Pandai Besi Ujung Bawang, Warisi Ilmu Membuat Parang Secara Turun Temurun
Siapa sangka senjata yang di daerah lain disebut golok itu, sebelumnya hanya merupakan besi rongsokan, besi bekas per mobil itu dibeli dari pedagang
SEBILAH parang sepanjang kira-kira 40 centimeter berkilau terkena pantulan cahaya matahari. Siapa sangka senjata yang di daerah lain disebut golok itu, sebelumnya hanya merupakan besi rongsokan. Besi bekas per mobil itu dibeli dari pedagang rongsokan seharga Rp 8 ribu per kilogram. Besi per kemudian dibelah menjadi empat bagian sebesar jempol dewasa. Setelah itu dibakar hingga merah membara. Selanjutnya dipukul jadilah sebilah parang atau golok.
Parang itu merupakan yang kesekian kalinya selesai dibuat Zaluddin (50) bersama Suparman (30) anaknya, pengrajin pandai besi di Desa Ujung Bawang, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil, Rabu (4/9/2019) sore. Keahlian membuat parang yang dimiliki pengrajin pandai besi di Desa Ujung Bawang ini memang diwariskan turun temurun.
Ini terjadi lantaran para orang tua mereka yang juga berprofesi sebagai pembuat perkakas tajam selalu mengajak anak-anaknya membantu. Tak mengherankan sejak remaja anak-anak pengrajin pandai besi di Ujung Bawang, banyak yang ahli membuat parang. Dari sekitar sepuluh keluarga yang berprofesi sebagai pandai besi, rata-rata pengrajin membuat parang, kapak, serta perkakas lainnya, dikerjakan duet ayah dan anak.
Zaluddin umpamanya, ia memiliki pengetahuan pandai besi dari orang tuanya dulu sejak ia tamat sekolah dasar (SD). Keahlian itu diturunkan kepada Suparman anaknya dengan mengajak bekerja bersama. Hal serupa dilakukan Rais (55). Kakek empat cucu itu membuat parang dibantu Mursidin (30), yang merupakan anak laki-lakinya. "Ajak anak agar ada juga penghasilannya," ujar Rais yang dipercaya sebagai Ketua Kelompok Pandai Besi Ujung Bawang.
Para orang tua bertugas memegang besi yang baru dibakar. Kemudian memukulnya menggunakan martil kecil. Sementara sang anak yang memiliki fisik lebih kuat memukul besi hingga tipis menggunakan martil besar.
Ada 10 keluarga yang berprofesi sebagai tukang pandai besi di desa itu. Setiap hari, satu pandai besi mampu membuat delapan sampai sepuluh golok. Kepada pengepul, golok dijual Rp 40 ribu, sedangkan pisau Rp 20 ribu. "Beda kalau dijual kepada pengecer, parang atau golok mencapai Rp 50 ribu per buah dan pisau Rp 25 ribu," ujar Rais.
Golok yang dalam bahasa Singkil disebut pisau tersebut umumnya untuk memenuhi permintaan warga Aceh Singkil. Namun demikian, banyak juga yang dipasarkan ke Subulussalam hingga ke Kepulauan Nias, Sumatera Utara (Sumut). Parang made in Ujung Bawang ini sangat laris manis di pasaran. Itu lantaran harganya relatif murah dibanding buatan daerah lain. "Berapa pun sanggup dibuat, ada yang siap nampung," tukas Zaluddin.
Hanya saja, lantaran masih berproduksi secara tradisional dengan sepanjang hari berdekatan dengan bara api dan menempa besi secara manual, membuat mereka hanya sanggup menghasilkan sepuluh buah parang per hari. Terbatasnya jumlah produksi ini boleh jadi juga agar pembuatan parang yang diwariskan turun temurun itu tetap terjaga kualitasnya.(dede rosadi)