Mengenang 111 Tahun Meninggal Cut Nyak Dhien, Ratu Perang Simbol Heroisme Perempuan Aceh
Kematian suaminya Teuku Umar membuat Cut Nyak Dhien amat berduka. Namun, ia menolak larut dalam kesedihan, dan ratapan duka
Kematian suaminya Teuku Umar membuat Cut Nyak Dhien amat berduka. Namun, ia menolak larut dalam kesedihan, dan ratapan duka. Sebaliknya, Cut Nyak Dhien berjanji akan terus mengobarkan semangat perang mengusir Belanda dari Tanah Aceh, dan membalas kematian suaminya.
"Di tempat itu arwah Umar akan menyertai kita! Dari sana juga lah kita akan memenuhi tugas-tugas kegerilyaan kita seperti yang biasa dilakukan oleh Umar. Kita akan memenuhi perintah Tuhan untuk memerangi orang kafir," ujar perempuan itu dengan suara lantang.
Sambil menghunus sebilah rencong di tangan, ia kembali berkata. Kali ini dengan suara bergetar.
"Pang La'ot! Selama aku masih hidup kita masih memiliki kekuatan, perang gerilya ini akan kita teruskan! Demi Allah! Polim masih hidup! Bait hidup! Imam Longbata hidup! Sultan Daud hidup! Tuanku Hasyim hidup! Menantuku, Teuku Majet di Tiro masih hidup! Anakku Cut Gambang masih hidup! Ulama Tanah Abee hidup! Pang La'ot hidup! Kita semua masih hidup! Belum ada yang kalah! Umar memang telah Syahid! Marilah kita meneruskan pekerjaannya! Untuk Agama! Untuk kemerdekaan bangsa kita! Untuk Aceh! Allahu Akbar!".
Kalimat itu diucapkan Cut Nyak Dhien setelah menerima kabar suaminya Teuku Umar gugur di medan perang. Pada suatu ketika, Cut Gambang, putri semata wayangnya, tak kuasa menahan sedih. Ia merangkul jasad sang ayahanda dengan tangisan. Melihat itu, tiba-tiba sorot mata Cut Nyak Dhien berubah tajam.
Ia menarik Cut Gambang yang sedang bersedih, dan membentaknya. "Dengar! Sebagai perempuan Aceh, jangan meneteskan air mata atas orang yang syahid!" Perempuan pemberani yang disebut namanya dalam sejarah itu segera merangkul putrinya. Pasukan dan orang-orang kepercayaannya hanya berdiri melihat ketegaran wanita bermental baja itu.
Kematian suaminya Teuku Umar membuat Cut Nyak Dhien amat berduka. Namun, ia menolak larut dalam kesedihan, dan ratapan duka. Sebaliknya, Cut Nyak Dhien berjanji akan terus mengobarkan semangat perang mengusir Belanda dari Tanah Aceh, dan membalas kematian suaminya.
Kisah epik sosok Cut Nyak Dhien ini terekam dalam banyak catatan sejarah, dan menjadi salah satu simbol heroisme perempuan Aceh. Cut Nyak Dhien syahid dalam usia 60 tahun pada 6 November 1908. Jasadnya dimakamkan di Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Rabu (6/11/2019) hari ini, bertepatan dengan 111 tahun Cut Nyak Dhien syahid. Meski sudah tiada, namun semangat dan nilai-nilai perjuangan yang ia wariskan tetap abadi tertulis dalam tinta emas sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.
* * *
Dalam berbagai catatan sejarah, sosok Cut Nyak Dhien digambarkan sebagai perempuan perkasa. M H Skélely Lulofs, penulis berkebangsaan Belanda menyebut sosok Cut Nyak Dhien sebagai Ratu Perang Aceh sebagaimana judul bukunya; Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh. Lulofs memaparkan betapa heroiknya perjuangan Cut Nyak Dhien yang membuat cerita penaklukan Aceh oleh Belanda menjadi kisah gilang-gemilang.
Merujuk pada isi buku tersebut, Paul Van 't Veer, wartawan Belanda yang dianggap paling mengenal dan ahli tentang Indonesia menyebut dalam mengobarkan perang, Cut Nyak Dhien begitu tabah mengembara di hutan sampai terserang penyakit dan menjadi buta, tetapi tak juga mau menyerah kepada Belanda. "Ia sungguh 'Ratu Perang Aceh' yang menggetarkan," tulis Paul Van 't Veer.
Memimpin gerilya
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 dan berasal dari keluarga bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya Teuku Nanta Seutia, seorang ulebalang (panglima perang) VI Mukim. Ia juga diketahui sebagai keturunan langsung Sultan Aceh dari garis ayahnya.
Menikah pada usia masih belia pada tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, Cut Nyak Dhien memimpin perang di garis depan melawan pasukan Belanda yang bersenjata lebih lengkap.
Cut Nyak Dhien dikenal sebagai panglima perang yang tangguh di wilayah VI Mukim. Setelah bertahun-tahun bertempur, pasukan yang dipimpin Cut Nyak Dhien makin terdesak.
Demi menghindari kejaran pasukan Belanda, keluarga Cut Nyak Dhien lalu memutuskan mengungsi ke daerah yang makin terpencil dan terus mengobarkan semangat pertempuran. Tapi, dalam pertempuran sengit di kawasan Glee Tarun, Teuku Ibrahim gugur.
Kehadiran Teuku Umar
Setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dien mengendalikan perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Sampai akhirnya hadirlah sosok seorang lelaki bernama Teuku Umar. Ia kemudian melamar Cut Nyak Dhien.
Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, dan mengajukan satu syarat agar diizinkan berjuang di medan gerilya. Syarat itu disetujui Teuku Umar. Akhirnya Cut Nyak Dhien menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Kehadiran Teuku Umar semakin menguatkan semangat perjuangan Aceh melawan Belanda.
Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dhien berhasil membangun kekuatan kembali dan mampu menghancurkan markas Belanda di sejumlah tempat. Namun, berkat taktik liciknya, Belanda kembali mendesak pasukan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Di tengah perang yang berkecamuk, pasangan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar mempunyai seorang putri Cut Gambang yang ketika dewasa dinikahkan dengan Teuku Di Buket, putra Teuku Cik Di Tiro yang juga pejuang dan pahlawan Aceh.
Dalam perjalanan hidup mereka, anak dan menantu Cut Nyak Dhien itu akhirnya juga gugur di medan perang. Ujian berat kembali dialami Cut Nyak Dhien ketika pada 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Tapi, semangat tempurnya tetap bergelora dan ia bertekad berjuang sampai titik darah penghabisan. Sementara itu Belanda yang mengetahui kekuatan pasukan Cut Nyak Dhien kian melemah dan hanya bisa menghindar dari hutan-hutan terus melancarkan tekanan.
Didera rabun dan encok
Dalam pengembaraannya bergerilya di hutan, Cut Nyak Dhien mengalami sakit. Encok dan rabun menderanya. Melihat kondisi makin melemah, Panglima Perang Cut Nyak Dhien, Pang Laot Ali, menawarkan agar Cut Nyak Dhien menyerahkan diri ke Belanda. Tapi, Cut Nyak Dhien murka, dan melanjutkan pertempuran.
Pang Laot Ali yang dianggap sebagai pengkhianat oleh Cut Nyak Dhien, merasa iba. Dengan sembunyi-sembunyi ia menemui perwira Belanda dan memberitahu lokasi persembunyian Cut Nyak Dhien dan pasukannya. Akhirnya, Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh pasukan khusus Belanda yang dipimpin Letnan van Vurren.
Saat ditangkap, Cut Nyak Dhien menolak menyerah. Mulutnya terus berzikir. Hingga kemudian terjadi keributan karena Cut Nyak Dhien menghunuskan rencongnya dan mengenai Pang Laot Ali yang membujuknya untuk menyerah.
Dalam beberapa catatan sejarah, Belanda berhasil menangkap Cut Nyak Dhien, dan merawatnya di Banda Aceh hingga sembuh. Tapi, kemudian Belanda mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat, untuk menghindari pengaruhnya mengobarkan kembali semangat melawan penjajah.
Di tempat pengasingannya, Cut Nyak Dhien yang sudah renta dan mengalami gangguan penglihatan lebih banyak mengajar agama. Ia tetap merahasiakan jati diri yang sebenarnya sampai akhir hayat. Cut Nyak Dhien wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Sumedang. Makam Cut Nyak Dhien baru diketahui secara pasti pada 1960 atau sekitar 50 tahun setelah kematiannya atas penelusuran Pemerintah Aceh. Sebagai tanda jasa, pada 2 Mei 1964, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Ratu Perang asal Aceh itu. (ansari hasyim)