Transfer Dana Otsus Kembali ke Kab/Kota

KEINGINAN Bupati dan Wali Kota, serta DPRK se-Aceh agar jatah 40 persen dana Otonomi Khusus (Otsus) dikelola kembali oleh kabupaten/kota

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Transfer Dana Otsus Kembali ke Kab/Kota
IST
KETUA Baleg DPRA Tgk Abdullah Saleh sedang menyerahkan penjelasan Raqan Himne kepada Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah didampingi Wakil Ketua I DPRA Sulaiman Abda, pada acara sidang sidang paripurna 2 raqan digedung DPRA, Selasa (13/11).

* Diparipurnakan Pukul 02.00 Dini Hari

KEINGINAN Bupati dan Wali Kota, serta DPRK se-Aceh agar jatah 40 persen dana Otonomi Khusus (Otsus) dikelola kembali oleh kabupaten/kota akhirnya terkabulkan.

Seluruh fraksi di DPRA dalam sidang paripurna Rabu (14/11) pukul 02.00 dini hari, menyetujui perubahan ketiga Rancangan Qanun Nomor 2 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.

Selain Qanun Otsus, dalam sidang paripurna yang berlangsung di Gedung Utama DPRA tersebut, seluruh Fraksi di DPRA juga menyetujui rancangan Qanun Hymne Aceh menjadi qanun Aceh.

“Dari kedua rancangan qanun yang diparipurnakan itu, Perubahan Qanun Otsus merupakan yang paling alot pembahasannya dan sangat menguras pikiran,” ungkap Plt Ketua DPRA, Sulaiman Abda, di ruang kerjanya, Rabu (14/11).

Sulaiman Abda menceritakan, dalam sidang itu ada tujuh fraksi yang menyampaikan pendapat akhir. Ketujuh fraksi menyatakan setuju kedua qanun disahkan menjadi qanun Aceh. Tapi khusus untuk perubahan ketiga qanun otsus, meski semua fraksi setuju, tapi persetujuan dengan catatan khusus, yang harus diambil kesepakatan kembali dalam rapat Bamus Dewan.

Fraksi Partai Aceh misalnya. Dalam pendapat akhinya yang disampaikan Ketua Fraksi, Iskandar Usman Al-Farlaky, menyatakan setuju. Tetapi formula pembagian dananya sebesar 40 persen didasari jumlah penduduk, 30 persen luas wilayah, 20 persen Indek Pembangnan Manusia (IPM), dan 10 persen didasari Indek Kemahalan Konstruksi (IKK).

Sedangkan Fraksi NasDem, dimana dalam pendapat akhir yang disampaikan Yunardi Natsir, menyampaikan dua alternatif. Alternatif pertama sama seperti yang disampaikan Fraksi PA, sedangkan alternatif kedua sama seperti usulan sebelumnya, yaitu 50 persen yang didasari jumlah penduduk, 20 persen luas wilayah, 20 persen didasari IPM dan 10 persen didasari IKK.

“Fraksi lainnya juga menyampaikan hal yang hampir serupa. Ada yang setuju seperti Fraksi PA dan ada yang setuju dengan Fraksi NasDem. Tetapi perbedaan usulan itu semuanya bagus. Semuanya menginginkan pembagian dana otsus untuk jatah kabupaten/kota berdasarkan rasa keadilan, proporsional dan profesional. Tujuannya, antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak terjadi perbedaan angka yang besar, agar semua daerah mendapat porsi yang hampir sama,” terang Sulaiman Abda.

Selain itu, masih ada satu hal penting lainnya yang disampaikan jubir Fraksi PPP, Zaini Bakri, yakni soal isi Peraturan Gubernur (Pergub) 81, yang mengharuskan pengalokasian anggaran dana otsus harus untuk pembiayaan proyek Rp 500 juta ke atas. Menurutnya, itu perlu ditinjau ulang melalui penambahan pasal dalam perubahan ketiga qanun otsus.

Misalnya untuk hal-hal tertentu, antara lain untuk pembiayaan pelaksanaan syariat Islam, program pendidikan dayah, prasarana rumah ibadah dan pelaksanaan program rumah dhuafa, pemberdayaan ekonomi untuk pengurangan jumlah penduduk kemiskinan dan pengangguran, itu dikecualikan.

“Usulan Fraksi PPP itu direspons dalam rapat Bamus Dewan, dengan maksud karena Aceh merupakan daerah istimewa dalam pendidikan dan daerah khusus, serta pemerintahannya dijalankan berdasarkan syariat Islam,” ujar Sulaiman Abda.

Pemerintah kabupaten/kota, dengan diterimanya kembali transfer dana otsus, diwajibkan untuk mengalokasikan sebesar 5 persen dari yang diterima untuk pembiayaan pelaksanaan program syariat Islam di daerahnya masing-masing.

“Ini wajib dan kita tulis dalam perubahan ketiga Qanun Nomor 2 tahun 2006,” tegas Ketua Komisi III Bidang Keuangan DPRA, Effendi, kepada wartawan dalam konfrensi pers, Rabu (14/11) di Gedung DPRA.

Kecuali itu, bupati dan wali kota, dalam penyusunan usulan program dan kegiatan pembangunan yang bersumber dari dana otsus, juga harus berkoordisi atau diketahui oleh pihak DPRK. Hal ini dianggap penting agar usulan pokok-pokok pikiran anggota dewan dimasukkan ke dalam program dan kegiatan prioritas tahunan daerahnya.

Effendi menyebutkan, banyak perubahan yang terjadi dalam perubahan ketiga Qanun Otsus. Antara lain, penganggaran pelaksanaan proyek yang didasarkan Pergub nomor 81 harus senilai Rp 500 juta ke atas, tetapi di dalam perubahan qanun yang baru ini ada hal yang dikecualikan.

Antara lain untuk pelaksanaan program pengembangan dayah, pembangunan prasarana dan sarana rumah ibadah, pelaksanaan program pembangunan rumah dhuafa, pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan pengangguran.

“Pengecualian itu kita lakukan sesuai dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di Aceh, yaitu Syariat Islam. Dari mana kita harus mencari sumber dana untuk pelaksanaan program syariat Islam itu kalau bukan dari dana otsus?” tegas Ketua Komisi II DPRA ini.

Jika mengharapkan dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 85 persen, Effendi menyebut bahwa dana tersebut sudah habis untuk gaji pegawai dan operasional kantor. Dari PAD/PAA sebagian besar juga sudah digunakan untuk kegiatan operasional rumah sakit dan biaya pembayaran honor pegawai dan honor guru SMA/SMK non-PNS, dan lainnya.

Pihaknya berharap, dengan adanya kewajiban mengalokasikan sebesar 5 persen ini, program syariat Islam bisa berjalan maksimal. Sedangkan untuk kelanjutan perdamaian Aceh, tetap dialokasikan tetapi disesuaikan dengan usulan program dan ketersediaan anggaran.

“Program pelaksanaan syariat Islam jangan diartikan sempit. Misalnya bagun gedung dayah, masjid, menasah dan pelaksanaan hukum cambuk dan lainnya. Tapi dalam arti luas, yaitu peningkatan sumber daya manusia santri, pelaksanaan program hapal Alquran, pemberdayaan ekonomi syariah bagi santri dan masyarakat Aceh, dan pendidikan kertampilan bagi santri, masyarakat dan lainnya. Ini sangat penting dan strategis dilaksanakan di bumi Iskandar Muda yang pemerintahannya menjalankan syariat Islam,” pungkas Effendi.

Pengambilan pengelolaan dana otonomi khusus sebesar 40 persen kepada kabupaten/kota, tidak hanya untuk membagi kesejahteraan kepada daerah, tetapi juga untuk membagi beban Pemerintah Aceh ke daerah.

Ketua Komisi IV Bidang Infrastruktur, Tgk Ramli Anwar, mengatakan, DPRA bersedia melakukan perubahan ketiga Qanun Nomor 2 tahun 2006 atau Qanun Otsus itu didasari fakta dan data di lapangan yang kini sedang terjadi.

Pada tahun anggaran 2018, ungkap Anwar Ramli, Pemerintah Aceh mengelola sepenuhnya dana otsus atas dasar perubahan kedua Qanun Otsus. “Apa yang terjadi di lapangan? Ratusan paket dana otsus banyak yang tidak bisa dilaksanakan dengan berbagai alasan,” ujarnya.

Alasan itu, antara lain dokumen pendukung yang tidak lengkap sehingga proyek tak bisa di tender, lahan yang belum dibebaskan dan lainnya. Ditambah lagi pelaksanaan dana otsus itu melalui pergub (bukan qanun), sehingga masalahmenjadi kompleks.

“Pengalaman itu mendorong DPRA mempercepat pengesahan perubahan qanun Nomor 2 tahun 2006, mendahului pengesahan APBA 2019. Tujuannya untuk dijadikan dasar agar sebagian dana otsus itu pengelolaannya harus dikembalikan lagi ke kabupaten/kota, agar beban pekerjaan SKPA menjadi lebih ringan, sehingga pada akhir tahun tidak terjadi sisa anggaran yang cukup besar,” jelas Anwar Ramli.

Konsep dari pembangunan prorakyat itu, dia katakan, adalah membangun berdasarkan kebutuhan rakyat dan ketersediaan anggaran. Untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di Aceh yang masih besar sekitar 15,50 persen dan pengangguran tujuh persen, banyak hal yang bisa dilakukan gubernur dan bupati/walikota di Aceh. Tetapi semuanya harus patuh pada aturan. Misalnya tentang kewajiban mengalokasikan dana pendidikan 20 persen, kesehatan 10 persen, pelaksanaan syariat Islam 5 persen, dan infrastruktur/belanja modal sekitar 28-30 persen, maka apa yang menjadi cita-cita agar aceh hebat, sejahtera, adil dan makmur serta bermartabat, akan bisa terwujud.

“Tapi semuanya harus fokus pada program kerja yang sudah dibuat untuk lima tahun, bukan program kerja dadakan dan keinginan gubernur, bupati dan wali kota,” pungkas Anwar Ramli.

Misalnya untuk peningkatan produksi padi, bangun irigasi yang memberikan dampak luas bagi peningkatan pendapatan petani, cetak sawah baru, beli mesin peralatan pertanian. Selanjutnya, revitalisasi areal tambak nelayan, perikanan tambak dan darat, perkebunan rakyat, kawasan peternakan, pasar dan lainnya.

Dengan demikian, sambung Anwar, perekonomian di pedesaan kembali hidup dan bergerak. Sehingga pada waktu Aceh tidak lagi menerima dana otsus yang besar pada tahun 2023 dan stop pada tahun 2028, kegiatan usaha prekonomian rakyat di pedesaan sudah hidup dan berjalan. Kondisi itu bisa membuat jumlah penduduk miskin dan pengangguran menurun signifikan.

“Tugas Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota nanti tinggal membinanya saja. Program itu harus dimulai dari sekarang sebelum terlambat,” demikian Anwar Ramli.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA
KOMENTAR

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved