Abdullah Puteh Tetap Bisa Dilantik Sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Putusan pidana 1,6 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap Abdullah Puteh
BANDA ACEH - Putusan pidana 1,6 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap Abdullah Puteh tidak serta merta menghambat proses pelantikan dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terpilih pada 1 Oktober mendatang.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Ilham Saputra, yang ditanya Serambi, Rabu (11/9), mengatakan, Abdullah Puteh tetap bisa dilantik sebelum persoalan hukum tersebut berkekuatan hukum tetap atau incraht. "Iya (tetap bisa dilantik)," katanya.
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, Kartim Haeruddin, Selasa (10/9) menjatuhkan vonis 1,6 tahun penjara kepada Abdullah Puteh. Mantan gubernur Aceh ini didakwa melakukan penggelapan uang senilai Rp 350 juta dari seorang yang oleh jaksa disebut investor, bernama Herry Laksmono.
Menurut Jaksa Lumumba Tambunan, uang Rp 350 juta itu diperoleh dari sisa dana pengurusan dokumen AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) yang dianggarkan Rp 750 juta oleh Herry. Sementara dana pengurusan dokumen lingkungan hanya sekitar Rp 400 juta.
"Sisanya sekitar Rp 350 juta tanpa hak dimiliki secara pribadi oleh terdakwa, dan atas perbuatannya terdakwa (Abdullah Puteh) merugikan saksi (Herry Laksmono). Terdakwa diancam pidana Pasal 372 KUHP," kata penuntut umum dalam persidangan.
Menurut jaksa, penggelapan bermula dari perjanjian investasi antara Abdullah Puteh melalui perusahaannya PT Woyla Raya Abadi dan Herry Laksmono untuk memanfaatkan hasil hutan kayu di Kalimantan Tengah.
Terkait persoalan hukum yang dihadapi Puteh tersebut, Ilham mengatakan bahwa pihaknya belum menerima salinan putusan dari pengadilan. "Kita belum menerima salinannya. Sedang di cek ke pengadilan," kata mantan komisoner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh ini.
Sembari menunggu salinan putusan, KPU juga sedang menunggu jawaban Puteh apakah akan mengajukan banding atau tidak. Karena pada prinsipnya pelantikan Puteh sangat bergantung pada putusan akhir pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Jika putusan inchracht-nya menyatakan AP (Abdullah Puteh) tetap bersalah. Kami akan melakukan verifikasi ke pengadilan terkait. Jadi nanti prosesnya (pergantian Abdullah Puteh sebagai anggota DPD RI melalui mekanisme) PAW," sebut Ilham.
Melawan
Sementara Abdullah Puteh yang dikonfirmasi Serambi di Jakarta, menyatakan dirinya sudah mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Kita banding dan sudah kita sampaikan ke pengadilan. Putusan hakim itu tidak cermat dalam kasus ini," tukas Abdullah Puteh, Rabu (11/9).
Calon Anggota DPD RI dari Provinsi Aceh itu menyatakan akan melawan putusan pengadilan tersebut sampai titik akhir. "Masa saya dikatakan menipu yang nilainya disebutkan Rp 350 juta, yang benar aja," kata Abdullah Puteh enteng.
Terkait dengan proses pelantikan dirinya sebagai senator dari Aceh, dia mengatakan, kasus itu tidak akan menghambat pelantikannya. Sebab menurut tata tertib DPD RI, seorang calon anggota DPD dianggap bermasalah apabila tersandung kasus hukum yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau incraht.
"Tidak ada persoalan dengan pelantikan Anggota DPD. Sebab persoalan ini belum memiliki kekuatan hukum tetap dan ancaman hukumannya adalah 3,8 tahun penjara," ujar Puteh. Ia pun minta kepada konstituennya di Aceh agar tidak resah atas persoalan hukum yang sedang dihadapinya itu.
Perjanjian kerja
Abdullah Puteh juga menjelaskan bahwa saksi Herry Laksmono yang melaporkan dirinya secara pidana adalah orang yang dikalahkannya di pengadilan perdata mulai dari pengadilan banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
"Dulu kita melaporkan yang bersangkutan secara perdata karena melanggar perjanjian kerjasama dengan perusahaan PT Woyla Abadi yang saya dirikan. Sampai ke tingkat peninjauan kembali kita menang," ujar Abdullah Puteh dan menguraikan secara kronologis pelanggaran perjanjian yang dilakukan Herry.
"Saya sampaikan bahwa kasus ini tidak menyangkut negara. Ini berawal dari perjanjian kerja sama antara PT Woyla Abadi dengan kontraktor HL (Herry Laksmono) yang mengerjakan pekerjaan di perusahaan saya," ujarnya.
Puteh membantah Herry Laksmono sebagai investor, tapi kontraktor yang minta pekerjaan kepada dirinya. "Di pengadilan, oleh jaksa disebutkan saya yang merayu HL untuk berinvestasi, itu sama sekali tidak benar. Sebab kenyataannya HL yang aktif menghubungi saya, termasuk membayarkan akomodasi hotel," tukas Puteh.
Perjanjian antara PT Woyla dan HL diikat dalam akta perjanjian dengan 29 pasal. "Perjanjian itu yang dia dilanggar dan kita gugat ke pengadilan. Di antara perjanjian yang dilanggar itu adalah HL seharusnya membayar uang muka Rp 3 miliar dan menyetorkan royalti fee kepada saya tiap bulan. Tapi nyatanya itu tidak dipenuhi," urainya.
Puteh lalu menggugat HL ke pengadilan dan mengharuskan membayar uang muka kerja sama sebesar Rp 7 miliar. "Memang di pengadilan kita kalah, tapi kemudian kita banding dan kita menang. Begitu juga saat kasasi, kita juga menang, sampai ke Peninjauan Kembali kita juga menang. Jadi sebetulnya kasus ini sudah selesai," beber Abdullah Puteh.
Tapi entah kenapa, lanjutnya, kasus ini dilaporkan secara pidana dengan tuduhan penipuan yang kemudian diputuskan oleh PN Jakarta Selatan. "Seharusnya kasus ini tidak bisa diadili lagi sebab sudah incracht sebelumnya. Tapi saya tidak tahu, kenapa jadi bisa diadili juga," imbuh Puteh.(mas/fik)