PA dan PNA Bersatu di DPRA
Setelah sekian lama terbelah secara politik, dua partai lokal (parlok) yang menaungi eks kombatan GAM
* Dalam Koalisi Aceh Bermartabat Jilid II
BANDA ACEH - Setelah sekian lama terbelah secara politik, dua partai lokal (parlok) yang menaungi eks kombatan GAM, yakni Partai Aceh (PA) dan Partai Nanggroe Aceh (PNA), kini bersatu dalam satu koalisi di DPRA untuk periode 2019-2024. Kedua partai sepakat bersatu secara permanen dalam Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) jilid II hinga lima tahun ke depan.
Sebenarnya, ini bukanlah koalisi baru, koalisi ini digagas pertama sekali oleh PA pada akhir 2014 silam. Hanya saja, saat itu, PNA memilih berada di luar koalisi, sedangkan PA dan tujuh partai politik (parpol) lainnya bersama dalam satu koalisi, meski kemudian ada partai yang tidak sejalan karena afiliasi (hubungan/pertalian) politik saat Pilkada 2017.
Bergabungnya PNA dalam koalisi yang diketuai oleh Muzakir Manaf alias Mualem ini memang cukup mengejutkan. Pasalnya, PA dan PNA diakui tidak akur dan menjadi rival sejati setiap kontestasi politik di Aceh dalam 15 tahun terakhir, baik saat pilkada maupun pemilu serentak. Tak jarang, massa kedua partai ini berseteru di lapangan dan paling kentara justru terlihat pada Pilkada 2017 lalu.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA), Muzakir Manaf (Mualem) membenarkan bahwa PNA telah memantapkan diri bergabung dalam KAB jilid II. Bahkan, menurut Mualem, petinggi PNA, yakni Samsul Bahri alias Tiyong, Ketua Harian PNA hadir dalam dua kali rapat lintas parpol yang tergabung dalam KAB jilid II itu.
“Iya benar, mereka (PNA) juga masuk dalam koalisi kita ini. Dulu PNA tidak ada, tapi jinoe ka meusaboh ngon geutanyoe (Dulu PNA tidak ikut, tapi sekarang sudah bersatu dengan kita),” kata Mualem saat diwawancarai khusus oleh Serambi kemarin.
Lantas, apakah PA dan PNA akan akur untuk lima tahun ke depan? Karena selama ini tim di lapangan selalu besinggungan, dan apakah seluruh anggota PA dan PNA bisa menerima ini? Mualem tak menampik kemungkinan bakal ada gejolak di lapangan dengan bersatunya PA dan PNA.
“Ya pasti akan ada efeknya, tapi ini untuk kebersamaan kita dalam menjalankan roda pemerintah melalu fungsi pengawasan parlemen atau politik di DPRA. Soal di lapangan nanti kita akan duduk kembali,” kata Mualem.
Ia juga tak menampik bahwa fungsi KAB jilid II ini sebagai kontrol pemerintahan yang sedang berjalan saat ini. Pihaknya bermaksud untuk mengawal semua program yang telah dicanangkan oleh Irwandi-Nova saat kampanye dulu.
Lantas, bukannya PNA memang partai pengusung Irwandi-Nova, tapi kenapa justru bergabung dalam KAB jilid II?
“Ya itu kan dulu, sekarang kan sudah lain ceritanya, politik kan dinamis, beda-beda. Sekarang sudah lain lagi. Intinya kita akan bersama membangun Aceh dan mengawal pemerintahan,” kata Mualem yang sedari dulu memang sohib dengan Irwandi. Mereka bahkan pernah tinggal serumah di Lamnyong ketika pascatsunami Irwandi belum punya rumah.
Saat ditanya apakah KAB jilid II ini sebagai opisisi pemerintah? “Ya, lebih kurang begitulah,” tukas Mualem.
Tujuh partai
Ada tujuh parpol yang tergabung dalam KAB jilid II di DPRA ini. Empat di antaranya parnas, yaitu Partai Gerindra dengan total perolehan delapan kursi, PAN (enam kursi), PKS (enam kursi), dan PKPI (satu kursi). Sementara tiga lagi adalah partai lokal, yaitu PA (18 kursi), PNA (enam kursi), dan Partai SIRA (satu kursi). Jika ditotal, untuk saat ini, jumlah kursi partai yang tergabung dalam koalisi ini sebanyak 46 dari 81 kursi di DPRA.
Jika merujuk pada berita acara yang ditandatangani bersama, tujuan dibentuknya kembali koalisi ini untuk lima tahun ke depan, di antaranya, adalah untuk memperjuangkan dan menjaga keutuhan Aceh, memperjuangkan implementasi MoU Helsinki dan UUPA yang belum terealisasi, sepakat mengambil keputusan untuk pengisian jabatan publik baik eksekutif dan legislatif tingkat Aceh.
Salah satu poin yang disepakati adalah ketujuh partai ini akan sepakat dalam mengusung bersama calon gubenur dan wakil gubernur Aceh pada Pilkada 2022. “Kita ini untuk kesepahaman, kesepakatan, terutama untuk implementasi MoU. Kita bersama untuk membangun Aceh ke depan,” pungkas Mualem. (dan)
Bergabungnya Partai Nanggroe Aceh (PNA) dengan Partai Aceh (PA) dalam Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) jilid II di DPRA, sontak membawa ingatan kita kepada pernyataan Ketua Umum PNA, Irwandi Yusuf beberapa waktu lalu yang sangat menginginkan terbentuknya koalisi PNA bersama PA.
“Saya ingin membentuk koalisi dengan PA. Saya ingin partai lokal kuat,” kata Irwandi seperti diberitakan Serambi edisi Rabu, 11 Juli 2018 dengan judul berita “Mimpi Irwandi tentang Partai Lokal”. Saat itu Irwandi mengundang khusus Serambi ke ruang kerjanya di Kantor Gubernur Aceh untuk menyampaikan gagasan bernas itu.
Namun, belum sempat cita-cita itu diwujudkan, Irwandi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 3 Juli 2018. Dia tersandung kasus suap Dana Otonomi Khsusu Aceh (DOKA) 2018 bersama bupati nonaktif Bener Meriah, Ahmadi SE. Hingga kini, keduanya bertahan di balik jeruji untuk menjalankan hukuman.
Lantas, apa sebenarnya alasan PNA bergabung dalam satu koalisi dengan PA di DPRA? Benarkah hal itu dilakukan pengurus PNA untuk mewujudkan cita-cita Irwandi sebelumnya? Atau jangan-jangan PNA sebenarnya kecewa kepada Nova Iriansyah karena beberapa isu yang santer setelah Irwandi tak lagi menjabat sebagai pucuk pimpinan di Pemerintah Aceh?
Ketua Harian PNA, Samsul Bahri alias Tiyong yang diwawancarai Serambi kemarin, membantah tegas hal itu. Lalu dia membenarkan bahwa salah satu alasan PNA bergabung dengan PA dalam KAB jilid II adalah untuk mewujudkan cita-cita ketua umum mereka, Irwandi Yusuf.
“Bukan, tidak ada kaitan soal itu (kecewa), tapi ini banyak alasan lainnya, salah satunya adalah ini keinginan Pak Irwandi Yusuf. Ini kinginan beliau dan keinginan DPW PNA se-Aceh. Kami juga sudah menyampaikan hal ini ke beliau. Jadi, beliau yang gagas ini dulunya, kami tinggal menindaklanjuti,” kata Tiyong.
Dia tambahkan, kesepakatan bersama beberapa pimpinan parpol untuk membentuk KAB jilid II disambut positif oleh PNA. Tiyong mengatakan, PNA sendiri merupakan salah satu anggota KAB yang ikut hadir dalam forum pembentukan koalisi tersebut. “Saya hadir dalam pertermuan itu, termasuk Sekjen DPP PNA, Miswar Fuadi,” ujarnya.
PNA berharap, KAB dapat membangun kesamaan visi dalam menyikapi berbagai dinamika politik dan sosial yang terjadi di Aceh. KAB harus benar-benar jernih melihat persoalan yang berkembang dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dalam berbagai kebijakan politiknya.
“Lebih khusus kami berharap, KAB akan menjadi kekuatan politik yang solid dan berikhtiar dalam memperjuangkan revisi UUPA agar sesuai dengan butir-butir MoU Helsinki dan dapat direalisasikan secara keseluruhan,” kata Tiyong.
Kehadiran KAB juga diharapkan menjadi mitra strategis sekaligus kritis bagi Pemerintah Aceh di DPRA. KAB, menurutnya, harus mengawal berbagai agenda Pemerintah Aceh secara ketat, tapi konstruktif. “Berbagai program pembangunan yang diusulkan oleh Pemerintah Aceh harus berbasis pada kebutuhan rakyat yang berlandaskan kepada visi dan misi Gubernur Aceh yang sudah dituangkan dalam RPJMA, bukan keinginan para kepala SKPA,” ujarnya.
Dengan demikian, PNA meyakini kehadiran KAB di bawah pimpinan Mualem akan menjadi aktor utama dalam mengawal jalannya roda pemerintahan dan pembangunan di Aceh selama lima tahun ke depan. “Dengan ikhtiar semua pihak yang bergabung dalam koalisi, berbagai harapan tersebut akan dapat terpenuhi. Semoga harapan agar Aceh bermartabat dan Aceh hebat akan terwujud dengan dukungan dan partisipasi aktif seluruh rakyat Aceh,” demikian Tiyong.
Koalisi Aceh Bermartbat (KAB) yang sekarang digagas bukanlah koalisi baru di DPRA. Koalisi ini sudah mulai dibangun sejak akhir 2014 silam. Makanya, Ketua Koalisi KAB, Muzakir Manaf alias Mualem menyebut koalisi sekarang adalah KAB jilid II.
Saat itu, ada delapan dari 13 partai politik (parpol) peraih kursi di DPRA yang tergabung dalam KAB dan melakukan deklarasi di Hotel Hermes Palace pada 16 November 2014 malam. Ke delapan partai itu adalah PA, Partai Demokrat, PAN, Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PPP, dan Partai Nasdem.
Menariknya, dalam koalisi KAB jilid II yang baru digagas kembali ini, sejumlah partai yang dulu bergabung tidak disebut lagi bahkan tidak hadir dalam dua kali rapat sebelumnya. Mereka adalah NasDem, PPP, Golkar, dan Demokrat. Partai Demokrat sendiri memang sejak awal 2017 sudah tak begitu searah lagi dengan KAB, karena mereka mengusung calon sendiri pada Pilkada 2017, yakni Irwandi-Nova, sedangkan KAB mengusung Muzakir Manaf-TA Khalid.
Sekretaris DPD Partai Demokrat Aceh, Iqbal Farabi SH yang diwawancarai Serambi kemarin mengatakan, pihaknya saat ini tidak ingin ada kelompok-kelompok di DPRA. “Kami belum ingin ada kelompok-kelompok di DPRA. Kalau bisa kita semua solid bersatu menyelesaikan masalah-masalah berat di Aceh bersama-sama,” kata Iqbal.
Terkait koalisi yang sedang digodok oleh PA, PNA, dan sejumlah parnas, Iqbal merasa belum pantas berbicara koalisi saat ini. “Belum pas momentum untuk bicara koalisi karena kami masih menunggu hasil final MK dan menunggu arah rekonsiliasi Nasional. Sudah cukup terbelah karena pemilu, sudah saatnya kita bersama. Tapi kami menghargainya sebagai hak pilihan politik masing-masing, meskipun konsen kami adalah bersatu membangun Aceh bersama,” pungkasnya.
Sementara itu, Partai NasDem yang dulu bergabung dalam KAB tampaknya juga tak diajak dalam KAB jilid dua tersebut. Ketua DPW NasDem Aceh, Zaini Djalil yang dikofirmasi terkait itu, mengatakan, NasDem hingga saat ini belum ada ajakan, khususnya dari Ketua KAB, Muzakir Manaf.
“Kalau ajakan dari Mualem belum ada. Yang ada kemarin pertanyaan dari Teungku Muhar (mantan ketua DPRA). Secara koalisi ya seharusnya dibicarakan dulu, tapi NasDem belum ada pembicaraan, kita juga tidak tahu konsep KAB seperti apa,” pungkas Zaini Djalil. (dan)