KontraS: Bangun Monumen Habibie, Bentuk Apresiasi Karena Cabut DOM
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mendesak Pemerintah Aceh membangun monumen BJ Habibie
BANDA ACEH - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mendesak Pemerintah Aceh membangun monumen BJ Habibie sebagai bentuk terima kasih rakyat Aceh kepada Presiden ke-3 itu, karena sudah membebaskan Aceh dari status Daerah Operasi Militer (DOM).
"Seharusnya ada penghargaan khusus dari Aceh untuk Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada beliau atas berbagai upaya yang dilakukannya untuk Aceh," kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, menjawab Serambi, Kamis (12/9), mengenang kiprah BJ Habibie terhadap Aceh sebelum meninggal.
Presiden ke 3 RI, BJ Habibie meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (11/9/2019). Habibie meninggal pada pukul 18.05 WIB dalam usia 83 tahun. Bapak Teknologi Indonesia tersebut meninggal karena sakit yang dideritanya dan ia sudah dirawat secara intensif sejak 1 September 2019.
Hendra menyampaikan, meski hanya menjabat 1,5 tahun (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999) sebagai Presiden ke-3 RI, BJ Habibie menaruh perhatian besar kepada Aceh yang saat itu sedang dilansa konflik. Dia mengeluarkan keputusan besar berupa mencabut status DOM dari Aceh dan menarik pasukan non-organik.
Sekadar mengulang sejarah, dalam rentang medio 1989-1998, Presiden Soeharto memberlakukan operasi militer dengan sandi Operasi Jaring Merah untuk menumpas pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan Hasan Tiro.
Selama periode itu, pemerintah menyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dan mengirimkan pasukan Tentera Nasional Indonesia (TNI). Dalam operasi itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terjadi di Aceh.
Sepuluh tahun pemberlakuan DOM menyebabkan ribuan orang tewas dan dibantai, serta ratusan orang lainnya hilang, dibunuh, diperkosa, atau disiksa. Kasus itu menjadi peristiwa paling kelam di Indonesia.
Singkat cerita, kasus itu kemudian berakhir pada tahun 1989, ketika Soeharto lengser dari jabatan Presiden dan berakhirnya masa era Orde Baru. Posisi Presiden kemudian diganti oleh putra kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, BJ Habibie dan di bawah perintahnya status DOM di Aceh dicabut.
"Habibie salah satu tokoh yang sangat berani untuk menyatakan cabut DOM Aceh pada tanggal 7 Agustus 1998, melalui pidato Jend TNI (Pur) Wiranto. Pencabutan DOM merupakan salah satu bentuk pengakuan secara tidak langsung yang dilakukan oleh negara dalam menyikapi situasi keamanan di Aceh," ujar dia.
Selain itu, lanjut Hendra, BJ Habibie juga berperan dalam upaya mendorong penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki berbagai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan di Aceh.
"Di mana tim TGFP sempat turun ke beberapa daerah di Aceh untuk melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM pada saat itu. Tim ini dibentuk oleh BJ Habibie melalui Keputusan Presiden No 88 tahun 1999 tentang Pembentuk Komisi Independent Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh, yang diketuai oleh Amran Zamzami," ungkap Hendra.
Dengan dibentuk tim untuk menyelidik kasus Aceh, kata Hendra, sebenarnya ada upaya dari Habibie untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di Aceh pada saat DOM Aceh, meskipun tindak ada lanjutnya hingga sekarang.
Karena itu, Hendra mendorong Pemerintah Aceh untuk memberikan apresiasi kepada BJ Habibie. Seperti yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Timor Leste, daerah yang dilepas oleh Presiden BJ Habibie dari Indonesia. Kendati demikian, Koordinator KontraS Aceh tetap mendorong upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. (mas)