Mualem: Migas Aceh untuk Aceh

Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf, ikut mengomentari persoalan pengelolaan Blok B di Aceh

Editor: bakri
MUZAKIR MANAF, Mantan Panglima GAM 

* Kepala BPMA Defenitif Perlu Segera Ditunjuk

BANDA ACEH - Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf, ikut mengomentari persoalan pengelolaan Blok B di Aceh Utara. Meski tak terlalu paham dengan skema pengelolaan yang sedang diributkan, namun ia mengingatkan bahwa migas tersebut merupakan sumber daya alam Aceh dan hasilnya juga harus dinikmati oleh masyarakat Aceh.

“Terlepas siapapun pengelolanya, hasilnya tetap harus diambil oleh Aceh. Migas Aceh ya untuk Aceh,” tegas pria yang akrab disapa Mualem ini kepada Serambi, Senin (15/10/2019).

Mualem mengatakan, lapangan migas bekas ExxonMobil itu pernah menjadi salah satu kawasan khusus yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akar konflik Aceh juga berawal dari persoalan tersebut, dimana Aceh yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, tetapi hasilnya tidak dinikmati oleh masyarakat Aceh, sehingga akhirnya melahirkan gerakan perlawanan. “Ini sumber daya alam Aceh, manfaatnya harus dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh. Kan itu yang kita perjuangkan dari dulu!” pungkasnya.

Kondisi hari ini, lanjut Mualem lagi, Aceh masuk dalam daftar salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Limpahan sumber daya alam yang ada ternyata belum memberi dampak berarti bagi perekonomian dan pembangunan di Aceh. “Sudah lama orang Aceh kena tipu, makanya ke depan kepentingan Aceh harus utama, harus dinikmati oleh orang Aceh,” tegasnya.

Seperti diketahui, Pemerintah Aceh berencana mengambil alih Blok B di Aceh Utara jika Kementerian ESDM masih tetap ngotot dengan skema kontrak kerjasama gross split (bagi hasil kotor). Pemerintah Aceh sendiri menginginkan agar kontrak tetap menggunakan skema cost recovery karena ini menyangkut kewenangan Aceh sesuai dengan amanah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang salah satu turunannya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No.23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.

Dalam skema gross split, kewenangan pemerintah Aceh hanya sebatas mengawasi program usaha hulu minyak dan gas bumi. Sedangkan dalam skema cost recovery, Pemerintah Aceh tidak hanya mengawal aspek program tetapi juga anggaran yang meliputi biaya investasi, operasi, dan biaya produksi. Dengan demikian, akan diketahui secara jelas berapa dari sisa hasil produksi itu yang akan menjadi hak Aceh dari sisi bagi hasil 70:30.

Wakil Ketua DPRA dari Partai Golkar, Hendra Budian, juga sepakat jika Pemerintah Aceh mengambil alih pengelolaan Blok B. DPRA bersama Pemerintah Aceh dan seluruh stake holder harus bersatu untuk memperjuangkan pengambilalihan lapangan migas bekas ExxonMobil tersebut. “DPRA siap berjuang dengan Pemerintah Aceh untuk membangun komunikasi politik dengan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian ESDM agar semangat perjuangan ini bisa terwujud,” ujarnya.

Selain itu, Pemerintah Aceh juga harus mempersiapkan PT PEMA (Pembangunan Aceh) agar bisa menjalankan mandat ini dengan baik. PT PEMA harus dibenahi dan diback-up secara penuh oleh Pemerintah Aceh (eksekutif dan legislatif) agar dapat mengelola lapangan migas Blok B secara profesional.

Dukungan juga disampaikan Ketua DPD KNPI Aceh, Wahyu Saputra. Langkah Pemerintah Aceh yang akan mengambil alih pengelolaan Blok B dikatakannya telah sesuai dengan amanat Pasal 39 PP 23 Tahun 2015, yang menyebutkan bahwa wilayah kerja yang telah habis masa kontraknya ditawarkan terlebih dahulu kepada BUMD sebelum dinyatakan menjadi wilayah terbuka untuk dilelang.

“Artinya, Pemerintah Aceh harus mengambil sikap untuk mengelola sendiri blok migas tersebut agar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menggenjot pendapatan Aceh pascaberakhirnya dana otsus pada tahun 2027 mendatang,” ujar Ketua DPD KNPI Aceh, Wahyu Saputra. Apalagi, KNPI melihat bahwa selama ini pengelolaan Blok B oleh Pertamina Hulu Energi (PHE) juga tidak memberikan manfaat secara sosial dan ekonomi, terutama bagi masyarakat di sekitar blok migas tersebut.

Kepala BPMA defenitif

Masih dalam kaitan pengelolaan blok migas, Anggota DPRA dari Partai Amanat Nasional (PAN), Asrizal H Asnawi, menilai bahwa Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) perlu secepatnya dipimpin oleh kepala defenitif. Saat ini, posisi pimpinan masih dijabat oleh pelaksana tugas (Plt).

“Memang beliau (Plt Kepala BPMA) putra Aceh, tapi masih perpanjangan tangan Jakarta, sehingga seberapa pun kesungguhan beliau menakhodai BPMA, kami masih belum yakin beliau berpihak penuh pada kepentingan Aceh,” ujarnya. “Plt Kepala BPMA itu dititipkan oleh Kementerian ESDM. Karena itu, saya meyakini sulit bagi seorang Plt Kepala BPMA dalam berpihak, untuk Aceh kampungnya atau Kementrian tempat karirnya,” sambung Asrizal.

Oleh karena itu, ia berharap Plt Gubernur Aceh agar mengirimkan surat ke Kementerian ESDM, meminta agar secepatnya menujuk Kepala BPMA defenitif dari tiga nama yang diajukan Pemerintah Aceh berdasarkan hasil seleksi sebelumnya. “Demi mendukung kerja dan fungsi BPMA, sudah saatnya Pak Menteri segera menunjuk satu nama sebagai Kepala BPMA defenitif mengingat masih banyak kegiatan positif yang tidak bisa dilaksanakan karena keterbatasan kewenangan seorang Plt,” ucap Asrizal.

Sementara itu, Anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya, mengatakan, akan menyampaikan keinginanan masyarakat Aceh itu kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabinet Jokowi Jilid II, seusai dilantik nanti. Ia sepakat, rencana Pemerintah Aceh yang ingin mengambil alih Blok B itu wajib untuk didukung.

“Setelah dilantik Menteri ESDM yang baru, segera kita sampaikan hal tersebut. Ini merupakan keinginan masyarakat Aceh dan wajib didukung karena bisa menjadi solusi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Aceh,” katanya.

Ia berharap, Menteri ESDM bisa lebih bijak menyikapi persoalan pengelolaan blok migas ini, karena Aceh berbeda dari daerah lainnya. Aceh memiliki kekhususan karena memiliki MoU Helsinski dan Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang salah satu turunannya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 23 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.

“Saya kira ini menjadi dasar yang kuat bagi Menteri ESDM untuk mempertimbangkan kembali secara matang skema kontrak kerja sama pengelolaan migas di Blok B sebagaimana yang diupayakan Plt Gubernur atas keinginan masyarakat Aceh,” ujar Teuku Riefky.

Anggota DPR RI asal Aceh lainnya, TA Khalid, saat dihubungi mengaku belum mendapat informasi kongkret terkait plus minus konsep atau skema kerja sama pengelolaan migas antara yang diusulkan Pemerintah Aceh dengan yang ditawarkan oleh Kementerian ESDM.

Namun menurut TA Khalid, yang paling penting bahwa hak dan kewenangan khusus Aceh dalam hal migas harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memberikan hasil dan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran Aceh.

“Apapun skemanya yang paling penting adalah skema yang menguntungkan Aceh. Semua pihak harus sepakat dan mendukung skema yang paling menguntungkan demi kemakmuran Aceh,” pungkas TA Khalid.(dan/yos)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved