Donald Trump Ultimatum Arab Saudi, Minta Pangkas Produksi Minyak, Atau AS Tarik Dukungan Militer
Trump menyampaikan pesan pada Putra Mahkota 10 hari sebelum pengumuman pengurangan produksi.
SERAMBINEWS.COM, WASHINGTON DC - Di saat Amerika Serikat (AS) menekan Arab Saudi untuk mengakhiri perang harga minyaknya dengan Rusia, Presiden Donald Trump juga mengultimatum para pemimpin Arab.
Dalam sebuah panggilan telepon pada 2 April Trump berkata ke Putra Mahkota Mohammed bin Salman, jika negara-negara OPEC tidak memangkas produksi minyaknya, ia takkan bisa menghentikan anggota parlemen meloloskan UU untuk menarik pasukan AS dari kerajaan Arab Saudi.
Hal tersebut diungkapkan 4 sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti yang diberitakan Reuters Kamis (30/4/2020).
Trump menyampaikan pesan pada Putra Mahkota 10 hari sebelum pengumuman pengurangan produksi.
Kabarnya, Pangeran Mohammed bin Salman sangat terkejut dengan ancaman ini sampai memerintahkan para pembantunya keluar dari ruangan, sehingga dia dapat melanjutkan diskusi secara pribadi.
Hal ini disampaikan oleh sumber AS yang diberi pengarahan tentang diskusi tersebut oleh pejabat pemerintahan senior.
Reuters memberitakan, upaya ini menggambarkan keinginan kuat Trump untuk melindungi industri minyak AS dari krisis harga, ketika negara-negara menutup perekonomian di seluruh dunia dalam upaya menangani virus corona Covid-19.
Seorang pejabat senior AS mengatakan kepada Reuters, pemerintah memberi tahu para pemimpin Arab Saudi bahwa tanpa pengurangan produksi "tidak akan ada cara untuk menghentikan Kongres AS dari penarikan pasukan AS."
Seminggu sebelum panggilan telepon Trump ke Pangeran Mohammed bin Salman, Senator AS Kevin Cramer dan Dan Sullivan dari Partai Republik telah mengajukan UU untuk menarik semua pasukan AS, rudal, dan sistem pertahanan anti-rudal dari kerajaan Arab Saudi, kecuali mereka memangkas produksi minyak.
Sekretaris Energi AS Dan Brouillette mengatakan, presiden memiliki hak menggunakan setiap cara untuk melindungi produsen AS, termasuk "dukungan kami untuk pertahanan mereka."
Kemitraan militer Arab-AS
Kemitraan strategis Arab-AS dimulai pada 1945, ketika Presiden Franklin D. Roosevelt bertemu dengan Raja Saudi Abdul Aziz Ibn Saud tentang USS Quincy, sebuah kapal penjelajah Angkatan Laut.
Keduanya mencapai kesepakatan; AS memberi perlindungan militer, dengan imbalan mendapat akses ke cadangan minyak Arab Saudi.
Saat ini AS menempatkan sekitar 3.000 tentara di negara itu, dan Armada Kelima Angkatan Laut AS melindungi ekspor minyak dari Negeri "Petrodollar" tersebut.
Arab Saudi bergantung pada AS dalam hal senjata dan perlindungan terhadap rival regional seperti Iran.
Namun rentannya pertahanan Arab Saudi terungkap akhir tahun lalu, dalam serangan 18 drones dan 3 rudal pada kilang minyak utama Saudi.
Washington menyalahkan Iran terkait serangan ini, tapi Teheran membantahnya.
Polemik produksi minyak
Pada 12 April, di bawah tekanan dari Trump, negara-negara penghasil minyak terbesar di dunia di luar AS menyetujui pengurangan produksi terbesar yang pernah dinegosiasikan.
OPEC, Rusia, dan produsen sekutu lainnya memangkas produksi sebesar 9,7 juta barel per hari, atau sekitar 10 persen dari output global.
Setengah dari volume itu berasal dari pemotongan masing-masing 2,5 juta barel per hari oleh Arab Saudi dan Rusia, yang anggarannya bergantung pada pendapatan tinggi dari minyak dan gas.
Meski ada kesepakatan untuk memotong sepersepuluh produksi global, harga minyak terus turun ke posisi terendah dalam sejarah.
Harga minyak berjangka AS anjlok di bawah nol dollar pekan lalu, karena penjual membayar pembeli untuk menghindari ketiadaan tempat menyimpan dalam pengiriman minyak.
Trump awalnya tidak mempermasalahkan harga minyak yang lebih rendah, mengatakan harga bensin murah mirip dengan pemotongan pajak untuk pengemudi.
Namun itu berubah setelah Arab Saudi pada pertengahan Maret mengumumkan akan memompa rekor 12,3 juta barel per hari, yang melepas perang harga dengan Rusia.
Peningkatan pasokan ini datang ketika negara-negara menerapkan aturan untuk tetap di rumah, yang berdampak pada penurunan drastis permintaan bahan bakar.
Perusahaan-perusahaan minyak AS pun akan terpukul keras dalam jatuhnya harga minyak mentah, yang membuat para senator geram.
Sebanyak 13 senator dari Partai Republik mengirim surat ke Putra Mahkota Mohammed bin Salman, mengingatkannya tentang ketergantungan strategis Arab Saudi pada Washington.
Kelompok itu juga mendesak Sekretaris Perdagangan Wilbur Ross untuk menyelidiki apakah Arab Saudi dan Rusia melanggar hukum perdagangan internasional, lewat cara membanjiri pasar AS dengan minyak.
Prospek kehilangan dukungan militer AS membuat keluarga kerajaan "berlutut" dan tunduk pada tuntutan Trump, kata seorang diplomat Timur Tengah kepada Reuters.
Setelah negosiasi berkepanjangan, para produsen top menyepakati rekor penurunan produksi sebesar 9,7 juta barel per hari pada Mei dan Juni, dengan pemahaman bahwa kondisi ekonomi akan menyebabkan penurunan lebih lanjut sekitar 10 juta barel per hari dari negara lain, termasuk AS dan Kanada.
Trump memuji kesepakatan itu dan menganggap dirinya sebagai broker.
"Setelah terlibat dalam negosiasi, dengan kata lain, jumlah yang ingin dipotong oleh OPEC+ adalah 20 juta barel per hari," tulis Trump di Twitter sesaat setelah kesepakatan.
Riyadh juga merasa layak diapresiasi.
Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz mengatakan kepada Reuters, saat itu Putra Mahkota telah "berperan dalam merumuskan kesepakatan ini."
• Atap Ruko Dua Lantai yang Diterjang Badai di Aceh Singkil Ternyata Menimpa Rumah Tetangga
• Tiga Unit Ambulans Bawa Warga Bener Meriah yang Terindikasi Positif Covid-19 ke RSUZA Banda Aceh
• Kapolri Idham Azis Rotasi 569 Jabatan di Polri, Sejumlah Kapolda dan Kapolres Diganti
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Trump Ultimatum Arab Saudi: Pangkas Produksi Minyak, atau AS Tarik Dukungan Militer",