Liputan Eksklusif

Ramai-ramai Berburu Emas di Geumpang,  Sehari Bisa Dapat Rp 200.000 hingga Rp 600.000

Setiba di sebuah kawasan hutan lindung, mereka kemudian berbelok masuk ke dalam hutan, melalui jalan setapak sejauh yang bisa

Editor: bakri
Ramai-ramai Berburu Emas di Geumpang,  Sehari Bisa Dapat Rp 200.000 hingga Rp 600.000 - warga-mendulang-emas-secara-tradisional-di-tepi-sungai.jpg
DOK/ NYAK CUT
Warga mendulang emas secara tradisional di tepi sungai di kawasan pegunungan Geumpang, Pidie, Senin (11/11).
Ramai-ramai Berburu Emas di Geumpang,  Sehari Bisa Dapat Rp 200.000 hingga Rp 600.000 - warga-mengorek-karang-untuk-mencari-butiran-emas.jpg
DOK/NYAK CUT
Warga mengorek karang untuk mencari butiran emas untuk diproses secara tradisional dengan mendulang di tepi sungai di kawasan pegunungan Geumpang, Pidie, Senin (11/11).
Ramai-ramai Berburu Emas di Geumpang,  Sehari Bisa Dapat Rp 200.000 hingga Rp 600.000 - emas-secara-tradisional-di-tepi-sungai.jpg
DOK/ NYAK CUT
Seorang wanita menghantam karang untuk mencari butiran emas secara tradisional di tepi sungai di kawasan pegunungan Geumpang, Pidie, Senin (11/11).

Kawasan hutan Geumpang, Kabupaten Pidie, kini telah menjadi ladang perburuan para pencari emas. Setiap harinya, ada sekitar seratusan penambang yang datang silih berganti, baik laki-laki maupun perempuan.

Mereka datang dengan penuh harap, bisa pulang dengan segenggam emas. Tak jarang, mereka harus menginap di tengah belantara karena termotivasi atas temuan beberapa serpihan kerikil emas. Sementara yang lain, memilih pulang karena putus asa setelah lelah mencari tanpa hasil.

Siapa saja mereka? Bagaimana proses pencarian emas itu berlangsung dan berapa penghasilan yang mereka dapatkan? Berikut laporan eksklusif wartawan Serambi Indonesia, Muhammad Nazar, yang akan diturunkan mulai hari ini.

PULUHAN sepeda motor melintas beriring-iringan di ruas jalan nasional Geumpang-Meulaboh. Sebagian ada yang datang dari arah Geumpang dan ada juga yang dari arah Meulaboh. Saat itu waktu baru menunjukkan pukul 07.00 WIB.

Setiba di sebuah kawasan hutan lindung, mereka kemudian berbelok masuk ke dalam hutan, melalui jalan setapak sejauh yang bisa dilintasi. Iring-iringan sepeda motor tersebut kemudian berhenti pada satu titik yang tak bisa lagi dilintasi, karena medan yang curam dan licin.

Di titik inilah berjejer puluhan sepeda motor. Beberapa di antaranya sudah terparkir sejak beberapa hari. Bagian roda dikunci menggunakan rantai, dan sebagian lainnya ditutup menggunakan kain.

Dari sini, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri lereng-lereng bukit sejauh 3 hingga 4 kilometer. Rombongan kemudian berpisah di sebuah anak sungai yang dinamakan Pucok Alue. Mereka berpencar menuju ke lokasi masing-masing.

Seorang penambang emas asal Gampong Bangkeh, Kecamatan Geumpang, Tgk Nurdin Ramin (65), mengatakan, ada tujuh lokasi aliran sungai yang menjadi tempat pencarian emas, yaitu Alue Saya, Alue Suloh, Alue Rhek, Alue Jangat, Alue Teungoh, Alue Lhok dan Alue Pancaroba.

“Jika kita berangkat pukul 07.00, tiba di lokasi sekitar pukul 13.00 WIB,” sebut Nurdin.

Didampingi Nyak Cut (60), warga Geumpang lainnya, Nurdin menuturkan, ada tiga cara yang dilakukan warga untuk mencari emas. Salah satunya adalah dengan mendulang menggunakan kayu berbentuk belanga. “Cara ini banyak dilakukan oleh kaum perempuan,” katanya.

Selain mendulang, ada juga cara lain yakni dengan menyedot pasir sungai menggunakan mesin yang kemudian disaring menggunakan plastik khusus penyaring emas. Cara terakhir adalah dengan menembakkan air ke karang atau batu yang diduga melekat butiran emas. Air hasil semprotan kemudian dialirkan ke dalam saringan.

Meski demikian, tidak semua usaha tersebut membuahkan hasil. Sebagian ada yang terpaksa pulang dengan tangan hampa setelah lelah mencari seharian tanpa hasil. Sedangkan yang lain memilih tetap bertahan di hutan, mulai dari beberapa hari hingga seminggu.

“Biasanya mereka yang menginap, mereka yang berhasil mendapatkan butiran emas, sehingga mereka ingin mendapatkan lebih banyak lagi,” tutur Nurdin.

Butiran-butiran emas yang dihasilkan kemudian dijual ke penampung di Geumpang. Rata-rata per harinya para penambang mendapatkan penghasilan antara Rp 200.000 hingga Rp 600.000 tergantung metode pencarian yang dilakukan.

Nurdin mengaku sudah mulai mencari emas sejak tahun 2009. Namun pekerjaan itu dilakoninya pada saat-saat tertentu saja, yakni ketika musim panen padi selesai.

“Kalau hanya mengandalkan hasil panen, uangnya tidak cukup untuk membiayai sekolah anak-anak. Sementara ke kebun sekarang sudah tidak bisa lagi karena ada serangan gajah,” ungkapnya.

Warga Geumpang lainnya, Nyak Cut, menambahkan, aktivitas mencari emas di hutan Geumpang ini sebenarnya sudah mulai marak sejak tahun 2008, itupun hanya di dua titik, yakni di Alue Tujoh KM 3 dan Alue Suloh KM 21.

Meski bukan penambang, namun dia mengaku sering bertemu dengan pencari emas karena sering keluar masuk hutan Geumpang untuk menyalurkan hobinya membuat video.

Dua tahun belakangan ini, Nyak Cut menuturkan, jumlah pencari emas semakin bertambah banyak, terlebih sejak beredar kabar ada seorang pencari emas bernama Abdullah (31), yang juga warga Gampong Bangkeh, berhasil mendapatkan 12 gram emas saat mendulang di KM 21 di Alue Suloh pada September 2019 lalu. Hasil pencarian satu hari itu kemudian dijual seharga Rp 6 juta.

Sejak saat itu, warga mulai ramai-ramai berdatangan ke hutan Geumpang, termasuk warga dari luar daerah, seperti dari Beureunuen, Aceh Barat, maupun dari Singkil. "Sejak banyak warga mencari emas, kami susah mencari orang untuk memotong padi,” ungkap Nyak Cut.

Terpisah, Camat Geumpang, Bismi SE, menuturkan, aktivitas mendulang emas di aliran sungai Geumpang sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak tahun 1980-an. Namun jumlahnya masih sangat sedikit, karena selain warga tak berani, lokasinya juga jauh dari ruas jalan nasional.

Saat ini, jumlah pencari emas diakuinya sudah semakin banyak, termasuk juga warga dari luar daerah. Lokasi pencarian emas ada yang berada di kawasan hutan lindung dan ada yang di luar kawasan huta lindung.

Khusus warga Geumpang, ia sebutkan, umumnya memilih mencari emas ketika tidak sedang turun ke sawah. “Saat musim tanam padi, warga biasanya tidak mencari emas. Tapi kalau sekarang, bulan maulid, ramai warga mencari emas di tepian sungai, dan hasilnya merayakan maulid,” ucapnya.

Bismi mengatakan, pencarian emas selama ini dilakukan dengan cara-cara tradisional, sehingga ia meyakini tidak akan merusak lingkungan. Meski demikian, dirinya mengaku belum melihat atau datang langsung ke lokasi pencarian emas karena lokasinya sangat jauh di tengah hutan.

"Saya kira, mencari emas dengan sistem tradisional akan menjaga lingkungan tetap asri. Tetapi saya pun belum pernah pergi ke lokasi, sebab letaknya sangat jauh," ujarnya.

Selain itu, sejauh yang ia ketahui, warga umumnya mencari emas bersama anggota keluarganya yang lain. Biasanya mereka akan menginap di hutan mulai dari beberapa hari hingga satu minggu.

“Dalam satu hari, warga bisa mendapatkan Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Kalau satu minggu bisa Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Tetapi ada juga warga yang pulang dengan tangan kosong, tidak dapat apa-apa,” ucapnya.

Menurut Camat Geumpang ini, masyarakat lebih memilih mencari emas karena hasil yang diperoleh lebih besar ketimbang upah sebagai buruh. Selain itu, masyarakat juga tidak bisa lagi berkebun karena ada gangguan gajah liar.

Kawasan Geumpang selama ini memang dikenal salah satu daerah paling sering terjadi serangan gajah liar. Sepanjang tahun ini, tercatat ada beberapa kali kasus serangan gajah yang terjadi. Bahkan ada satu cerita tentang lahan perkebunan di kawasan hutan Blang Sara Sare, Gampong Keune, yang terpaksa ditinggalkan penghuninya karena takut pada amukan gajah.(naz)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved