya.
Dengan demikian, sambung Anwar, perekonomian di pedesaan kembali hidup dan bergerak. Sehingga pada waktu Aceh tidak lagi menerima dana otsus yang besar pada tahun 2023 dan stop pada tahun 2028, kegiatan usaha prekonomian rakyat di pedesaan sudah hidup dan berjalan. Kondisi itu bisa membuat jumlah penduduk miskin dan pengangguran menurun signifikan.
“Tugas Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota nanti tinggal membinanya saja. Program itu harus dimulai dari sekarang sebelum terlambat,” demikian Anwar Ramli.(*)