Tingkatkan Penerimaan Negara, Pemerintah Bakal Naikkan Tarif Cukai Rokok hingga 10 Persen
Langkah ini bakal dilakukan lantaran pemerintah meningkatkan target penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar 9 persen.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akan menaikkan tarif rokok setidaknya hingga 10 persen.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Langkah ini bakal dilakukan lantaran pemerintah meningkatkan target penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar 9 persen.
Sebelumnya, target penerimaan negara sebesar 8,2 persen.
"Kenaikan tarif dalam bentuk PMK (Peraturan Menteri Keuangan). Iya (rencanananya) double digit (di atas 10 persen) tapi angkanya belum," ujar Heru.
Pemerintah berharap target penerimaan negara sebesar 9 persen dapat tercapai melalui peningkatan tarif cukai rokok di atas 10 persen.
Selain itu, dengan menargetkan peningkatan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 9 persen, pemerintah akan menindak tegas peredaran rokok ilegal yang tak membayar cukai.
Dengan demikian nantinya semua pengusaha rokok akan patuh membayar cukai.
"Jadi melalui tarif. Tarif itu nanti akan berkontribusi ke penerimaan karena penerimaan itu sebagai hasil dari persentase tarif cukai jika dikalikan dengan volume produksi karena dia spesifik ya".
"Karena itu akan terjadi kenaikan (penerimaan)," ujar Heru.
"Lalu enforcement yang ditingkatkan dengan tujuan supaya nanti yang ilegal itu semakin kecil dan diharapkan nanti bisa meningkatkan rokok yang legal".
"Karena tadi orang yang punya pilihan beli ilegal menjadi berkurang atau bahkan tak ada lagi," kata dia.
Indef: Aturan Cukai Hasil Tembakau Tak Optimal Dongkrak Penerimaan Negara
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penetapan tarif cukai hasil tembakau tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan negara.
Sejumlah celah yang ada dalam berbagai peraturan tersebut membuat penerimaan negara dan pengendalian konsumsi rokok tidak optimal.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, ada tiga temuan utama dari hasil kajian Indef terkait kebijakan cukai rokok.
Pertama, struktur cukai saat ini masih belum mengakomodir persaingan yang berkeadilan dan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan.
PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).
Golongan tarif tersebut disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan kecil.
Namun, temuan yang ada saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil.
“Golongan tarif berdasarkan jumlah produksi cukup berpengaruh terhadap tingkat persaingan berkeadilan (level playing field),” kata Tauhid dalam keterangannya, Rabu (28/8/2019).
Kedua, dari hasil penelitian sampai April 2019, Indef menemukan bahwa dari tujuh perusahaan rokok multinasional, terdapat indikasi pelaku industri besar yang memproduksi dalam jumlah banyak membayar tarif cukai rokok pada golongan rendah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah telah mengatur bahwa perusahaan dengan penjualan di atas Rp 50 miliar per tahun termasuk kategori usaha besar.
Namun dalam Undang-undang Cukai Nomor 39 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai turunannya tidak terdapat kategori soal skala usaha industri rokok.
Skala usaha industri rokok hanya mengacu pada jumlah produksi rokok.
Ketiga, keberadaan 'diskon rokok' yang menyalahi konsep cukai sebagai instrumen pengendalian dan berpotensi membuka peluang persaingan yang tidak berkeadilan.
Tauhid mengatakan diskon rokok terjadi salah satunya akibat level playing field yang tidak setara.
Selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, keberadaan diskon rokok juga turut membuat penerimaan negara tidak optimal.
Dari 1.327 merek rokok yang diteliti pada April 2019, sebanyak 46,8 persen diskon terjadi pada sigaret kretek mesin yang membayar tarif cukai golongan yang rendah.
“Diskon banyak dilakukan oleh pelaku dengan tingkat persaingan besar,” ujar Tauhid.
Adanya potensi optimalisasi penerimaan negara dari pajak penghasilan rokok hingga Rp 1,73 triliun jika kebijakan ini dikaji ulang pada tahun ini.
Rinciannya, pajak penghasilan dari rokok yang dijual 85 persen di bawah HJE sebesar Rp 467 miliar dan pajak penghasilan dari kebijakan HTP antara 85 sampai 100 persen terhadap HJE sebesar Rp 1,26 triliun.
Berdasarkan temuan di atas, Tauhid menjelaskan, Indef mengajukan tiga rekomendasi kepada pemerintah.
Pertama, melakukan langkah korektif dengan mengkaji kembali struktur tarif cukai.
Kedua, menempatkan instrumen “tegas” pada produsen rokok yang memanfaatkan batasan produksi dengan cara penciptaan merek baru dan afiliasi produksi.
Dan ketiga, menerapkan kebijakan HTP sama dengan HJE atau mempersempit wilayah survei dari saat ini sebanyak 40 kota.
Baca: Tiga Anggota DPRK Abdya dari PNA belum Dites Urine, Kata Sekwan Bukan Mangkir, Tapi
Baca: Lega Tak Harus Cicil Utang, Aulia Kesuma Ucap Alhamdulillah Usai Bunuh Suami dan Anak Tiri
Baca: Terkait Remaja Sawang, Aceh Utara Tewas Terbakar dalam Rumah, Ini Hasil Penyelidikan Polisi
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah Bakal Naikkan Tarif Cukai Rokok Setidaknya hingga 10 Persen"
Penulis : Rakhmat Nur Hakim