Korban Tindak Kriminal Tetap Ditanggung BPJS

Pasien korban tindak kriminal bernama Yusri (37), warga Gampong Panteriek, Kecamatan Luengbata, Banda Aceh

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Korban Tindak Kriminal Tetap Ditanggung BPJS
PURNAMA SETIA BUDI, Ketua PDIB Wilayah Aceh

* Pasien Diizinkan Pulang
* LSM Kritisi Perpres

BANDA ACEH - Pasien korban tindak kriminal bernama Yusri (37), warga Gampong Panteriek, Kecamatan Luengbata, Banda Aceh yang sempat tertunda kepulangan dari RSUZA karena pihak BPJS tidak memanggung biaya operasi, obat, dan perawatan akhirnya bebas dari kewajiban membayar yang mencapai Rp 17,8 juta.

“Kasus Yusri yang awalnya tidak ditanggung biaya operasi dan perawatan di RSUZA Banda Aceh oleh BPJS Kesehatan disikapi serius oleh kawan-kawan dari Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB). Kasus ini langsung kita bicarakan dengan BPJS Pusat, akhirnya turun keputusan pasien pulang tanpa harus membayar,” kata Ketua PDIB Wilayah Aceh, dr Purnama Setia Budi SpOG yang secara khusus menelepon Serambi, Rabu (12/12) menyampaikan hasil pembicaraan pihaknya dengan BPJS Kesehatan terkait kasus Yusri di RSUZA Banda Aceh, sebagaimana dilansir koran ini edisi Rabu (12/12).

Dikatakan Purnama, sejak mencuatnya kasus Yusri di RSUZA Banda Aceh, pihaknya langsung melaporkan kronologis kasus itu ke Humas BPJS Kesehatan Pusat.

Menurutnya, setelah berdiskusi panjang akhirnya pihak BPJS Kesehatan Pusat melalui humasnya menyampaikan kepada BPJS Aceh untuk tidak meminta pembayaran kepada pasien karena sudah jelas aturannya baik peraturan tentang jaminan kesehatan itu sendiri maupun peraturan lainnya termasuk peraturan tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Sepertinya ada pihak-pihak yang kaku membaca aturan sehingga terjadi persoalan dalam penerapannya. Kalau memang kesalahan itu terjadi di BPJS atau rumah sakit, kita apresiasi mereka menyadari kesalahan sehingga turun keputusan yang sudah sesuai aturan,” kata Purnama.

Sebelumnya Purnama mengatakan, rujukan yang diambil oleh BPJS Kesehatan yaitu Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang berbunyi; Pelananan Kesehatan yang tidak dijamin meliputi pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Namun, lanjut Purnama, meskipun ada ketentuan yang merupakam pengecualian terhadap pelayanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan, bukan berarti negara tidak menjamin pelayanan kesehatan pada salah satu pengecualian tersebut.

Di Indonesia, kata Purnama, ada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Dalam ketentuan itu termasuk di antaranya korban suatu tindak pidana dijamin oleh negara untuk mendapatkan jaminan kesehatan,” kata Purnama yang sebelumnya bersama rekan-rekan se-organisasinya mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Perdirjampelkes BPJS Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 yang dinilai sangat merugikan peserta, profesi dokter, dan bahkan rumah sakit. Akhirnya MA mengabulkan gugatan yang diajukan PDIB dengan membatalkan ketiga peraturan tersebut.

Mengenai kasus Yusri, langkah yang harus dilakukan, menurut Purnama adalah biaya pelayanan kesehatannya dilaporkan oleh pihak RSUZA kepada BPJS Kesehatan kemudian BPJS meneruskan laporan tersebut kepada LPSK untuk mendapatkan klaim pembayaran pelayanan kesehatan terhadap korban.

Dijelaskan Purnama, pada Mei 2015 antara LPSK dan BPJS Kesehatan sudah pernah membuat MoU. Artinya, BPJS juga tidak boleh meminta pembayaran kepada korban namun melakukan pengajuan klaim kepada LPSK dengan melampirkan salah satunya laporan polisi yang telah dibuat oleh keluarga korban.

Sudah pulang
Humas RSUZA Banda Aceh, Rahmadi yang dikonfirmasi Serambi, tadi malam membenarkan pasien Yusri (korban bacok) sudah diizinkan pulang tanpa kewajiban membayar sebagaimana dilaporkan sebelumnya mencapai Rp 17,8 juta.

Dimintai tanggapannya tentang pernyataan Ketua PDIB Wilayah Aceh bahwa pasien seperti kasus Yusri tidak harus membayar karena ada aturan yang memang mengamanatkan seperti itu, Rahmadi mengatakan, “ya, kami sudah duduk juga dengan pihak BPJS dan kita akan upayakan melakukan koordinasi dengan pihak LPSK. Berkas yang dibutuhkan oleh LPSK akan kami kirimkan.”

Dari keluarga pasien juga didapat informasi bahwa Yusri pulang tanpa harus membayar. “Terima kasih atas bantuan semua pihak, termasuk PDIB yang telah meluruskan persoalan ini sehingga tidak terulang lagi kasus serupa yang sangat merugikan masyarakat,” kata Munjir, adik korban pembacokan.

Kritisi Perpres
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Aceh angkat bicara terkait kasus yang menimpa Yusri, pasien luka bacok yang harus membayar biaya pengobatan dan perawatan senilai Rp 17,8 juta untuk RSUZA sesuai Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menyebutkan BPJS Kesehatan tidak menanggung biaya pengobatan korban tindak kriminal dan penganiayaan.

Koordinator Bidang Hukum dan Politik MaTA, Baihaqi mengatakan, Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan itu sangat merugikan masyarakat.

“Perpres itu jelas-jelas telah mendiskrimasi dalam pemanfaatan layanan kesehatan. Selain itu, klausul tersebut juga merugikan masyarakat banyak, baik iurannya yang dibayarkan oleh pemerintah maupun iuran yang dibayarkan mandiri oleh peserta jaminan kesehatan. Pemerintah Aceh harus memprotes aturan itu,” tandas Baihaqi.

Tanggapan juga disuarakan Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani. “Jika BPJS tidak menanggung biaya pengobatan dan perawatan korban pembacokan maka JKA adalah solusinya. Sebab JKA bukan bagian dari BPJS tapi adalah instrumen lokal yang berdiri sendiri,” kata Askhlani.

Menurut Askhalani, masyarakat Aceh atau orang sakit karena kriminal tetap sama derajatnya dengan masyarakat atau orang yang sakit normal. “Ini ada yang salah dengan kebijakan yang meminta bayar terhadap pasien tersebut. JKA itu adalah kebijakan deskresi pemerintah Aceh yang berbeda dengan kebijakan BPJS,” ungkapnya.

Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad mengatakan, kesehatan secara umum adalah hak asasi manusia, apalagi bagi mereka yang telah menjadi korban kekerasan, kriminal, dan kejahatan atau kekerasan seksual. Perpres itu menunjukkan bahwa pemerintah telah menjauh dan mengabaikan tujuan negara terhadap perlindungan rakyat sesuai konstitusi. “Presiden harus mencabut Perpres 82/2018 tersebut,” tandas Zulfikar.(nas/dan/mas)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved