Wacana Beli Pesawat
Beli Pesawat tak Masuk RPJMA
Rencana Pemerintah Aceh membeli empat unit pesawat terbang jenis N219 pada tahun 2021 dan 2022 ternyata tidak masuk dalam
* Butuh Kajian Mendalam
*DPRA Diminta Tolak Rencana Tersebut
BANDA ACEH - Rencana Pemerintah Aceh membeli empat unit pesawat terbang jenis N219 pada tahun 2021 dan 2022 ternyata tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) tahun 2017-2022.
Hal itu diungkapkan Anggota DPRA, Bardan Sahidi, kepada Serambi, Selasa (10/12). Menurut politis PKS daerah pemilihan Aceh Tengah-Bener Meriah ini, tidak ada aspek legal dalam rencana pembelian pesawat itu karena tidak ada dalam RPJMA.
"Tidak ada aspek legal membeli pesawat karena tidak ada dalam RPJMA. Usulannya dadakan. Saya sudah tanya ke fraksi dan Fraksi PKS adalah fraksi pertama yang sepakat menolak rencana itu," pungkasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Aceh akan membeli empat pesawat terbaru produksi PT Dirgantara Indonesia (DI), yakni N219. Penandatanganan perjanjian kerja sama pengadaan pesawat tersebut dilakukan oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dan Direktur Utama PT DI, Elfien Goentoro, di Gedung Pusat Manajemen PT DI, Bandung, Senin (9/12/2019).
Selain pengadaan pesawat, dalam naskah kerja sama itu juga disepakati tentang kerja sama pengembangan sumber daya manusia dan pengoperasian angkutan udara di Aceh. Rencananya, pengadaan pesawat akan dimulai pada tahun 2021 dan 2022. Sedangkan studi kelayakan operasional dan pengembangan SDM akan dilakukan pada 2020.
Plt Gubernur Aceh mengatakan, pengadaan pesawat tersebut dapat meningkatkan konektivitas antarwilayah untuk peningkatan perekonomian masyarakat dan pembangunan daerah. Namun menurut Bardan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu mengurus hal-hal yang berkenaan dengan hajat hidup masyarakat banyak, seperti pemberantasan kemiskinan.
Ia menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh menempati peringkat pertama sebagai provinsi termiskin di Sumatera yang mencapai 15,68% pada 2018. Angka tersebut lebih tinggi dari angka kemiskinan secara nasional yang sebesar 10,12%.
"Apa korelasinya sebagai provinsi miskin dengan beli pesawat? Berarti (Aceh) tidak miskin. Makanya menurut saya pemerintah itu hilang fokus dan locus (tempat)," ungkap Bardan Sahidi.
Agar pola pembangunan kembali terarah, Bardan berharap Pemerintah Aceh kembali ke jalur semula, yaitu perencanaan sesuai dengan RPJMA dan 15 program periotas yang sudah dicanangkan. "Pemerintah Aceh kenapa tidak fokus pada urusan wajib dulu? Seperti pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan peningkatan daya beli. Setelah itu baru yang sunat," tambah putra berdarah Gayo ini.
Jikapun pembelian pesawat itu dianggap penting, Bardan mendesak Plt Gubernur Aceh merevisi RPJMA tahun 2017-2022. Namun dia menyakini, rencana pembelian pesawat itu sengaja disampaikan ke publik untuk menguji respon masyarakat.
Sementara Anggota DPRA dari Fraksi PNA, M Rizal Falevi Kirani, menilai perlu ada kajian yang lebih mendalam tentang seberapa penting pesawat itu harus dibeli. Ia juga menilai wajar jika ternyata rencana tersebut mendapat penolakan dari masyarakat, karena disampaikan di tengah berbagai sorotan atas kinerja Pemerintah Aceh yang dianggap tidak pro masyarakat miskin.
"Kami menyaran kepada Plt Gubernur, lebih baik fokus saja pada program yang telah dituangkan dalam RPJMA, supaya target bisa tercapai. Seperti mengurangi angka pengangguran dan peningkatan produktivitas hasil pertanian," ujarnya.
DPRA lanjut Falevi, akan menguji kelayakan dari rencana tersebut jika nanti Pemerintah sudah melakukan tindakan konkret berupa pengusulan anggaran dalam APBA atau APBA-P. "Kita akan meminta Dinas Perhubungan Aceh untuk mempresentasikan hasil kajian rencana pembelian pesawat ini. Apalagi anggaran yang dibutuhkan kabarnya mencapai Rp 336 miliar," kata mantan aktivis itu.
Falevi menyebut, nilai Rp 336 miliar tersebut mengacu kepada harga produksi pesawat N219 sebagaimana disampaikan Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Junadi, yang mencapai Rp 84 miliar per unitnya. Itu pun masih sebatas estimasi, karena sangat tergantung pada hasil studi dan spesifikasi pesawat yang diinginkan.
Hal senada juga disampaikan anggota DPRA, Hendri Yono. Sebaiknya, kata dia, setiap anggaran dari APBA harus didorong kepada program yang produktif, jangan dana rakyat digunakan untuk belanja konsumtif. "Kami mendukung penyediaan pesawat N219 dengan cara carter dulu satu tahun sebagai tahap uji coba sebesar apa urgennya kebutuhan pesawat. Kalau memang sangat dibutuhkan, baru dibeli dan kalau tidak mendesak tidak usah lagi dibeli," tambah dia.
Tergantung DPRA
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal, meminta DPRA menghadang pengusulan anggaran jika rencana pembelian pesawat N219 benar-benar diwujudkan oleh Pemerintah Aceh.
“Saat ini rakyat sudah bersuara, sekarang bola ada ditangan DPRA. Kita akan lihat nanti, apakah DPRA berada disisi rakyat untuk menghadang rencana tersebut atau akan diloloskan," katanya.
Syakya juga mempertanyakan landasan kebijakan dan urgensi dari wacana pembelian empat pesawat N219. Sebab dalam RPJMA tak ada rencana atau target pengadaan pesawat. Ia menilai, rencana pembelian pesawat itu merupakan manuver kebijakan yang ilegal dan tidak populis.
"Silakan Pemerintah Aceh berkreasi dan berimprovisasi dalam upaya akselerasi pembangunan, namun harus tetap dalam konteks pencapaian target RPJM," demikian Syakya.
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani, membantah pernyataan yang menyebut rencana pembelian pesawat tidak ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA). Ia mengatakan, rencana itu sangat relevan dan sejalan dengan RPJM.
Menurut pria yang akrab disapa SAG ini, Qanun Nomor 1 Tahun 2019 tentang RPJMA Tahun 2017-2022 Bab VI yang memuat strategi, arah kebijakan dan program pembangunan Aceh, antara lain menyebutkan tema pembangunan tahun 2020, dimana bunyinya untuk memacu tumbuhnya agroindustri dan industri kreatif, peningkatan daya saing sumber daya manusia, dan pengembangan infrastruktur terintegrasi untuk menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan kesenjangan antarwilayah.
"Secara bahasa tidak tertulis pesawat terbang, apalagi jenis N219 karya anak bangsa itu, tapi frasa pengembangan infrastruktur terintegrasi dan mengurangi kesenjangan antarwilayah perlu digarisbawahi," tegas SAG.
Menanggapi sorotan anggota DPRA dan MPO Aceh yang meminta Pemerintah Aceh agar fokus pada program wajib seperti pengentasan kemiskinan, SAG menyatakan, wajib atau sunah itu relatif tergantung persepsi dan tingkat berkepentingan belaka. Bagi masyarakat yang tinggal wilayah kepulauan, daerah terluar, daerah terpencil, dan daerah yang belum ada moda transportasi udara, rencana pembelian pesawat N219 itu merupakan kebijakan penting dan mendesak.
"Mereka yang tinggal di pesisir Aceh, tentu saja beda melihat tingkat urgensi pembelian pesawat tersebut. Pemerintah Aceh justeru perlu ingin hadir untuk menyahuti berbagai kepentingan masyarakatnya dengan strategi pemerataan pembangunan," ucapnya.
Dia menambahkan, lalu lintas orang maupun barang antarpulau dan antardaerah harus relatif sama lancarnya di seluruh Aceh melalui infrastruktur terintegrasi antarwilayah. Karena itu pendekatan pembangunan daerah tidak dilakukan secara parsial melainkan simultan.
"Rencana pembelian pesawat N219 tidak akan mengurangi perhatian kita terhadap sektor kesehatan, pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan daya beli," ungkap Jubir Pemerintah Aceh ini.
Pembelian pesawat terbang berkapasitas 19 penumpang itu, tambah SAG, justeru untuk memicu pertumbuhan investasi di sektor pariwisata, yang memiliki multiplier effect ekonomi. "Sektor pariwisata akan merangsang pembukaan lapangan kerja baru, tumbuh industri kerajinan, wisata kuliner, dan sentra-sentara ekonomi produktif lainnya. Ini bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan, meningkatkan daya beli, dan pemerataan pembangunan Aceh," tutur SAG.
Dia menambahkan, kekosongan penerbangan perintis dari Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) belakangan ini juga salah satu penyebab pada tingkat kunjungan wisatawan ke Aceh. Bahkan kebutuhan ambulans udara bagi penduduk kepulauan tak dapat dilayani. SAG menerangkan, rencana pembelian pesawat udara N 219 itu adalah untuk mengisi kekosongan tersebut dan berfungsi juga sebagai ambulans udara yang kebutuhannya sangat mendesak.
"Karena itu, tingkat urgensi pengadaan moda transportasi udara N219 itu harus dilihat dari berbagai dimensi kepentingan masyarakat Aceh," demikian SAG.
Pengamat Penerbangan Aceh, Nurzahri ST mendukung rencana Pemerintah Aceh yang berencana membeli pesawat terbang jenis N219 produksi PT Dirgantara Indonesia (DI). "Saya sangat mendukung rencana pembelian pesawat N219 yang memang tercanggih di kelasnya, karena moda transportasi udara dapat menyelesaikan permasalahan konektivitas antar wilayah di Aceh," katanya kepada Serambi, Selasa (10/12/2019).
Kendati demikian, dia mengingatkan Pemerintah Aceh agar berhati-hati dalam pembelian pesawat ini, terlebih jika menggunakan dana APBA karena perlu kesepakatan dengan DPRA sebelum melakukan penadatanganan MoU dengan PTDI. "Siapa yang dapat menjamin DPRA akan menyetujui anggaran ratusan miliar tersebut?" tanya mantan Anggota DPRA yang juga juga alumnus Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 98 ini.
Menurut Nurzahri, dunia penerbangan mengandung prinsip high tecnology (teknologi tinggi) dan high risk (berisiko tinggi) sehingga butuh biaya mahal dalam perawatannya, dan butuh tim atau kru profesional dengan honor lumayan tinggi karena mereka harus tersertifikasi. "Sehingga pasti akan membebani APBA setiap tahunnya apabila pengelolaan pesawat tersebut di sandarkan kepada APBA," lanjut Nurzahri yang mengaku pernah magang selama 1 tahun di PT Dirgantara.
Dia mengambil contoh seperti pengadaan enam pesawat Aero Sport jenis Shark Aero yang direncanakan oleh Pemerintah Aceh pada tahun 2018 yang juga akhirnya ditolak oleh legislatif. Akibat penolakan itu, menyebabkan deadlock-nya pembahasan APBA. APBA 2018 akhirnya di Pergub-kan, tetap dengan usulan pengadaan pesawat. “Tapi akhirnya Kemendagri mencoretnya karena tidak didukung dengan studi kelayakan,” ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh juga sudah memiliki tiga pesawat cessna. Ketiga pesawat yang dihibah oleh Yayasan Leuser Internasional sejak 2014 itu rusak karena tidak pernah diterbangkan. Kemudian pemerintah Aceh memperbaikinya dengan menggunakan anggaran Rp 1,5 miliar. "Saran saya, jangan sampai setelah pengadaan N219, nasibnya sama dengan ketiga pesawat hibah tersebut, hanya parkir saja di bandara SIM karena tidak pernah diterbangkan," katanya.
Disisi lain, menurut Nurzahri, pengurusan izin trayek penerbangan juga cukup rumit. Politikus Partai Aceh ini menyarankan Pemerintah Aceh segera membentuk badan pengelola pesawat sehingga badan tersebut dapat segera mengurus segala perizinan, baik izin terbang, rute trayek, dan izin-izin lainnya.
Tapi untuk saat ini, Nurzahri mempertanyakan siapa yang akan menggelola pesawat N219 jika jadi dibeli. Sejarah pengelolaan Airline milik pemda (BUMD), menurut mantan anggota DPRA ini, belum ada yang menunjukkan prestasi, bahkan hampir semuanya colaps (bangkrut). Sementara jika melihat kemampuan PT PEMA, hingga saat ini belum menunjukkan prestasi dalam pengelolaan perusahaan.
"Kita khawatirkan apabila diserahkan pengelolaan pesawat ini kepada PT PEMA maka akan menyeret PT PEMA kedalam kerugian yang semakin dalam," lanjut dia.
Selain itu, tambah Nurzahri, dalam setiap transaksi pasti ada bonus sebagai bentuk komitment fee. Dia berharap kejadian moge (motor gede) pada pengadaan pesawat Garuda yang sedang heboh saat ini tidak terjadi di pengadaan N219.(mas)