Breaking News

Mahasiswa Kumpul KTP untuk Mursyidah, Hari Ini Sidang Vonis Putusan

Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Senin (4/11/2019) siang menyerahkan

Editor: bakri
SERAMBI/SAIFUL BAHRI
Anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman alias H saat Uma berkunjung ke rumah Mursyidah. 

LHOKSEUMAWE - Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Senin (4/11/2019) siang menyerahkan 350 lembar fotokopi KTP kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Lhokseumawe, Teuku Syalafi.

Penyerahan fotokopi KTP ini sebagai bentuk dukungan agar Mursyidah divonis bebas. Janda asal Gampong Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe ini sebelumnya dituntut 10 bulan penjara atas dugaan perusakan pintu di rumah toko yang selama ini dijadikan sebagai pangkalan elpiji 3 kilogram.

Tuntutan tersebut disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lhokseumawe dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Lhokseumawe Selasa (29/10/2019) yang hanya berselang delapan hari sejak suaminya meninggal dunia. Sedangkan sidang dengan agenda putusan akan berlangsung pada Selasa (5/11/2019) hari ini.

Kordinator lapangan (Korlap) yang juga Ketua BEM FH Unimal, Muhammad Fadli mengatakan, fotokopi KTP dukungan itu berasal dari para mahasiswa dan masyarakat umum. Aksi pengumpulan dilakukan selama dua hari yang melibatkan seluruh Ormawa, terdiri dari DPM FH, BEM FH, FKPH FH, LDF FH, HIMAPID, HIMATN,dan HIMAPER.

"Alhamdulillah masyarakat sangat respek dan perduli terhadap kasus tersebut, sehingga terkumpul lebih dari 350 lembar KTP," ujarnya.

Sebetulnya, dia melanjutkan, jumlah fotokopi yang terhimpun lebih banyak lagi. Tetapi pihaknya hanya menyerahkan 350 lembar saja sebagai simbol dukungan. “Ini menjadi kekuatan baru untuk kita dalam mengadvokasi kasus ketimpangan hukum yang diterima oleh kak Mursyidah dan semoga menjadi pertimbangan tambahan untuk majelis hakim dalam mengambil putusan nantinya," harap dia.

Selain menyerahkan fotokopi KTP, dalam sidang vonis putusan terhadap Mursyidah yang dijadwalkan Selasa (5/11/2019) hari ini, pihaknya juga akan menggelar aksi demonstrasi di PN Lhokseumawe dalam rangkan menjemput keadilan bagi Mursyidah. "Kami berharap kepada mahasiswa Lhokseumawe dan Aceh Utara, mari sama-sama kita ke PN besok (hari ini)," ajak Muhammad Fadli.

Melalui aksi tersebut, majelis hakim diharapkan bisa melihat kasus Mursyidah secara objektif, profesional, dan penuh integritas. "Kami berharap keadilan untuk kak Mursyidah. Kami sangat berharap kak Mursyidah divonis bebas oleh para majelis hakim," pungkas Fadli.

Aksi HMI

Terpisah belasan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lhokseumawe dan Aceh Utara, Senin (4/11/2019) juga menggelar aksi dukungan untuk Mursyidah di dua lokasi kawasan Lhokseumawe. HMI meminta kepada majelis hakim PN Lhokseumawe untuk membebaskan Mursyidah dari segala tuntutan.

Aksi pertama digelar di kawasan Simpang Tugu Rencong Desa Kuta Blang Kecamatan Banda Sakit Lhokseumawe, dan kemudian dilanjutkan ke Taman Riyadhah Lhokseumawe. Mereka membawa poster dan spanduk yang antara lain bertuliskan ‘Jangan Biarkan Keadilan Dibeli dan Kebenaran Dicuri, Save Kak Mursyidah', ‘Vonis Bebas Kak Mursyidah’ dan kalimat-kalimat lainnya.

"Demo ini kita adakan sebentuk dukungan kepada Kak Mursyidah yang saat ini sedang menghadapi persoalan hukum di pengadilan," ujar Ketua Umum HMI Cabang Lhokseumawe dan Aceh Utara, Muhammad Ata.

Dukungan senator dan DPRK

Dukungan terhadap Mursyidah juga datang dari senator asal Aceh, H Sudirman alias H Uma. Ia dan stafnya Senin kemarin datang berkunjung ke PN Lhokseumawe dan langsung diterima Ketua PN, Teuku Syarafi SH MH. Kunjungan Anggota DPD RI tersebut dalam rangka mengadvokasi Mursyidah.

Kepada Ketua PN Lhokseumawe, Haji Uma menyampaikan bahwa kedatangannya untuk memastikan sejauh mana sudah proses hukum yang menimpa Mursydiah. Disamping itu dia juga meminta adanya kebijakan dari PN saat memutuskan perkara tersebut.

Hal ini didasari pada beberapa hal, antara lain dari sisi kemanusiaan, dimana Mursyidah selaku warga miskin juga baru kehilangan suaminya, sehingga ada tiga anak yatim bersamanya sekarang ini. Selain itu, dugaan perusakan tersebut terjadi saat perempuan tersebut bersama masyarakat lain sedang berupaya membongkar dugaan kecurangan yang dilakukan pihak pangkalan.

"Jadi kita harapkan adanya kebijakan dari hakim dalam memutuskan perkara ini. Semoga saja Mursyidah nantinya tidak sampai harus menjalani hukuman kurungan penjara," pinta Haji Uma.

Di hari yang sama, Ketua PN Lhokseumawe juga menerima kunjungan Wakil Ketua DPRK Lhokseumawe, Irwan Yusuf. Kedatangan politisi Gerindra tersebut juga berkaitan dengan perkara Mursyidah. Namun ia menegaskan tidak bermaksud ingin mengintervensi hukum. "Kita sangat menghormati proses hukum," katanya kepada Serambi.

Ia mengaku, datang ke PN hanya untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, dengan harapan adanya kebijakan dari majelis hakim dalam memutuskan perkara Mursyidah. Karena apabila nantinya Mursyidah sampai dihukum penjara, maka yang menjadi korban berikutnya adalah ketiga anaknya yang saat ini sudah berstatus yatim.

"Bila nanti Mursyidah ditahan, ketiga anak yatim yang masih kecil-kecil tersebut siapa yang pelihara. Makanya kita sangat mengharapkan adanya kebijakan majelis hakim," harap Irwan Yusuf.

Ketua PN Lhokseumawe, Teuku H Syarafi, menyambut baik kedatangan pimpinan DPRK Lhokseumawe. Ia akan menampung aspirasi yang disampaikan sejauh tidak mengintervensi hukum. "Pastinya kita tetap tampung aspirasi yang diutarakan pimpinan dewan tersebut sejauh tidak mengintervensi majelis hakim," demikian Teuku H Syarafi.

Selain kasus dugaan perusakan pangkalan elpiji yang dilakukan oleh Mursyidah, Serambi juga mendapat informasi bahwa pihak kepolisian sebelumnya juga pernah melakukan penyelidikan dugaan penimbunan elpiji 3 kilogram (Kg)  yang dilakukan oleh pangkalan tersebut. Tetapi belakangan kasusnya dihentikan.

Informasi tersebut terungkap dari keterangan Kasi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) dan Humas Kejati Aceh, H Munawal Hadi SH MH yang dikonfirmasi Serambi, Senin (4/11/2019).

Ketika ditanyai terkait dugaan kasus penimbunan elpiji, Munawal mengatakan bahwa pihak kejaksaan Kejari Lhokseumawe hanya menerima berkas kasus dugaan perusakan pangkalan dari penyidik Polres setempat dengan terdakwa Mursyidah. Sedangkan berkas kasus dugaan penimbunan gas yang diduga dilakukan oleh pihak pangkalan tidak masuk ke jaksa.

"Yang kita terima hanya SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dan berkas dalam perkara perusakan. Sedangkan untuk perkara penimbunan, kita tidak pernah terima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan," katanya.

Menurut Munawal, polisi pernah melakukan penyelidikan terhadap pangkalan tersebut atas kasus dugaan penimbunan elpiji 3 Kg. Tapi polisi tidak menemukan alat bukti yang lengkap sehingga kasus itu dihentikan. "Itu tidak cukup alat bukti, makanya tidak ditingkatkan (ke jaksa)," ujar Munawal.

Secara terpisah, anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman alias Haji Uma mengaku dirinya sudah dua malam mencari informasi terkait situasi sebenarnya dengan menjumpai warga. Dia juga mendapat informasi bahwa kasus penimbunan elpiji oleh pangkalan sudah dihentikan oleh polisi.

"Pengusutan itu sudah dihentikan, katanya tidak ada barang bukti. Sementara di dalam (pangkalan) pada waktu itu banyak barang bukti," ungkap senator Aceh, Haji Uma saat dikonfirmasi Serambi melalui telepon, Senin (4/11/2019).

Dari informasi yang didapatnya, pangkalan itu juga pernah melakukan pelanggaran sehingga izin operasinya dicabut oleh pihak Pertamina. Menurut Haji Uma, pencabutan izin itu menunjukan pembuktian yang valid bahwa adanya kesalahan yang dilakukan pihak pangkalan.

"Jadi tidak ada alasan jika disebut tidak cukup barang bukti. Kalau tidak cukup alat bukti dan tidak ada indikator kesalahan yang dilakukan, tidak mungkin Pertamina menyegelnya, dan polisi sudah mengamankan alat bukti pada waktu itu, tapi kok dihentikan dengan alasan tidak cukup alat bukti?" ungkap Haji Uma setengah bertanya.

Kepada Haji Uma, Mursyidah mengaku pernah bekerja di pangkalan tersebut selama dua bulan pada tahun 2018. Mursyidah, lanjut Haji Uma, mengaku setiap hari diperintahkan untuk mencabut segel di tabung gas. "Setelah dua bulan bekerja dia merasa tidak sanggup karena menipu orang miskin, dia keluar. Ketika dia keluar, dia dua bulan kerja dibayar gaji Rp 400.000, padahal pada awalnya dijanjikan Rp 500.000 per bulan," tambah Haji Uma.

Dari informasi yang diperoleh Haji Uma, terungkap pula bahwa pangkalan tersebut milik seorang oknum polisi. Untuk itu, dia meminta pihak berwenang agar menindaklanjuti proses kasus dugaan penimbunan tanpa tebang pilih. "Menurut saya hukum harus ditegakkan," pungkas senator asal Aceh tersebut. (jaf/bah/mas)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved