10 Fakta Kematian Mantri Patra di Pedalaman Papua, Jatuh Sakit hingga Kehabisan Stok Obat & Makanan
Patra Marinna Jauhari, yang bertugas di daerah terpencil di Kampung Oya, Distrik Neikere, Papua Barat, meninggal dunia karena sakit.
SERAMBINEWS.COM - Seorang petugas kesehatan bernama Patra Marinna Jauhari, yang bertugas di daerah terpencil di Kampung Oya, Distrik Neikere, Papua Barat, meninggal dunia karena sakit.
Di balik kabar meninggalnya mantri Patra, sapaan akrabnya, terungkap kenyataan pahit.
Mantri Patra seharusnya sudah selesai tugasnya selama tiga bulan di Kampung Oya.
Namun, karena tak kunjung dijemput dengan helikopter selama kurang lebih satu bulan, Patra pun kehabisan stok makanan dan jatuh sakit hingga ajal menjemputnya.
Kasus tersebut pun segera menjadi sorotan banyak pihak.
Berikut ini fakta lengkap kasus kematian mantri Patra di pedalaman Papua:
1. Sosok penuh dedikasi untuk melayani warga pedalaman
Pada awal Februasi, Dinas Kesehatan Teluk Wondama menugaskan Patra untuk bertugas di Kampung Oya.
Rencananya, penugasan tersebut selama tiga bulan.
Ia adalah satu dari sekian tenaga kesehatan yang ditunjuk untuk memberikan pelayanan di daerah pedalaman.
Patra pun menyanggupinya tanpa banyak kata.
Setelah itu, Patra dan seorang rekannya diterbangkan menggunakan helikopter menuju Kampung Oya.
Selama bertugas, Patra dikenal sangat dekat dengan warga kampung.
Setiap sore, dirinya bergabung bersama warga untuk bernyanyi.
"Tiap sore dia pergi dengan anak-anak menyanyi-menyanyi," kata seorang warga Oya yang dikisahkan Kepala Puskesmas Naikere Tomas Waropen di Wasior, Minggu (24/6/2019).
2. Tiga hari berjalan kaki menuju Kampung Oya
Lokasi Kampung Oya pedalaman Papua Barat berada di perbatasan antara Teluk Wondama dan Kabupaten Kaiamana.
Untuk menuju ke kampung ini, hanya bisa dengan berjalan kaki selama kurang lebih tiga hari atau dengan menggunakan helikopter.
Perjalanan ke Kampung Oya pun harus menembus pegunungan dan hutan belantara.
Sarana komunikasi di kampung tersebut pun menjadi hal yang tidak mungkin tersedia.
3. Stok makanan dan obat-obatan habis, Patra jatuh sakit
Pada bulan Mei, Patra dan rekannya dijadwalkan selesai bertugas dan kembali ke Teluk Wondama.
Namun, hingga bulan Juni, helikopter penjemput tak kunjung datang.
Sementara itu, stok makanan dan obat-obatan yang dibawa sudah mulai menipis.
Rekan Patra akhirnya memilih untuk pulang terlebih dahulu ke Kota Wasior dengan berjalan kaki.
Sedangkan Patra memilih untuk bertahan di Kampung Oya.
Dalam kondisi tersebut, Patra pun masih melayani warga yang sakit.
Pemuda berusia 28 tahun itu pun akhirnya jatuh sakit.
Minimnya obat-obatan, membuat Patra bertahan sebisanya.
Salah satu warga pergi ke Puskesmas Neikere untuk mengabarkan kondisi Patra.
Namun entah kenapa, bantuan tak kunjung datang.
4. Mantri Patra meninggal dunia karena sakit
Setelah mencoba bertahan dari sakit yang dideritanya, mantri Patra akhirnya meninggal dunia pada tanggal 18 Juni 2019.
Tomas Waropen, Kepala Puskesmas Naikere, menyatakan nyawa Patra mungkin bisa tertolong jika pihak Dinas Kesehatan maupun instansi terkait lain cepat merespons laporannya terkait kondisi Patra dan meminta segera dikirim helikopter.
"Kami sudah rapat sampai tiga kali dengan Dinas Kesehatan, Kesra, dan Pak Sekda, tapi tetap tidak ada jalan. Sampai akhimya dia sudah meninggal, baru helikopter bisa naik," ujar Waropen.
5. Sosok pahlawan kemanusiaan bagi warga Kampung Oya
Bagi Waropen, Patra adalah pahlawan kemanusiaan. Patra rela mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan masyarakat di pedalaman Naikere tanpa banyak mengeluh dan menuntut.
"Patra adalah pahlawan bagi masyarakat di pedalaman Mairasi (nama suku di pedalaman Naikere). Sementara kami anak-anak negeri ini banyak yang jadi Yudas (murid yang mengkhianati Yesus)," kata Waropen.
Sementara itu, kabar meninggalnya Patra menjadi sorotan sejumlah tokoh. Salah satunya tokoh pemekaran Teluk Wondama, Hendrik Mambor.
Dirinya menyampaikan rasa duka mendalam atas kepergian almarhum.
"Mewakili Lembaga Masyarakat Adat Teluk Wondama dan seluruh pejuang pemekaran Kabupaten Teluk Wondama, kami hanya bisa mengucapkan penghargaan atas dedikasimu dan jerih lelahmu bagi masyarakat, khususnya masyarakat di pedalaman Udik Simo, Kampung Oya. Kami tidak mampu membalas jasa baikmu," tulis Mambor.
6. Curhat Mengharukan Mantri Patra sebelum ajal

Ternyata, sebelum ajal menjemput, dalam keadaan sakit, Mantri Patramenyempatkan diri menulis doa.
Doa yang dia tulis dengan tangan itu begitu getir, penuh harap, dan tentu saja sangat mengharukan.
Dalam doanya itu, dia menyinggung tentang pekerjaannya, tentang orang-orang yang dia temui, dan lain sebagainya.
Hal ini seperti dikutip GridHot.ID dari unggahan akun Twitter @jayapuraupdate pada 23 Juni 2019.
Dalam salah satu tulisan tangannya, Mantri Patra tetap berharap bisa mengabdi, mengobati masyarakat di sekitarnya, meski dirinya sendiri terbaring sakit keras.
"Baju Putih Kering Berkeringat
Inilah kalian, baju putih berkeringat yang dihiasi debu.
Meski tampak menjijikkan dengan pekerjaanmu saat kalian mendekati mereka
Hanya doa yang selalu kalian haturkan pada Tuhan di setiap gersang tanah hujan. Keringat kalian ada bagi mereka, untuk mereka.
Sambil sesekali merayu kepada Tuhan, kapan semua berakhir, namun tugas dan tanggung jawab berpihak pada kalian.
Dengan tingkah laku dan jiwa yang mencintai mereka, jiwa yang tidak berdosa, di tinggal sakit.
Kalian datang dengan harapan semua sehat.
Bandir pohon menjadi bantal bagi kalian.
Tanpa menghaturkan sepatah kata pun.
Kalian berjalan menembus rimba.
Tidak ada kata sungut di bibir.
Kalian tetap berharap baju putih adalah teman setia di mana keringat itu ada.
Biar semua orang menatap kalian, biar semua orang betah dengan kalian.
Kalian tahu asal kalian tinggi menjangkau langit tak pasti.
Tetapi di sela-sela doa terdengar...
Tuhan.. kami mau mereka rasa tangan kami.
Tuhan kami mau mereka rasa damai kerja kami, kami tak tuntut banyak.
Berikan kami kesehatan dan umur panjang biar bisa berkarya."
7. Alasan jenazah mantri Patra dimakamkan di Papua

Melihat kondisi jenazah sudah tidak memungkinkan untuk dikirim ke kampung halamannya, akhirnya Pemkab Wondama berkomunikasi dengan pihak keluarga agar pemakaman dilakukan di Wondama.
Proses pemakaman Patra dilakukan Senin (24/6/2019), diawali dengan pelepasan resmi pemerintah daerah, sekaligus pemberian penghargaan dan kenaikan Anumerta sesuai SK Bupati Teluk Wondama no.681/201//BUP-TW//VI/2019 tanggal 24 Juni 2019.
Sementara itu, Pemkab Wondama menanggung biaya perjalanan keluarga mantri Patra ke Wondama.
"Informasi tentang sakitnya Mantri Patra berasal dari masyarakat dan diterima kepala Puskesmas Naikere tanggal 18 Juni 2019. Informasi ini menyebutkan yang bersangkutan sakit selama satu minggu, bukan dua minggu," kata Bupati.
Diberitakan sebelumnya, Patra meninggal saat menjalankan tugas di daerah pedalaman Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.
8. Penjelasan Bupati terkait lamanya Patra dijemput dari lokasi penugasan
Bupati Teluk Wondama Bernadus mengatakan, setelah mendapatkan informasi Mantri Patra Marinna Jauhari sakit, pihaknya langsung mengupayakan untuk mendatangkan helikopter ke Kampung Oya, Distrik Naikere, Teluk Wondama untuk menjemut Patra.
Namun, helikopter yang biasa digunakan Pemkab Wondama saat itu tidak bisa digunakan.
"Sayangnya saat itu helikopter yang biasa digunakan Pemkab Wondama tidak bisa digunakan karena sudah terikat kontrak dengan pihak lain," ucap Bupati, dalam siaran resmi yang diterima Kompas.com, Selasa (25/6/2019).
Seperti diketahui, Patra diduga meninggal karena tidak mendapatkan perawatan medis setelah terserang Malaria.
Saat itu, Patra hanya bertahan dengan obat dan makanan seadanya karena bekal untuk tiga bulan selama penugasan telah habis.
9. Bupati kritik pemberitaan media terkait kasus mantri Patra
Bernadus Imburi menilai, pemberitaan tentang kematian mantri Patra cenderung tendensius dan tidak berimbang.
Imburi bahkan mengatakan, akibat pemberitaan tersebut, membuat citra buruk Pemda Wondama di mata masyarakat.
"Penugasan mantri Patra ke kampung Oya sebagai bagian dari upaya Pemkab Wondama memenuhi pelayanan kesehatan di Kampung Oya, termasuk Kampung Undurara dan Onyora, Distrik Naikere," ungkap Bupati, seperti dikutip dari rilis resmi yang diterima Kompas.com, Selasa (25/6/2019).
Imburi mengatakan, akses ke kampung Oya memang sulit karena harus menghabiskan waktu berjalan kaki 4-5 hari.
Salah satu tranportasi yang paling cepat dengan menggunakan helikopter.
10. Keluarga Patra harap jenazah dimakamkan di Luwu, Sulsel
Keluarga besar mantri Patra masih berharap agar jenazah bisa dipulangkan dan dikebumikan di kampung halamannya di Lorong 3, Desa Serity, Kecamatan Lamasi Timur, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
“Tolong dibantu agar jenazah adik kami bisa dipulangkan ke kampung halaman. Hanya itu kerinduan kami. Bagaimana pun kondisi jenazahnya tolong agar pemerintah mempertimbangkan harapan kami keluarga,” kata Haspaniati, saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (25/6/2019).
Seperti diketahui, Patra adalah anak bungsu dari enam bersaudara pasangan Amir Pana dan Sunarti Mangolo.
Hal tersebut diungkapkan kakak kandung Patra Marinna Jauhari, Haspaniati.
Baca: Akun Instagram Ustaz Abdul Somad Tiba-tiba Hilang, Apakah Diretas atau UAS Ganti Akun?
Baca: Lebih Tinggi Dibanding Gaji Menteri Indonesia, Perawat di Jepang Digaji 20 Juta per Bulan
Baca: Angkat Bicara soal Jabatan Menteri di Kabinet Jokowi, Mahfud MD: Itu Hak Presiden
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "5 Fakta Kematian Mantri Patra di Pedalaman Papua, Tak Kunjung Dapat Bantuan hingga Kehabisan Stok Obat dan Makanan"