Mantan Bupati Bireuen Meninggal

Inmemoriam Nurdin Abdul Rahman: Ia Tulis Puisi dalam “Rumoh Glap”  pada Kertas Bungkus Nasi  

Innlillahi wainna ilaihi raji’un. Berita duka, meninggalnya Drs. Nurdin Abdul Rahman, begitu cepat berdar di masyarakat melalui jaringan media sosial

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
SERAMBINEWS.COM/FERIZAL HASAN
Penghormatan terakhir terhadap almarhum Mantan Bupati Bireuen, Tgk Nurdin Abdurrahman sebelum dimakamkan, Senin (8/6/2020) di rumah duka Komplek Meuligoe Residen, Desa Cot Gapu, Kota Juang, Bireuen, Senin (8/6/2020). 

Laporan Fikar W Eda | Bireuen

SERAMBINEWS.COM, BIREUEN - Innlillahi wainna ilaihi raji’un. Berita duka, meninggalnya Drs Nurdin Abdul Rahman, begitu cepat berdar di masyarakat melalui jaringan media sosial. Meninggal dunia, Senin (8/6/2020) pagi sekitar pukul 05.05 WIB. 

Ia tokoh masyarakat. Salah seorang intelektual Gerakan Aceh Merdeka (GAM), lama bermukim di Australia, menjabat Bupati Aceh Bireuen 2007-2012.

Ia juga seorang penyair, penulis puisi berbahasa Aceh. Karya puisinya kemudian dikumpulkan dalam satu kumpulan puisi berjudul “Kalam Acheh.” Puisi­-puisi itu ia bacakan dalam satu pertemuan sastra bersahaja di halaman belakang Meuligo Bupati Bireuen pada, Senin, 27 Juli 2009.

Nurdin AR -- begitu ia akrab disapa-- juga pembaca puisi yang baik. Puisi di bawah ini berjudul “Lalem” ia bacakan dalam pertemuan  yang digagas dan diselenggarakan  Penerbit Alibi Bireuen.

Buet lalem ceulaka dudoeng

Buet lalem akhe jih mandum rugoe

Buet lalem jeuet keu hanco nanggroe

Buet lalem meutual do’a ban sinaroe

Kajeuet takalon ban saboh dinya rata tiep sagoe

Puisi “Lalem” ditulis 21 Mei 1998, saat ia mendekam di penjara Keudah Banda Aceh. Nurdin ditahan di sana sebagai tahanan politik karena tuduhan terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM).  Saat embacakan puisi itu, suara Nurdin sesekali meninggi meluapkan amarah. Tapi kemudian turun lagi menahan haru. Sangat ekspresif.

Sebahagian besar puisi-puisi Nurdin ditulisnya saat di penjara. Bagi Nurdin, penjara adalah inspirasi. Ia pernah mendekam dalam tahanan Laksus Lampienueng Banda Aceh, penjara Lhoknga Aceh Besar, dan Tahanan Keudah Banda Aceh. Ia dijebloskan pertama kali pada 15 Oktober 1990 dan bebas 22 Oktober 1998.

Meski tubuhnya dipenjara, tapi tidak bagi pikiran dan imajinasinya. Ia merenung , berkontemplasi selama dalam penjara, dan hasilnya lahir banyak puisi. Puisi–puisi dalam penjara inilah yang kemudian dikumpulkan dalam buku ”Kalam Acheh” yang diterbitkan oleh Penerbit Alibi Bireuen. Setidaknya ada 17 judul puisi dalam buku tersebut.

Sebagai tahanan politik, pengawasan terhadap Nurdin begitu ketat. Ia tak diperbolehkan membawa buku catatan dalam penjara. Lalau bagaiaman puisi-puisi Nurdin ditulis?  Ternyata, diam-diam ia menuliskannya di kertas bungkusan nasi, dan oleh keluarga yang menjenguk kertas itu dibawa ke luar penjara. Dengan cara begitulah puisi bisa selamat ke luar dari penjara.

Nurdin ketika itu mengistilah penjara sebagai ”Rumoh Glap” dan di rumah itulah puisi-puisinya lahir, ada amarah, petuah, dan romantisme. Bahasanya lancar dan jernih. Ia melukiskan ”ruamoh glap” tersebut sebagai berikut:

 

”Lahee lam guha meunan rasa

Tan deuh sapeue di seulingka

Tan mata uroe tan na cahaya

Sang tan le peureulee keu mata

Bacut ta-iseuk payah taraba

Sepot tuloe gaki droeteuh sang hoka”

 

Peristiwa dalam penjara yang sangat pahit dan getir ditulisnya sebagai berikut:

”Kamoe jiseksa kamoe jipoh

Jiculok kamoe dalam tutopan

Kamoe jiengkhoe sin-ja ngon suboh

Malam ngon uroe hana tatujan

Teupluek ngon kulet darah pih tijoh

Tuleueng ngon asoe saket hanaban.”

 

Puisi romantik juga lahir selama dalam “rumoh glap,” salah satu, berjudul “Cinta,”

Berikut petikannya:

”Na nyang tiimoh hana tasangka

Na nyang teuka lage ie raya

Na nyang ji-oh hantrok taraba

Na nyang ban tathee sajan kana

Meunan keuh cinta

 

Jiduek bak hate sabe lam rindu

Jiduek bak dada subra hanasu

Jiduek bak pike meuwe-we laju

Jiduek bak mata dada nyang karu.”

 

(ditulis di penjara Keudah, 29 Juli 1995).

Puisi lain berjudul ”Deurita Nya’ Nong” merupakan persembahan khusus kepada sang istri yang  menemaninya selama penderitaan. ”Dialah orang yang sangat tabah menghadapi segala derita. Ketika menceritakan rasa cintanya kepada sang istri, Nurdin tampak sedikit terbat-bata. Suaranya tercekat di kerongkongan, menahan tekanan masa lalu yang sangat pahit. Ia menyebut sang istri sebagai ”kuntum bunga,” sebuah sebutan yang sangat romantik. Inilah petikannya:

”Bagi lon hana kuntom, bungong lam donya

Nyang ka ek theun jra dan nestapa

Nyang ka ek geuharong laot deurita

Geutheun saket, phet ngon sengsara

Seudangkan lon jinoe dalam penjara

 

Hana pat lon peugah pakiban lon pike

Rangoe lon sabe keu nasib gata

Kareuna lon nyoe gata tatheun jra

Dingon peuet cahya mata gata peulahara”

(Rumoh Glap Keudah, 11 September 1995)

Nurdin lahir di Bireuen 28 Desember 1949, menamatkan pendidikan di FKIP Unsyiah 1988, dan pernah menjadi pengajar bahasa Inggris pada sejumlah sekolah serta pengajar  mata pelajaran sama di beberapa tempat di Banda Aceh. Dilantik sebagai “Bupati Kota Juang”  periode 2007-2012. Ia memenangi pilkada langsung kabupaten itu,

 “Salah satu pekerjaan saya selama dipenjara adalah menulis. Ada puisi dan menulis buku bahasa Inggris,” kenang Nurdin ketika itu.(*)

Warga Bener Meriah Temukan Kupu-kupu dengan Sayap Bermotif Lalat

BREAKINGNEWS: Mantan Bupati Bireuen, Nurdin Abdurrahman Meninggal Dunia

Istri Kawin Lari, Tukang Cat Depresi dan Masukkan Kabel Ponsel ke Kemaluannya Demi Puaskan Nafsu

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved