Lingkungan

Galian C di Krueng Sawang belum Mampu Ditertibkan, Ini Permintaan Walhi kepada Pemerintah dan Polisi

Selama pembangunan masih menggunakan material tidak ramah lingkungan, selama itu pula penambangan Galian C terus menjamur di daerah.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Taufik Hidayat
Dok Walhi
Aktivitas penambangan Galian C di Krueng Sawang Kabupaten Aceh Utara dengan menggunakan alat berat. 

Laporan Jafaruddin | Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON - Persoalan Galian C di Krueng Sawang Aceh Utara sudah menjadi persoalan klasik yang sampai hari ini belum mampu ditertibkan oleh pemerintah dan pihak kepolisian.

Sebab, selama pembangunan masih menggunakan material tidak ramah lingkungan, selama itu pula pertambangan mineral bukan logam (Galian C) terus menjamur di daerah.

“Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah menertibkan regulasi terkait penggunaan material ramah lingkungan dalam setiap pembangunan, misalnya material batuan atau pasir harus diambil dari usaha pertambangan yang berizin,” ujar Direktur Eksekuti Walhi Aceh Muhammad Nur kepada Serambinews.com, Senin (6/1/2019).

Menurut Muhammad Nur, aktivitas Galian C atau bebatuan dan pengerukan tanah di Krueng Sawang dengan berbagai komoditas berdampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Sehingga akan mengganggu sumber kehidupan bagi mahkluk hidup dari aspek rusaknya sumber air bagi warga sekitar.

“Walhi Aceh mendorong ESDM untuk melakukan pengawasan dan penindakan bersama Polda Aceh terhadap aktivitas illegal galian bebatuan. Karena ada beberapa usaha Galian C masih berstatus izin usaha pertambangan eksplorasi,” ujar Muhammad Nur.

Walhi juga meminta Muspika Sawang memeriksa kepemilikan izin setiap usaha, jika ditemukan ada usaha tanpa izin maka harus ditertibkan.

Bukan sebaliknya, terkesan melindungi kegiatan pengrusakan sumber air. Padahal Krueng Sawang merupakan sungai tempat bergantung hidup orang banyak.

Selain itu, masyarakat juga harus menyadari akan dampak lingkungan di masa akan datang. Walhi menduga ada pihak yang melakukan kutipan iuran dari para pelaku usaha tambang tanpa izin.

Jika benar iuran tersebut, maka cukup sulit menertibkan aktivitas ilegal tersebut karena terjadi kerjasama lintas sektor.

Menurut Walhi, kegiatan usaha penambangan yang dilakukan tanpa izin ini dapat dikenakan pidana sebagaimana tertuang pada ketentuan Pasal 158 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin Pemanfaatan Ruang (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp 10 miliar rupiah.

Selain pidana tersebut, kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh, berdasarkan Pasal 163 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bagi badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa,  pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.

“Pemerintah dalam hal ini Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berdasarkan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan,” katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved