Kasus Tuduhan Penipuan , MA Lepaskan Abdullah Puteh dari Semua Tuntutan Hukum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Dr Ir H Abdullah Puteh MSi, sempat tersandung kasus hukum atas tuduhan penipuan
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Dr Ir H Abdullah Puteh MSi, sempat tersandung kasus hukum atas tuduhan penipuan. Ia pun melawan dan permohonan kasasinya membuahkan hasil. Mahkamah Agung melepaskan Abdullah Puteh dari semua tuntutan hukum.
SENATOR Aceh, Abdullah Puteh, kini bisa bernapas lega. Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi mantan gubernur Aceh ini dan membebaskan dirinya dari pidana dalam kasus tuduhan penipuan. Abdullah Puteh yang sedang berada di luar Jakarta, Selasa (21/4/2020) mengucap syukur atas putusan MA tersebut. Ia mengaku sudah mendapat petikan putusan MA yang terdiri atas empat lembar itu.
Majelis hakim yang menangani permohonan kasasi Abdullah Puteh terdiri atas Ketua Majelis Suhadi, anggota MD Pasaribu dan Desnayeti. Vonis itu ditetapkan pada 18 Maret 2020. Informasi putusan sudah diterbitkan dalam website Mahkamah Agung. "Alhamdulillah, kita bersyukur atas putusan MA ini yang sudah berlangsung lima tahun," kata Abdullah Puteh yang juga Wakil Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini.
Putusan MA terdiri atas lima poin. Pada poin pertama, MA menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan Abdullah Puteh, seperti yang didakwakan, bukan merupakan tindak pidana. Poin kedua, melepaskan Abdullah Puteh dari segala tuntutan hukum. Poin ketiga, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya. Poin keempat, menetapkan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara. Dan pada poin kelima dinyatakan bahwa biaya perkara dibebankan kepada negara.
Secara terpisah, Penasihat Hukum Abdullah Puteh, Zulfikar Sawang SH mengatakan, dengan adanya putusan MA itu, Abdullah Puteh telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan atau "ontslag van rechtvervolging" karena perbuatan yang didakwakan kepada mantan gubernur Aceh tersebut sesungguhnya bukan tindak pidana.
"Tuduhan penipuan sangat tidak memiliki dasar hukum karena permasalahan sesungguhnya berada dalam ranah hukum perdata dan justru si pelapor yang melakukan wanprestasi sebagaimana telah pula diputuskan oleh Mahkamah Agung dalam perkara lainnya," kata Zulfikar Sawang, Selasa (21/4/2020).
"Kami tentu sangat bersyukur atas putusan Mahkamah Agung yang telah menerima dan mengabulkan permohonan kasasi yang kami ajukan. Alhamdulillah, klien kami dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging)," tukas Zulfikar Sawang.
Ia tegaskan bahwa dengan adanya putusan MA ini, maka proses hukum telah selesai, sebab putusan MA itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).
Wanprestasi
Kasus yang berujung ke MA ini bermula saat Abdullah Puteh selaku CEO PT Woyla Raya Abadi diadukan secara pidana oleh saksi Herry Laksmono atas tuduhan penipuan. Padahal sebelumnya Herry Laksmono (HL) yang pengusaha/kontraktor kayu asal Surabaya adalah orang yang dikalahkan Abdullah Puteh di pengadilan perdata, karena terbukti cedera janji (wanprestasi) atas perjanjian kerja sama dengan PT Woyla Raya Abadi.
"Dulu kita menggugat yang bersangkutan secara perdata karena melanggar perjanjian kerja sama dengan perusahaan PT Woyla Raya Abadi. Gugatan tersebut telah putus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan MA Nomor 724 K/ Pdt /2017," sebut Abdullah Puteh.
Terhadap putusan MA dalam pengadilan perdata tersebut, HL mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK), tapi putusannya tetap dimenangkan oleh PT Woyla Raya Abadi. Disebutkan, antara Woyla Raya Abadi dan HL terikat dalam satu perjanjian yang terdiri atas 29 pasal.
Menurut Abdullah Puteh, sesuai perjanjian, HL harus membayar uang muka sebagai jaminan kerja sebesar Rp 3 miliar dan itu menjadi pemasukan atau income PT Woya Raya Abadi. Tapi HL minta uang tersebut dipertanggungjawabkan. "Kabareskim juga pernah menjelaskan kepada penyidik Reskrim bahwa dana tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan," ujar Abdullah Puteh.
Ia juga menyebutkan, dalam akta perjanjian, posisi HL adalah sebagai kontraktor yang mengerjakan pekerjaan PT Woyla Raya Abadi, bukan sebagai investor. "Dalam bisnis, antara investor dan kontraktor posisi dan kewajibannya jauh beda," sebut mantan ketua umum DPP KNPI ini.
Sesuai Akte Perjanjian Nomor 43 yang dibuat oleh Notaris Siti Masnuroh SH pada 27 September 2011 di Jakarta, HL berkewajiban membayar royalti fee kepada PT Woyla Raya Abadi, tapi tak pernah dibayarkan. Akibat HL ingkar janji dan tidak pernah membayar royalty fee satu bulan pun, bahkan selama lima tahun, PT Woyla Raya Abadi mengalami kerugian sangat besar. Selain itu, pembangunan hutan tanaman industri menjadi terlambat dari jadwal yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Abdullah Puteh menambahkan, HL juga melanggar perjanjian, yaitu tidak menebang semua ukuran kayu, tapi diambil hanya kayu yang berdiameter 40 cm ke atas dan kayu pilihan. Hal lain, disebutkan, HL tidak mampu kerja sesuai target menebang 5.000 ha dalam 5 tahun, tapi hanya mampu 300 ha.
Menurut CEO PT Woyla Raya Abadi ini, HL juga tetap ingin meminta paksa untuk mengisi sendiri dokumen FAKB (Form Angkutan Kayu Bulat). Padahal, lanjut Abdullah Puteh, sesuai Permenhut P.55/Menhut-II/2009, hal tersebut adalah kewajiban PT Woyla Raya Abadi sebagai pemilik izin untuk menerbitkannya setelah diberikan informasi tentang jenis kayu yang diangkut, volume kubik kayu, alat pengangkut, nomor kendaraan pengangkut dan lain-lain. "Tapi HL tetap meminta paksa untuk mengisi sendiri blangko FAKB tersebut. Keinginan HL sangat berpotensi terjadinya illegal logging," demikian Puteh.
Karena melanggar perjanjian itu, Puteh selaku CEO PT Woyla Raya Abadi lalu menggugat HL ke pengadilan secara perdata dan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, gugatan tersebut dimenangkan oleh PT Woyla Raya Abadi. "Sebetulnya kasus ini sudah selesai dan incracht. Ini kasus perdata murni. Tapi kemudian coba digoreng ke pidana," ujarnya.
Abdullah Puteh dilaporkan secara pidana oleh HL dengan tuduhan melakukan penipuan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara itu, pada 10 September 2019, menjatuhkan vonis 1,6 tahun penjara kepada Puteh dan membayar biaya perkara Rp 5.000. Abdullah Puteh kemudian melakukan banding. Dalam putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, hukuman Puteh diperberat menjadi 3,5 tahun penjara.
Ia tak bisa menerima Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, lalu mengajukan upaya hukum dengan memohon kasasi ke MA. Dalam putusannya, MA mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan bahwa perbuatan Abdullah Puteh seperti yang didakwakan, bukan merupakan tindak pidana, serta melepaskan Abdullah Puteh dari segala tuntutan hukum.(fik)